YANG saya maksud dengan istilah “kurban cinta” adalah sebagai berikut. Meskipun orangtua bermaksud mencintai anaknya, realitanya justru membuat si anak jadi kurban. Bukan orangtua yang berkurban demi anaknya, melainkan, anak yang dikurbankan demi orangtuanya.
Yang pertama sudah saya rumuskan dalam tulisan sebelum ini. Yang berikut ini adalah keterangan lanjutannya.
Kehamilan yang tak memenuhi harapan
Ada orangtua yang merasa bahwa, kehamilannya adalah masalah; bukan anugerah. Misalnya inginnya anak laki-laki, ternyata ia mengandung anak perempuan. Orangtua kecewa karenanya. Dan kekecewaan tersebut diceritakan ke mana-mana, kecuali kepada anak yang di rahimnya.
Akibatnya, sejak di kandungan sang anak sudah mengalami “penolakan”. Ironisnya, penolakan tersebut justru dia terima dari orangtuanya sendiri, sedari awal hidupnya.
Meskipun jelas bukan salah bayi yang sedang tumbuh di rahimnya, bahwa dia perempuan bukan laki-laki. Padahal, orangtuanyalah orang pertama yang dikenal anak. Kebayang tidak, kalau si bayi ingat sabda Tuhan sebelum ia dipilihkan orangtua yang kini menolaknya.
Sabda Tuhan: “Merekalah yang Kupilih jadi orangtua terbaikmu. Kepada mereka itulah Aku percayakan dirimu. Merekalah yang akan menerima, mencintaimu sehabis-habisnya. Merekalah yang akan mendidikmu hingga kau siap jadi utusan-Ku nantinya.”
Bahkan yang lebih dari sekedar penolakan pun, ada banyak. Bukankah ada banyak sekali anak yang keberadaanya di rahim ibunya:
- Yang tak memenuhi harapan orangtuanya;
- Yang akhirnya disingkirkan dari orangtuanya;
- Atau bahkan dilenyapkan dari dunia ini.
Sayang bahwa sering kali faktanya tersembunyi di balik istilah-istilah indah. Istilah yang sering menyembunyikan kekejaman di belakangnya. Sebut saja di antaranya: aborsi, terminasi, kuret dll.
Belum lagi alasan penyingkirannya, ada lebih banyak lagi. Seperti misalnya: kecelakaan, ketidaksiapan, kesehatan, belum mempribadi, keluarga, malu, gengsi dll.
Orangtua seakan tidak tahu atau tidak berpikir bahwa yang dilakukannya itu menyakiti hati anaknya. Apa dia pikir bahwa anak di rahimnya itu tidak dapat mendengar, tidak dapat merasakannya?
Memang seorang anak di kandungan ibu itu belum bisa menggunakan panca inderanya. Tetapi, ia mampu menggunakan “rasa”nya untuk “merasa”, untuk berkomunikasi. Bahkan untuk berinteraksi dengan orang-orang tercinta di sekitarnya.
Sejak terjadinya pembuahan, janin telah menjadi seorang pribadi. Sejak itu janin telah dibekali “rasa” dan karenanya terbiasa menggunakan “rasa” untuk berkomunikasi dengan pribadi-pribadi di sekitarnya.
Mencintai anak sejak di kandungan
Oleh karena itu, wahai para ibu hamil, tolong ucapkan dan ungkapkan segala hal yang positif tentang anak di kandunganmu. Hindari ungkapan, kata-kata, yang membuat anak yang di dalam rahimmu merasa kecewa atau sakit hatinya.
Seperti misalnya: “Anakku memang gak kasihan sama mamanya sampai harus bedrest, karena mamanya gak bisa makan.”
Lakukanlah segala sesuatu yang membuat anak di rahimmu merasa bahagia karena diterima dan dicintai. Umpamanya, ceritakanlah: “kehebatan papanya, kecintaan kakaknya, indahnya dunia” dlsb.
Jangan pula ibu hamil, justru lebih sibuk ingin mewartakan dirinya “hamil”. Daripada sibuk mempedulikan bayi yang di rahimnya, bertanyalah pada anak di rahimmu: perlu apa, kurang apa agar anakmu sehat dan bahagia.
Lebih bagus lagi, justru di saat kehamilan, jadikanlah saat yang indah untuk mendoakan anak yang di kandungannya. Atau mengajak anakmu berdoa bersamamu.
Terakhir, tapi bukan tidak penting. Bagi orang kristiani, cinta orangtua yang sampai mengurbankan anak sebetulnya sama sekali tidak perlu lagi.
Sebab Allah Bapa telah mengurbankan Anak tunggal-Nya untuk kita semua. Anak Tunggal itu adalah Yesus yang telah dikurbankan sampai wafat di kayu salib untuk keselamatan kita manusia. (Berlanjut)
Jika Anda berkenan dan ingin membagikan tulisan ini, monggo silakan. Terimakasih.
Jika Anda tergerak hati dan berkenan ingin menanggapi letupan jiwa ini atau syering pengalaman, terimakasih sebelumnya.
YR Widadaprayitna
H 241130 AA
Baca juga: Anak kurban cinta orangtua (1)