Mutiara Keluarga: Menyuling Cinta

0
106 views
Ilustrasi.

SENGAJA saya  memilih kata “menyuling” dengan maksud untuk menggambarkan ada dan perlunya mengubah paradigma (persepsi dan aplikasi) tentang cinta. Khususnya cinta dalam wujud mendampingi mereka yang sudah masuk kategori usia lanjut. Dan terutama cinta dari orang lansia.

Sebab, jika kita tidak mengubahnya, kita akan menerima banyak undangan  emosi jalang  datang dan menyulut kemarahan  dalam diri orang lanjut usia maupun emosi dalam dari kita, para pendampingnya.

Mendampingi orang tua atau lansia

Pernahkan Anda menjadi orang tua atau lansia? Kalau belum, bagaimana Anda merasa bisa menjadi  pendamping orang tua, lansia?

Banyak orang berkata bahwa memaknai  hari tua adalah membuat orang tua bahagia. Pernahkah Anda mengalami berproses bersama orang tua, mencoba membuat orang tua bahagia?

Atau Anda sendiri sedang mengalami diri menjadi orang tua yang berupaya menjadi bahagia?

Proses menjadi tua

Berikut adalah beberapa perubahan yang dialami oleh mereka yang berproses menjadi tua, atau menjadi lansia. Menjadi lansia itu sungguh tidak mudah (baca: tidak siap).

  • Secara fisik terjadi perubahan signifikan: rambut, kumis, alis mata mulai memutih atau memanjang di luar ukuran. Kulit mulai keriput. Kantong mata mulai menebal, membuat wajah tampak tua. Gigi mulai kompak goyang bersama, atau malah sudah tanggal, tanpa urutan, tinggal dua. Mulutnya susah dipasang gigi palsu, karena tidak ada pijakan gigi yang kuat. Posisi gigi mulai akrobat, jumpalitan. Dan terutama jantung mulai minta perhatian, pernafasan pun kadang terasa berat, gampang lelah, pertanda otot  jantung tak sekuat dulu lagi.
  • Secara psikis pun mulai ada perubahan. Perubahan yang bisa jadi orangnya tidak menyadarinya. Karena ia tengah sibuk dengan kecemasan, kekhawatiran akibat munculnya tanda dan gejala menua tersebut. Inginnya segera  diatasi, namun tak banyak harapan, dan itu membuat  sulit menerima dirinya.

Mudah sekali baper

Celakanya hal itu berimbas pada orang-orang sekitarnya. Mereka yang berupaya menemani mereka. Mereka ini tidak tahu dan tidak mengerti, masalahnya, tidak memahami pergulatannya. Dan itu menambah stres dan frustrasinya orang tua. Orang-orang dekat yang berada di sekitarnya, hanya heran dan merasa kasihan. Heran kok dikit-dikit  kecewa, mudah marah, gampang menangis.

Awalnya itu mengganggu, kalau bukan merepotkan. Tapi tidak jarang, kalau lantas terjadi ledakan- ledakan emosi yang tak terkendali dari kedua belah pihak.

Bagi yang sedang mengalami proses tersebut, kenyataan tersebut dapat meneror rasa perasanya. Ia mudah khawatir, gampang cemas yang berlebihan., mudah merasa “down“, “keranta-ranta, kelara-lara” hanya karena satu kata yang diucapkan cucunya.

Jadi sesungguhnya menjadi tua itu adalah suatu proses yang mengandung beban rasa, kalau bukan beban derita. Kadang sungguh terjadi bahwa orangnya menjadi seperti anak kecil, yang menangis karena mendengar kata yang kasar, menyinggung perasaan, yang menyentuh harga dirinya.

Dengan kata lain, proses yang penuh kerinduan untuk menjadi kuat atau sehat kembali, meskipun tahu hal itu mustahil. Ingin kembali berkuasa lagi, alias rindu untuk dihormati, dihargai lagi, meskipun tahu itu adalah kemustahilan. Dan ini bisa jadi bibit stres, yang pada gilirannya membakar habis energi dan imunitas tubuhnya.

Lantas tubuhnya jadi gampang sakit.

Begitulah gambaran pengalaman pergulatan proses menjadi tua. Pertanyaannya, “so what?” Masalahnya muncul manakala, isteri,suami atau keluarga yang mendampingi tidak punya ide lain kecuali menyediakan “sandang pangan lan papan” bagi mereka yang sudah atau sedang proses menua.

Penyediaan tersebut jauh dari cukup.

Masih diperlukan banyak hal lain yang diperlukan. Seperti misalnya:

  • Mereka perlu katarsis atas segala rasa yang berkecamuk di dada. Untuk itu perlu teman atau komunitas yang mampu mendengarkan cerita mereka. Cerita yang  sering diulang-ulamg. Untuk sanggup mendengarkan dengan sabar juga perlu rahmat khusus.
  • Mereka ini kadang perlu diberi peran serta disediakan “panggung” agar ada waktu dan tempat untuk terlibat,  pentas di panggung. Bukan keterlibatannya yang penting, tapi kesempatan bercerita tentang  kehebatan masa lalunya. Itu diperlukan untuk mengimbangi munculnya kecemasan dan kekhawatirannya.
  • Dalam banyak hal mereka ini perlu dibiarkan -kalau tidak sanggup- mendukungnya. Ide-ide atau kegiatannya perlu difasilitasi agar terjadi. Tentu saja sejauh tidak membahayakan dirinya atau tidak butuh biaya berlebihan. Sebab kegiatan jiwa raga, otak atau hatinya akan membantunya untuk tetap bersemangat hidup, di senja usianya.
  • Maka dari itu, banyaknya waktu dan kegiatan, di lingkungan rumah, Gereja dan masyarakat adalah penting dan perlu agar tubuh makin bugar, segar dan tegar serta berjiwa besar.

Cinta mereka dulu dan sekarang telah dan tetap berkobar membakar jiwa kita orang-orang tercintanya.

Menyuling cintanya adalah tugas kita, agar mereka tetap penuh cinta, iman dan harapan hingga cinta Tuhan menyempurnakannya suatu saat yang tepat nanti.

YR Widadaprayitna

#alovingchristianfamily

H 230825  AA

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here