APAKAH Anda tahu, atau sadar dari mana asal kesulitan mendampingi atau menjadi lansia?
Pengalaman banyak orang dalam mendampingi lansia umumnya bernada negatif. Antara lain berbunyi:
- Ibu saya bener-bener menjengkelkan.
- Saya tak mengerti mengapa Bapak saya jadi begitu.
- Orangtua saya, sejak lansia, perilakunya makin aneh deh. dll.
Ada satu kenyataan yang dialami lansia, yang tidak kelihatan, maka juga jarang diketahui oleh orang yang berada di sekitarnya. Celakanya, akibatnya langsung dirasakan dan sangat mempengaruhi lansia.
Dan ini yang membuat bingung atau marah orang-orang sekitar. Walau sesungguhnya, hal itu juga tidak dapat dimengerti oleh lansia.
Lansia itu juga bingung. Kenyataan tersebut adalah kekhawatiran, atau kecemasan. Celakanya pula kekhawatiran atau kecemasan tersebut dengan mudah, dan dalam waktu yang singkat dapat me-raksasa, menjadi bagai monster bagi lansia.
Bila kecemasan itu terkait dengan orang sekitar, bisa jadi akibatnya juga dirasakan oleh orang sekitar. Pertanyaannya, apa penyebab munculnya kekhawatiran tersebut?
Penyebabnya bisa bermacam-macam. Tetapi kebanyakan kekawatiran itu datang dari apa yang didengar, apa yang dilihat atau apa yang dirasakannya.
Contoh: Ibu lansia mendengar anaknya mengatakan “Ibu kok seneng menyusahkan anaknya, kenapa sih? Disuruh minum obat saja, kok gak diminum.”
Buat si anak itu cuma ungkapan biasa sebagai katarsis dari kejengkelannya pada ibunya. Tetapi dari sisi ibu lansia yang mendengarnya bisa sangat berbeda. Ungkapan seperti itu dapat dirasakan sebagai tusukan menghunjam tajam di hati ibunya.
Buat si ibu bisa menjadi “raksasa, monster”. Sebab si ibu lansia dapat merasa: “Iya, memang ibu seneng menyusahkan anaknya…kok”
Sambil ngucap, namun hatinya tersayat-sayat. “Tuhan, biarkan aku mati saja, biar tidak lagi menyusahkan anak-anakku.”
Kalau dilanjutkan larut dalam perasaan, ucapan ibu lansia itu bisa mewujud nyata loh.
Contoh lain: ansia melihat (membaca tulisan). Tulisan tersebut dapat memicu kemarahan yang besar. Alhasil darahnya mendidih dan tensinya meninggi.
Saya pernah ngalami, kekawatiran berlebihan sehingga membuat deg-degan dan tensi saya naik. Kala itu, sore hari, saya setir mobil dari Semarang mau ke Jogja, lewat Kopeng. Di jalan menanjak menuju Kopeng saya melihat di depan saya jalan macet. Di depan atas sana ada truk semen jalan pelan menghabiskan ruas jalan.
Melihat itu, saya langsung cemas, kawatir berlebihan. Saya cemas kalau tak dapat mendahului truk semen itu terus saya sampai Jogja pasti malam, jam berapa gak jelas.
Sebelum lansia, lihat jalan macet itu tak masalah. Dulu gak pernah kawatir atau takut kalau gak bisa mendahului kendaraan lain.
Beruntung, saya sudah biasa mencari tahu sebab dari naiknya tensi saya. Setelah saya menemukan penyebabnya, cemas berlebihan, saya “syer” ke istrei saya.
“Saya khawatir, cemas gak dapat nyalib truk semen itu”.
Berbagi perasaan, itu kunci bagus untuk menetralisir perasaan, untuk menggembosi monster yang ada angan saya.
Sebuah pengalaman pribadi
Sebagai orang yang dianugerahi rahmat “darah tinggi” saya belajar untuk mengubah masalah menjadi berkah. Darah tinggi saya, saya jadikan “alarm” buat saya.
Di saat saya merasa tensi meninggi, saya berusaha meneliti pemicunya apa. Apa yang baru saya dengar, atau saya lihat, atau saya rasa yang menyebabkan tensi meninggi.
Kalau sudah ketemu, lantas saya coba olah rasa tersebut. Perasaan yang ada dirumuskan, diperluas horizonnya, ditempatkan pada posisi dan proporsinya.
Langkah berikutnya adalah proses dan buah refleksi atau perunutan itu segera di-’syer” ke orang tercinta. Dengan cara itu biasanya si monster mengempes atau hilang pelan-pelan..
Yang kedua, jika saya tahu ada kemungkinan saya mengalami kawatir atau cemas, saya menyiapkan penangkal atau peredamnya. Saya membawa termos kecil isi air panas.
Pengalaman saya membuktikan bahwa meminum air panas dapat melegakan dada yang sesak karena cemas. Airnya harus sepanas mungkin, biar panasnya menembus penyekat yang menyumbat kelancaran nafas atau darah.
Yang ketiga, saya sudah memperhatikan, bahwa ketika tensi meninggi, tensi akan segera turun bila saya berhasil sendawa (Jw: antop). Karena itu, setiap kali saya tahu atau merasa tensi meninggi, saya berusaha membuat diri sendawa.
Caranya seperti menelan ludah, tapi yang kita telan agin.
Kiat sederhana
Jika Anda mendampingi lansia atau, sudah lansia sebaiknya berupaya agar lansia tidak mendengar, melihat, atau merasakan yang bernada ‘negatif’.
Ya kata-kata, ya ungkapan, tindakan, dll yang membuat lansia merasa khawatir atau cemas berlebihan. Sebab kecemasan itu di luar kontrolnya.
Ia tidak mau, tapi ia tidak mampu menolaknya. Ia datang, karena “akibat faktor U”. Usia menua, maka raga juga turut melemah.
Sebagai lansia, sebaiknya tetap aktif berkegiatan, ya otak ya raganya. Jika otak, hati, dan raga juga tidak dipakai, dia makin cepat menua.
Dan percayalah bahwa Tuhan sudah menghujankan rahmat, bagi siapa pun yang mau berbuat (baik) bagi sesama dan dunia.
Menua tak berarti meniadakan upaya.
Upayakan tidak sibuk dengan kecemasan, ada banyak hal yang masih dapat dilakukan. Kalau tidak demi kemuliaan Tuhan, ya demi kesehatan jiwa raga kita: lansia.
YR Widadaprayitna
H 231001 AA