BEBERAPA kali saya menemani keluarga yang punya masalah. Karena suaminya termasuk dalam kategori “anak mami”.
Sebagai suami ia tak dapat mengambil keputusan sendiri. Isterinya tidak dianggap, sebab segala sesuatunya mesti tanya ke mami dulu. Mau beli baju, tanya mami. Mau pindah rumah, tunggu mami. Ingin beli motor tanya mami. Anaknya mau masuk sekolah mana, tunggu saran mami. Mengatur rumah, mamilah yang berkuasa melakukannya. Masakan, semua mesti seperti masakan mami.
Sejujurnya saya tidak tahu bagaimana mereka dulu pacaran. Tetapi, dalam membangun keluarga, menjalankan bahtera rumahtangga bersama “anak mami” sungguh merepotkan bahkan sulit diwujudkan.
Mengapa” Sebab watak “anak mami” ini sudah terbentuk sejak masa kecilnya. Menurut saya, anak mami malah sudah menjadi suatu cacat kepribadian, semacam “defect”; yang sulit direvisi.
Bentuk lain dari “anak mami” adalah, ia jadi pemalas abadi, apa-apa ditanggapi dengan “mager”, malas gerak. Maunya segala sesuatunya sudah tersedia, tak perlu berusaha.
Sebetulnya bukan persis malas, tetapi lebih karena “tidak tahu” harus bagaimana mesti berusaha. Daripada susah-susah mencari tahu, ya diam aja. Kesannya dia malas.
Yang benar ialah bahwa dia gak punya ide, gak punya “vocabulary” untuk berpikir dan bertindak sesuatu. Karena sebagai anak mami, dia dari dulu gak perlu susah berpikir apalagi berupaya.
Mami sudah mikirin semuanya. Dia juga tidak perlu berusaha, karena saking cintanya mami, segalanya sudah diupayakan maminya. Bahkan dia tidak tahu bagaimana meminta sesuatu, sebab sebelum meminta, maminya telah menyediakan.
Sebelum tahu rasanya lapar dan haus, mami sudah memberinya makan dan minum. Maka jangan heran, jika tidak kesampaian apa yang dimaui, dia kan marah besar, bahkan menyakitkan dan merusak relasi di antara orang-orang terdekat.
Sebab sejak kecil selalu dituruti oleh maminya, dia menikmati alias menyalahgukan cinta maminya untuk kenikmatan, kenyamanan hidupnya
Mengapa ada mami yang berbuat demikian terhadap anaknya?
Mami demikian, pasti bukan karena ia jahat, tetapi karena setahu dia itulah yang terbaik dalam mencintai anaknya. Barangkali, karena ia tidak kuasa mengatasi masalah atau pengalaman pahitnya.
Misalnya, riwayat mendapatkan si anak itu berbelit. Entah karena lama menikah, baru punya anak. Atau karena pengalaman pahit dengan kakak anaknya dulu. Traumanya tak pernah diolah dan diintegrasikan dalam hidupnya.
Akibatnya, anak yang lahir sesudahnya terlalu “dieman-eman”, disayang-sayang. Mami tak ingin anaknya kecewa, apalagi terluka. Walau sebenarnya, yang tak ingin terluka dan kecewa lagi adalah maminya.
Anaknya hanya kurban atau sasaran.
Bagaimana bisa terjadi anak istimewa demikian?
”Anak mami”, terbentuk secara perlahan, di masa kecilnya.
Yang pertama, segala sesuatunya diurus oleh maminya. Sebelum anak minta sesuatu anak sudah diberi, disodori, ditawari, anak tinggal menikmati. Pilihan mami sudah pasti paling bagus.
Jadi anak jarang atau tidak pernah sendiri memproses dan berproses.
Proses perkembangan anak, dalam banyak hal diambil alih oleh orangtuanya, khususnya oleh maminya. Misalnya anak tak punya pengalaman sendiri memilih minum air atau minum susu. Jenis susunya sudah dipilihkan mami.
Keinginan anak untuk mencoba sendiri, tak pernah dimungkinkan; tentu dengan alasan yang terbaik maminya.
Karena mami sayang anak, jadi tak mungkin ia menjerumuskan. Menjerumuskan tidak, tetapi melemahkan, menghilangkan kemampuan anak untuk jadi dirinya, iya.
Gambaran yang paling mudah dimengerti, ialah cerita tentang kepompong. Ketika kita masih kecil dulu mungkin kita pernah menolong kepompong. Karena kasihan, kita membantu calon kupu yang sedang berjuang, dengan susah payah mau keluar dari kepompongnya, dengan merobek kulit kepompongnya.
Karena kasihan, kita membantu membukakan kepompong tersebut, sehingga calon kupu itu mudah sekali keluar dari kepompong. Tanpa sadar kita mencelakai kupu-kupu tersebut. Sebab ketika bakal kupu berjuang, merobek kulit kepompong, itu dia sedang berposes membuat sayapnya jadi kuat, tidak lembek.
Sayap yang kuat, diperlukan untuk terbang ke sana ke mari nantinya. Karena bantuan kita, proses menguatkan sayap terpotong, dan sayapnya jadi lemah, tidak cukup kuat untuk terbang.
Kita tidak memberi kesempatan kupu itu berproses menguatkan sayapnya, karena kita mengambil alih prosesnya.
Akibatnya, kupu tidak bisa terbang, jatuh ke tanah dan mati dipatok ayam.
Sama halnya dengan mengasuh anak.
Jika kita mengambil alih proses anak untuk menjadi dirinya, ia tak bakalan jadi dirinya sendiri. Oleh sebab itu, orangtua, atau siapa pun yang mengasuh anak, hendaknya jangan sampai mengambil alih proses anak.
Anak kotor, lecet, jatuh, kecewa, salah, menangis adalah proses menjadi dirinya sendiri. Tugas kita adalah membantu agar proses terjadi dengan baik.
Biar laksana kupu-kupu anak dapat terbang mencari madu hidupnya. (Berlanjut)
YR Widadaprayitna
H 230814 AA
achristianparenting