Puncta, 15 April 2025
Selasa Pekan Suci
Yohanes 13: 21-33.36-38
HAMPIR di setiap kudeta selalu ada orang dalam yang bermain. Julius Caesar dikhianati oleh orang dekatnya sendiri, Brutus yang sudah dianggap sebagai anaknya.
Ketika mengerang bersimbah darah menuju ajal, Caesar melihat Brutus dan berkata, “Tu quoque, Brute, fili mi.” (Kamu juga Brutus, anakku).
Di Tanah Jawa, kisah-kisah pengkhianatan sering terjadi di istana-istana kerajaan. Kudeta berdarah menimpa Akuwu di Tumapel yang dibunuh oleh Ken Arok yang melibatkan orang-orang terdekatnya.
Orang-orang dalam itu seperti Tohjaya, Kebo Ijo, Ken Dedes, Anusapati. Banyak orang yang terlibat. Tentu ada aktor intelektualisnya yang bermain di sebuah kudeta.
Keterlibatan mereka didasarkan pada kepentingan; kekuasaan, ekonomi-bisnis, agama dan kebijakan.
Dalam dunia politik ada adagium: “Tidak ada kawan yang abadi. Yang ada adalah kepentingan.”
Sekarang jadi kawan, besuk jadi lawan. Begitu juga bisa sebaliknya.
Kita bisa melihat di kursi-kursi kekuasaan itu, yang dulu bertentangan sekarang bergandengan tangan. Tapi besuk bisa juga menikam dari belakang.
Dalam perjamuan makan bersama murid-murid-Nya, Yesus membicarakan tentang pengkhianatan: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku.”
Pengkhianatan bisa terjadi di mana saja; di keluarga, tempat kerja, instansi, kekuasaan bahkan juga di dalam relasi privat.
Ada musuh dalam selimut. Pengkhianatan justru sering dilakukan oleh orang dalam, sahabat, orang yang dicintai, orang dekat.
Apakah makna relasi pribadi dengan orang-orang di sekitar kita? Apakah kita siap membangun loyalitas dan kesetiaan dalam relasi itu?
Biyen antem-anteman saiki jabat tangan,
Biyen adol pupu papa saiki dadi pupu papat.
Yang dulu berteman sekarang jadi lawan,
Yang dulu menghojat sekarang jadi sahabat.
Wonogiri, tiada kawan yang abadi
Rm. A. Joko Purwanto, Pr