Injil hari ini merupakan sambungan Bacan Injil Minggu yang lalu. Yesus memulai karyaNya di kampungNya sendiri, orang-orang pada mulanya kagum akan pengajaranNya, tetapi kemudian menolak Dia.
Alasan penolakan karena mereka kecewa bahwa Yesus tidak mau membuat mukjijad di kampung asalNya sendiri. Yesus mengajak mereka percaya kepadaNya, tetapi jual mahal, tidak mau menunjukkan sedikit kemampuanNya.
Bahkan kemudian mereka mencoba memaksa Yesus membuat mukjijad dengan membawa Dia ke tebing, supaya Yesus terpaksa menyelamatkan diri dari kematian jatuh dari tebing; seperti bujukan Iblis di padang gurun. Setelah peristiwa ini, kota Nasaret tidak lagi disebut dalam Injil, kecuali dalam sebutan Yesus dari Nasaret, yang justru, ditolak oleh orang sekampungNya sendiri.
Orang Nasaret yang mengagumi Yesus, akhirnya menolak Dia karena menuntut mukjijad. Kekaguman yang tidak tumbuh menjadi kepercayaan, akhirnya merosot jadi kebencian. Iman yang diharapkan tumbuh, terbunuh oleh mukjijad. Lukas menempatkan kisah ini pada awal karya Yesus untuk menunjukkan bahwa Yesus ditolak oleh bangsaNya sendiri, sejak awal hidupNya sampai pada kematianNya. Bangsa Israel yang mengagumi Yesus juga menolak Dia karena irihati, demi kemapanan hukum dan adat istiadat. Penolakan bangsa Israel itu menjadi kesempatan bagi bangsa lain untuk menerima Dia, termasuk kita sekarang ini.
Tetapi bukankah kita sering seperti orang-orang Nasaret itu juga? Tuhan terlalu menuntut; dan saya masih juga dapat penyakit ini? Apa salah saya sehingga saya ditimpa kesulitan seperti ini? Kalau Tuhan memang baik, pasti doa saya sudah dikabulkan. Mukjijad harus menjadi jawaban dari iman. Doa menjadi jimat pengabul keinginan kita.
Kita ingin Tuhan bekerja sesuai dengan skenario yang sudah kita buat. Bukan kita melayani Tuhan, tetapi Tuhan harus bekerja untuk keinginan kita. Pada hari-hari ini, kita diajak merenungkan bagaimana mengikuti Tuhan; tetapi yang sering timbul dari sikap dan keinginan kita adalah agar Tuhan mengikuti jalan yang sudah kita bangun dan kita jalani.
Bank Indonesia pernah mengundang saya untuk menyampaikan presentasi dengan judul Dealing With Difficult People. Yang jelas, ada ratusan staf bank sentral ini yang demikian tertarik dan tekunnya mendengar ocehan saya. Motifnya, apa lagi kalau bukan dengan niat untuk sesegera mungkin jauh dan bebas dari manusia-manusia sulit seperti keras kepala, suka menghina, menang sendiri, tidak mau kerja sama, dll.
Di awal presentasi, hampir semua orang bernafsu sekali untuk membuat manusia sulit jadi baik. Dalam satu hal jelas, mereka yang datang, menganggap dirinya bukan manusia sulit, dan orang lain di luar sana sebagian adalah manusia sulit. Namun, begitu mereka saya minta berdiskusi di antara mereka sendiri untuk memecahkan persoalan kontroversial, tidak sedikit yang memamerkan perilaku-perilaku manusia sulit. Bila saya tunjukkan perilaku mereka; seperti keras kepala, menang sendiri, dll dan kemudian saya tanya apakah itu termasuk perilaku manusia sulit, sebagian dari mereka hanya tersenyum kecut.
Bertolak dari sinilah, maka sering saya menganjurkan untuk membersihkan kaca mata terlebih dahulu, sebelum melihat orang lain. Dalam banyak kasus, karena kita tidak sadar dengan kotornya kaca mata maka orangpun kelihatan kotor. Dengan kata lain, sebelum menyebut orang lain sulit, yakinlah kalau bukan Anda sendiri yang sulit. Karena Anda amat keras kepala, maka orang berbeda pendapat sedikit saja pun jadi sulit.
Karena Anda amat mudah tersinggung, maka orang yang tersenyum sedikit saja sudah membuat Anda jadi kesal. Nah, pembicaraan mengenai manusia sulit hanya boleh dibicarakan dalam keadaan kaca mata bersih dan bening. Setelah itu, saya ingin mengajak Anda masuk ke dalam sebuah pemahaman tentang manusia sulit.
Dengan meyakini bahwa setiap orang yang kita temui dalam hidup adalah guru kehidupan, maka guru terbaik kita sebenarnya adalah manusia-manusia super sulit. Terutama karena beberapa alasan.
1. Manusia super sulit sedang mengajari kita dengan menunjukkan betapa menjengkelkannya mereka. Bayangkan, ketika orang-orang ramai menyatukan pendapat, ia mau menang sendiri. Tatkala orang belajar melihat dari segi positif, ia malah mencaci dan menghina orang lain. Semakin sering kita bertemu orang-orang seperti ini, sebenarnya kita sedang semakin diingatkan untuk tidak berperilaku sejelek dan sebrengsek itu.
Saya berterimakasih sekali ke puteri Ibu kost saya yang amat kasar dan suka menghina dulu. Sebab, dari sana saya pernah berjanji untuk tidak mengizinkan putera-puteri saya sekasar dia kelak. Sekarang, bayangan tentang anak kecil yang kasar dan suka menghina, menjadi inspirasi yang amat membantu pendidikan anak-anak di rumah. Sebab, saya pernah merasakan sendiri betapa sakit hati dan tidak enaknya dihina anak kecil.
2. Kedua, manusia super sulit adalah sparring partner dalam membuat kita jadi orang sabar. Badan dan jiwa ini seperti karet. Pertama ditarik melawan, namun begitu sering ditarik maka ia akan longgar juga. Dengan demikian, semakin sering kita dibuat panas kepala, mengurut-urut dada, atau menarik nafas panjang oleh manusia super sulit, itu berarti kita sedang menarik karet ini (baca: tubuh dan jiwa ini) menjadi lebih longgar (sabar).
Saya pernah mengajar sekumpulan anak-anak muda yang tidak saja amat pintar, namun juga amat rajin mengkritik. Setiap di depan kelas saya diuji, dimaki bahkan kadang dihujat. Awalnya memang membuat tubuh ini susah tidur. Tetapi lama kelamaan, tubuh ini jadi kebal. Seorang anggota keluarga yang mengenal latar belakang masa kecil saya, pernah heran dengan cara saya menangani hujatan-hujatan orang lain. Dan gurunya ya itu tadi, manusia-manusia pintar tukang hujat di atas.
3. Manusia super sulit sering mendidik kita jadi pemimpin jempolan. Semakin sering dan semakin banyak kita memimpin dan dipimpin manusia sulit, ia akan menjadi Universitas Kesulitan yang mengagumkan daya kontribusinya. Saya tidak mengecilkan peran sekolah bisnis, tetapi pengalaman memimpin dan dipimpin oleh manusia sulit, sudah terbukti membuat banyak sekali orang menjadi pemimpin jempolan. Rekan saya menjadi jauh lebih asertif setelah dipimpin lama oleh purnawirawan jendral yang amat keras dan diktator.
4. Disadari maupun tidak manusia sulit sedang memproduksi kita menjadi orang dewasa. Lihat saja, berhadapan dengan tukang hina tentu saja kita memaksa diri untuk tidak menghina balik. Bertemu dengan orang yang berhobi menjelekkan orang lain tentu membuat kita berefleksi, betapa tidak enaknya dihina orang lain.
5. Dengan sedikit rasa dendam yang positif manusia super sulit sebenarnya sedang membuat kita jadi hebat. Di masa kecil, saya termasuk orang yang dibesarkan oleh penghina-penghina saya. Sebab, hinaan mereka membuat saya lari kencang dalam belajar dan berusaha. Dan kemudian, kalau ada kesempatan saya bantu orang-orang yang menghina tadi. Dan betapa besar dan hebatnya diri ini rasanya, kalau berhasil membantu orang yang tadinya menghina kita.
Gede Prama mengajak kita belajar menghadapi situasi sulit: bagaimana menghadapi orang sulit. Ada dua langkah yang harus dilakukan: pertama, menyadari dan mengakui bahwa kita juga punya sisi-sisi yang menyulitkan orang lain. Dan kedua, orang sulit itu bukan sekedar masalah. Kita dapat belajar dan meningkatkan diri dengan memanfaatkan kehadiran orang sulit di sekitar kita.
Apakah kita mau mengakui bahwa kita juga kadang menjadi manusia sulit dan kita dapat belajar dari mereka? Orang-orang Nasaret dan orang-orang Yahudi pada jaman Yesus, berpusat pada pandangan dan harapan mereka sendiri, yang bersikukuh dengan jalan dan kebiasaan mereka; sehingga mereka tidak mengenal yang lebih besar daripada mukjijad yang mereka tuntut, sudah hadir di tengah mereka. Sumber segala mukjijad, pemenuh segala harapan, penjamin seluruh masa depan mereka, berasal dari antara mereka dan ada di tengah mereka.
Mengikuti Yesus bukan memegang peta dan tinggal jalan saja. Mengikuti Yesus adalah ikut bersama Dia, melalui jalan-jalan misteri yang tidak kita kenal. Mengikuti Yesus adalah kesediaan untuk terbuka pada kemungkinan dan kesempatan baru. Mengikuti Yesus adalah berjalan dan tumbuh dalam iman, harapan dan kasih. Amin.
Dalam banyak hal (yang jelek )kita serupa dengan orang Nazaret ;
Pada mulanya ,kita (yang mau mendengarkan Yesus ), pastilah merasakan Yesus sebagai Sahabat (Tuhan ) yang sulit , Permintaan Yesus jauh bertentangan dengan kehendak kita .
Meskipun kita dikatakan sebagai Pengikut Yesus ; namun kebanyakan dari kita ada dalam posisi yang lebih buruk lagi dari orang 2 Nazareth ; kita tidak mau merenungkan mengapa Yesus ini maunya seperti itu ? ; apakah sumber masalahnya tidak pada diriku ?
Beginilah akhirnya ; kata Yesus : engkau memanggil Ku ” Tuhan , Tuhan ” namun gagal melakukan kehendak Ku .