Munas ke-14 UNIO Indonesia Bicara tentang Berpastoral di Tengah Arus Migrasi (3)

0
480 views
Para nara sumber bicara mengisi forum Hari Studi di Munas ke-14 UNIO Indonesia di Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores. Mereka bicara tentang Berpastoral di Tengah Arus Migrasi. (Romo Ferry SW)

INI sudah menjadi tradisi Munas UNIO Indonesia. Selain menjadi kesempatan bisa berjumpa dan syering antar imam diosesan dari seluruh Indonesia, serta laporan pertanggungjawaban pengurus, pemilih pengurus UNIO Indonesia yang baru, dan merencanakan program pengembangan untuk para imam diosesan di seluruh Indonesia, selalu dialokasikan satu hari khusus untuk Progam Hari Studi.

Dengan hari studi ini diharapkan para imam peserta Munas UNIO Indonesia berkesempatan belajar bersama tentang berbagai topik pastoral yang kini relevan dan penting.

Hasil hari studi bersama diharapkan dibawa pulang dan dibagi dengan para imam diosesan di keuskupan masing-masing.

Sejarah munas UNIO Indonesia

  • Munas I UNIO Indonesia (1983) di Jakarta dan Munas II (1986) di Malang masih merupakan dua munas pembentukan UNIO Indonesia. Juga masih mendiskusikan Pedoman Dasar UNIO Indonesia.
  • Munas III (1989) di Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan, Yogyakarta, membahas tema “Kepemimpinan dalam Gereja Indonesia”.
  • Munas IV (1992) di Wisma Salam, Kabupaten Magelang, didahului “Pekan Orientasi Sosial dan Pengolahan Pengalaman Pastoral Sosial”.
  • Munas V (1995) di Bandung bertema “Ongoing Formation dalam Semangat Misioner”.
  • Munas VII (2002) di Jatijejer, Surabaya, bertema “Citra Imam Diosesan Kini dan Nanti”.
  • Munas VIII (2005) di Palasari, Bali Barat, bertema “Imam Diosesan dalam Suka dan Duka di Tengah Umat”.
  • Munas IX (2009) di Makassar dan Toraja, Sulsel, bertema “Menemukan Benih-Benih Sabda di Toraja”.
  • Munas X (2012) di Sintang, Kalbar, bertema “Menemukan Wajah Yesus di Bumi Kalimantan: Pemberdayaan Masyarakat melalui Koperasi Kredit”.
  • Munas XI (2015) di Ambon.
  • Munas XII (2018) di Palembang bertema “Imam Berbau Domba”.
  • Munas XIII (2021) berlangsung secara daring dan bertema “Beriman dan Berpastoral Secara Baru di Masa Pandemi”.
  • Munas XIV di Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores, 25-29 September 2023 kali ini memilih tema “Berpastoral di Tengah Arus Migrasi”.

Pastor Bantuan Militer-Polri Keuskupan TNI-Polri

Untuk membahas tema ini diadakan seminar dengan mengundang beberapa pembicara dengan moderator Romo Dr. Rofinus Neto Wuli, imam diosesan Keuskupan Agung Ende.

Ia adalah alumnus Lemhanas, Magister Ilmu Pertahanan dari Universitas Pertahanan Indonesia, serta Doktor Manajemen Sumber Daya Manusia dari Universitas Negeri Jakarta.

Romo Neto adalah Pastor Bantuan Militer dan Polri Keuskupan TNI/Plori; juga menjadi dosen di Universitas Pertahanan Indonesia dan beberapa universitas lainnya.

Ia kelahiran Bajawa tanggal 14 November 1967, ditahbiskan menjadi imam diosesan Keuskupan Agung Ende tanggal 3 November 1997.

Romo Paschalis dari KKP Pangkalpinang

Panelis pertama adalah Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus Pr. Ia lahir di Dabo, Singkep, tanggal 9 April 1980; ditahbiskan menjadi imam diosesan Keuskupan Pangkalpinang tanggal 28 Mei 2010. Romo Paschal adalah Ketua KKP dan Migran Keuskupan Pangkalpinang.

Ia pernah diadukan BIN Kepulauan Riau kepada Polda Kepulauan Riau tanggal 17 Januari 2023 lantaran aduannya mengenai pekerja imigran ilegal yang dianggap berita bohong.

Tanggal 5 April 2023. Menko Polhukam RI Mahfud MD mengunjungi Romo Paschal dam memberi dukungan kepada Romo Paschal untuk aktivitasnya menanggapi masalah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Ketua KKP dan Migran Keuskupan Pangkalpinang: Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus Pr. (Romo Ferry SW)

Romo Paschal pernah mendapat penghargaan Hassan Wirayuda Perlindungan WNI Award (HWPA) tahun 2021.

Romo Paschalis mengutip Paus Fransiskus yang mengatakan, setiap tahun ribuan orang telah menjadi korban pelecehan seksual dan perdagangan orang.

Kita begitu terbiasa sehingga menganggapnya hal yang normal.

Ini sangat menyedihkan, kejam, dan kriminal. Demikian pendapat Paus Fransiskus.

Ini merupakan praktik perbudakan manusia modern. Demikian pendapat Ignatius Kardinal Suharyo sering mengutip pernyataan Paus Fransiskus.

Ini sama sekali juga bukan dongeng atau cerita dari negeri seberang. Itu sungguh-sungguh dan bahkan sering terjadi di sekitar kita, tetangga kita, keluarga kita.

Setiap saat terjadi; bahkan ketika kita sedang berjumpa sesama, maka di sana ada orang-orang yang justru malah sedang diperdagangkan.

Baca juga: Upaya Tanggulangi dan Atasi Perbudakan dan Perdagangan Manusia di Era Modern

Kata Paus Fransiskus, perdaganganan orang adalah luka terbuka pada masyarakat masa kini dan luka terbuka pada tubuh Kristus.

Perdagangan orang adalah luka kemanusiaan dalam diri para korban dan keluarga mereka. Luka terbuka pada hati nurani kita.

Luka-luka inilah yang semestinya menjadi perhatian kita dalam beriman. Kita seharusnya tidak diam. Membuka mata untuk melihat, membuka hati untuk menjadi peka, dan membuka tangan untuk siap membantu.

Mengisi program Hari Studi di kegiatan Munas ke-14 UNIO Indonesia di Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores, dengan seminar bertema “Berpastoral di Tengah Arus Migrasi” dengan empat nara sumber berpengalaman masing-masing di bidangnya. (Romo Ferry SW)

Mari buka mata, hati, dan berbelarasa

Romo Paschalis mengajak kita agar kita bertindak memutus mata rantai keluguan umat atau ketidakpahaman masyarakat atas fenomena perbudakan.

Dalam hal ini, korban justru malah sering tidak tahu dan tidak peka akan bahaya yang mengintai. Karena hidup keseharian mereka ini setiap hari sungguh didera kebutuhan mendesak untuk hidup. Ada tekanan keterpaksaan karena tidak berdaya.

  • Mari kita memutus mata rantai kebisuan penguasa yang membungkam suara korban. Karena kalau persoalan ini diangkat pasti akan membuat tersinggung pemerintah maupun lembaga pemberi kerja internasional lainnya.
  • Mari kita memutus mata rantai interest atau keuntungan di balik perbudakan; khususnya para penguasa yang berkelit (ada persoalan lain yang lebih penting). Padahal sebenarnya, mereka gagal untuk memberantasnya (azas manfaat, investasi ekonomi, devisa, baik langsung maupun tidak langsung.
  • Mari kita memutus mata rantai ideologi yang melegitimasi bahwa penghambaan atau perbudakan adalah layak dan dimungkinkan sebagai takdir.
  • Mari kita memutus mata rantai rasa puas diri, menolak untuk meninggalkan “zona aman” kehidupannya, meskipun di sekelilingnya marak terjadi perbudakan.
  • Menghindari diri untuk terlibat dalam persoalan ketidakadilan dan penindasan ini karena menganggap bahwa persoalan tersebut adalah bukan urusannya.
  • Mari kita memutus mata rantai blind eye – aksi tutup mata dan hati para pemegang kekuasaan atau pemerintah dan korporasi penyebab perbudakan.
  • Mari kita memutus mata rantai perbudakan itu sendiri. Dengan membangun dan memperkuat gerakan anti perbudakan modern secara luas dan solid.
Hari Studi di gelaran Munas ke-14 UNIO Indonesia di Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores, dengan tema menarik “Berpastoral di Tengah Arus Migrasi”. (Romo Ferry SW)

Akan terus terjadi

Bagi saya, semua masalah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) ini adalah masalah kemanusiaan yang akan terus akan terjadi. Itu karena masih banyak manusia mengalami kesulitan ekonomi dan orang-orang yang butuh makan dan kehidupan. Yang ditangkap itu mau diapakan?

Janji palsu dan nabi palsu masih bertebaran.

Mafia itu berperilaku bagaikan gembala yang datang dan mau menyapa yang berkesusahan dan memberi uang untuk yang memerlukan.

Mereka adalah gembala yang memperhatikan orang yang susah. Namun mereka adalah gembala dan nabi palsu yang pada saatnya akan menyebabkan penderitaan bagi para pekerja migran yang diperlakukan tidak adil dan dengan dusta.

Negara sendiri dikesankan tidak sungguh-sungguh hadir karena tidak ada roadmap dan langkah kongkret pencegahan perdagangan orang. Kalau ada pun tindakan pemerintah lebih bersifat sporadis dan tak terukur.

Lebih dari 2.000 orang yang ditangkap adalah perantara, sopir, orang yang mengantar, penghubung dll. Pemain utamanya dibiarkan lepas. Sepertinya perdagangan orang bukan persoalan serius dan prioritas.

Ini seperti menyapu jalan kotor yang kotor lagi setelah kita sapu. Saya pernah dilarang membuka data. Ada uang besar dan banyak orang yang terlibat.

Romo Paschalis mengajak kita menyalakan lilin di dalam kegelapan. Kita perlu memutus mata rantai.

Banyak yang tidak berdaya dalam tekanan dan kesulitan kehidupan. Jangan sampai para mafia dianggap pastor dan gembala sebagai penolong bagi mereka yang susah hidupnya.

“Berpastoral di Tengah Arus Migrasi” menjadi tema seminar yang mengisi Hari Studi di gelaran Munas ke-14 UNIO Indonesia di Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores, NTT, 25-29 September 2023. (Romo Ferry SW)

Tiga bentuk intervensi

Romo Paschalis mengusulkan tiga bentuk intervensi atau keterlibatan Gereja Katolik, yaitu:

  1. Advokasi kepada mereka yang tidak paham dan mereka yang rentan.
  2. Program pendampingan untuk mereka yang beremigrasi untuk bekerja.
  3. Program advokasi dan pendampingan legal untuk mereka yang sampai terjerumus dalam TPPO.

Ada berbagai program edukasi, sosialisasi, pendampingan, dan berbagai program lainnya agar semakin lama tidak ada lagi korban perdagangan orang.

Guru Besar Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang: Prof. Dr. Aloysius Liliweri. (Romo Ferry SW)

Prof. Aloysius Liliweri

Panelis kedua adalah Prof. Dr. Aloysius Liliweri, Guru Besar Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Nusa Cendana di Kupang. Ia lahir 19 Juni 1957 di Flores Timur dan doktor ilmu komunikasi lulusan Universitas Padjadjaran Bandung.

Prof. Alo Liliweri mengingatkan bahwa sebenarnya banyak sekali migran di antara kita. Para romo juga sebagian adalah migran termasuk orangtua para romo yang migran. Romo Paschal dan orangtuanya juga adalah migran.

  • Kita memerlukan pemetaan masalah TPPO yaitu mengenali titik lintas dari mana pekerja migran berasal dan apa yang sungguh terjadi.
  • Kita harus mempelajari data-data pekerja migran dan mempelajarinya mengapa ada yang angkanya tinggi dan ada yang rendah.

Marilah kita berhenti bermegah tentang sukses masa lalu.  

Kita perlu terus menyimak masalah TPPO dan jangan selalu bertindak terlambat, ketika masalah sudah semakin sulit dipecahkan.

Pihak Gereja tidak cukup hanya berhenti pada syering, namun harus aksi nyata dan sinkronisasi di semua level hirarki Gereja bekerjasama dengan pemerintah.

Bupati Kabupaten Ngada Paru Andreas

Panelis ketiga adalah Paru Andreas SH MH, Bupati Kabupaten Ngada. Tahun 1985-2014, ia sempat bertugas sebagai polisi di Jayapura dengan pangkat terakhir AKBP.  

Ia lahir 10 November 1959 dan lulus S1 Bidang Hukum dari Universitas Cendrawasih Jayapura dan S2 Magister Hukum dari Universitas Hasanuddin di Makassar.

Ia menjadi Bupati Kabupaten Ngada yang diusung oleh Partai Golkar. Ia dilantik menjadi bupati tanggal 26 Februari 2021; didampingi Wakil Bupati Raymundus Bena berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa.

“Saya lebih dari 38 tahun bertugas di Jayapura, Wamena dan Merauke di Papua sebagai polisi,” ungkapnya.

Artinya ia juga migran. Dulu, ia menjadi Ketua Paguyuban Masyarakat Ngada dan Nagekeo di Papua. Saat itu, ia berusaha membantu pekerja migran yang tidak tahan bekerja di kebun sawit dan kabur meninggalkan kebun sawit. Ada yang dibantu untuk pulang atau dicarikan pekerjaan di Papua.

Bupati Kabupaten Ngada Paru Andreas yang pernah menjadi polisi selama puluhan tahun di Papua, sebelum akhirnya maju sebagai pejabat Pemda Kabupaten Ngada, Flores, NTT. (Romo Ferry SW)

Ia bahkan sempat membebaskan tanah seluas 5 hektar di Sentani bagi masyarakat Ngada dan Nagekeo agar mereka bisa  menggarap lahan sesuai kemampuan sehingga sekarang mereka punya tempat tinggal.

Tahun 2014, Paru Andreas kembali ke Ngada dan berusaha mencoba memahami apa yang terjadi. Begitu sampai di Ngada, ia melihat lahan pertanian yang luas dan subur tapi ditelantarkan.

Alasannya, karena tenaga muda produktif sudah pergi semua. Mereka ingin bisa secara instan kerja langsung dan bisa mendapatkan uang segera.

Karena itu, ia lalu membeli lahan seluas 7 hektar untuk lahan pertanian dan hasilnya luar biasa. Ada kentang satu butir beratnya 1 kg. Lahannya subur.

Ia lalu mencoba mengajak orang lain menanam sayur dan hortikultura. Bawang merah hasilnya juga sangat bagus.

Tahun 2020, Paru Andreas mencalonkan diri menjadi Bupati KabupatenNgada. Sebagai bupati, ia sungguh berusaha menyediakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejaahteraan masyarakat melalui Program Tante Nela Paris (Tani, Ternak, Nelayan, dan Pariwisata).

Dilakukan dengan membantu mekanisasi pertanian melalui program menyediakan traktor dan alat-alat pertanian, kapal penangkap ikan, alat pengering dan pemecah biji kemiri, genset, dan dukungan pelatihan serta pendampingan.

Destinasi wisata di Ngada juga mulai dibenahi. Di tengah suasana pandemi Covid-19, Paru Andreas berusaha keras memajukan kesejahteraan masyarakat dengan mengajukan pinjaman Rp 100 milyar ke Bank NTT.

Bahkan ada rencana pengembangan Balai Latihan Kerja Terintegrasi di atas lahan seluas 5 hektar.

Filosofi Tuka Tuku Teka untuk wilayah Kabupaten Ngada

Pemda Kabupaten Ngada juga mengucurkan dana cukup banyak untuk renovasi dan pembangunan gereja dan kapel.

Semua usaha Kabupaten Ngada tersebut adalah upaya untuk membantu masyarakat memenuhi:

  • TUKA (konsumsi).
  • TUKU (tabungan).
  • TEKA (investasi).

Filosofi Tuka Tuku Teka menggambarkan cara masyarakat Ngada mencapai kemakmuran. Ditempuh dengan jalan mampu memenuhi kebutuhan konsumsi yang cukup sehingga masih bisa menabung untuk situasi sulit.

Juga diharapkan masih bisa menjual kelebihan produksi untuk investasi.

Bupati Kabupaten Ngada Paru Andreas berharap bahwa pemerintah, Gereja, dan masyarakat bisa bekerja sama untuk mewujudkan harapan masyarakat.

Apa yang sudah dilakukan di Kabupaten Ngada semoga juga bisa diikuti di berbagai daerah lainnya.

Agus Widodo dari Jateng dengan pengalaman 12 tahun menjadi tenaga kerja migran di Malaysia. (Romo Ferry SW)

Agustinus Wodo, mantan pekerja migran

Panelis ketiga adalah Agustinus Maria Wodo yang dari Paroki Komandaru, Jateng. Ia lahir 18 Agustus 1970 dan sekarang masih bekerja sebagai guru PNS di sebuah SD Katolik di wilayah pastoral Keuskupan Agung Semarang.

Ia pernah menjadi perantau dan pekerja migran di Malaysia Barat selama 12 tahun. Agus merantau ke Malaysia, karena terdesak oleh kebutuhan ekonomi.

Sesudah lulus SPG, ia melihat ibunya sakit dan keluarga mengalami kesulitan ekonomi sehingga dia memutuskan merantau.

Awalnya, Agus bekerja sebagai pekerja migran ilegal di perkebunan sawit dan ia hanya mampu bertahan selama tiga bulan.

Karena pekerjaaanya sangat berat. Akhirnya, ia mencari jalan lain.

Dengan bantuan pekerja migran lainnya dan Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Malaysia, ia berhasil memproses paspor dan izin kerja legal.

Dengan dokumen kerja legal ini, ia mampu membuat tingkat kesejahteraannya membaik dan bisa membantu keluarga di kampung.

Para narsum, para uskup, dan panitia di Hari Studi gelaran Munas ke-14 UNIO Indonesia di Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko, Ngada, Flores. (Romo Ferry SW)

Tanya jawab

Romo Mardianus “Lamboy” Indra Pr dari Keuskupan Ketapang, Kalbar, bertanya: bagaimana caranya agar pemerintah sungguh membuat program yang sesuai kebutuhan masyarakat.

Romo Albert Arina Pr dari Keuskupan Agung Makassar dan Romo Leonardur Lewokrore Pr mengajak Gereja sungguh mengusahakan solusi nyata untuk mengatasi masalah pekerja migran.

Romo Aloysius Barut Pr dari Keuskupan Sibolga, Sumut, mempertanyakan bagaimana mampu mendampingi bonus demografi yaitu Generasi Z agar tidak menempuh jalan keliru.

Romo Max Regus Pr dari Keuskupan Ruteng, Flores, bertanya mengenai strategi kuktural dan perlunya revisi Undang Undang TPPO.

Para panelis berharap bahwa semua pihak termasuk pemerintah, Gereja, dan masyarakat serta berbagai lembaga bekerjasama. Itu karena masalah TPPO bukan hanya tugas seseorang atau suatu lembaga saja.

Kita tidak bisa membantu mereka yang mau merantau untuk bekerja. Namun bisa membantu agar bisa berangkat bekerja dengan legal.

Juga melengkapi mereka dengan berbagai keterampilan dan pengetahuan. Sosialisasi dan edukasi harus terus diupayakan.

Menyelamatkan seorang pekerja migran saja sudah bagus. Tapi jangan diam saja, karena kita memerlukan strategi dana aksi nyata untuk menolong lebih banyak pekerja migran.

Lebih baik menyalakan lilin di dalam kegelapan daripada hanya mengeluh saja.

Penutup

Hasil seminar ini akan dirumuskan oleh tim perumus sebagai rekomendasi; sambil ingin lebih dulu dilengkapi dalam diskusi regio para imam diosesan di berbagai keuskupan di Indonesia.

Semoga para imam diosesan mampu menjadi penggerak di berbagai keuskupan dan di daerah masing-masing. Untuk menjalani aksi nyata cinta kasih terhadap para pekerja migran. (Berlanjut)

Baca juga: Munas ke-14 UNIO Indonesia – Mataloko Indah Sambut Empat Uskup, 137 Imam Praja dari Seluruh Indonesia (2)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here