Mutiara Keluarga: Sungguhkah Aku Mencintai Anakku?

0
48 views
Ilustrasi: Mengajari anak berdoa sejak kecil adalah tugas mulia setiap orangtua Katolik dalam keluarga. (FX Juli Pramana)

DI dunia ini, tak ada orangtua atau kakek-nenek yang tidak mengasihi anaknya atau cucunya. Tetapi, mengasihi tidak sama dengan mengasihani.

Mengasihani seseorang berarti berpotensi menganggap orang yang dikasihani tidak berdaya. Artinya, menisbikan daya orang yang dikasihani. Mengasihani juga potensi mengambil hak orang lain.

Terbang mengarungi kehidupan

Ketika calon kupu sudah siap keluar dari kepompongnya, ia akan dengan sekuat tenaga, merobek kepompongnya. Kalau karena kasihan, kita membantu merobek kepompongnya, akibatnya pasti fatal. Calon kupu-kupu itu tidak akan bisa terbang selamanya. Sebab usahanya yang berat untuk keluar dari kepompong itu adalah proses menguatkan sayapnya.

Jangan sampai tindakan kita kasihan pada anak atau cucu kita itu juga berakibat fatal: anak dan cucu tidak dapat “terbang” mengarungi belantara kehidupan ini.

Karena itu, orangtua, nenek-kakek, kasihilah anak cucumu, tapi jangan pernah “mengasihani” anak cucumu. Dalam hal ini, mengasihani dapat berarti merampas hak anak, cucu untuk menyiapkan diri, hidup mandiri tanpa tergantung pada kita: orangtua atau kakek-neneknya.

Ilustrasi – Orangtua mengajak anaknya jalan-jalan. (Parenting)

Contoh
Ketika anak merengek menangis minta gendong, padahal dia sudah waktunya untuk belajar berjalan: Apa yang kita lakukan? Karena kasihan, khawatir nanti jatuh, atau lecet kakinya, lalu anak digendong. Toh tindakan ini membuat keduanya senang, anak nyaman dan kita yang menggendong pun merasa berarti hidupnya.

Beranikah kita jujur menjawab: tindakan tersebut diambil demi siapa? Anak atau kita?

Jika perbuatan semacam itu diulang dan menjadi kebiasaan, tentu amat tidak positif. Jangan heran, kalau si anak tidak segera bisa berjalan atau malah sampai gedé gak bisa berjalan.

Orangtua tersebut mengasihani, tapi bukan mengasihi anaknya. Sebab kalau mengasihi, maka segala yang dilakukan adalah demi yang dikasihi. Kalau waktunya dia belajar berjalan, ya anak harus diarahkan. Bahkan dipaksa; bahkan dipaksa untuk belajar berjalan. Jatuh dan lecet adalah bagian dari proses belajarnya.

Ilustrasi – Kasih orangtua kepada anak. (Ist)

Betulkah kita mengasihi anak-cucu kita?

Mari kita telusuri satu per satu, seraya bertanya: apakah kita sudah benar-benar mengasihi? Mengasihi mesti keluar dari diri kita dan demi si anak.

Ketika anak belum tiga bulan dalam kandungan, orangtua sudah keburu pakai baju hamil. Coba kita bertanya, tindakan ini demi siapa? Demi anaknya atau demi ibunya?

Di zaman ini, posting dan content itu penting. Jujurlah, ketika kita posting foto atau video anak kita -tentu yang baik dan pantas dibanggakan, bukan yang memalukan- tindakan tersebut sebenarnya demi siapa: orangtua atau anaknya?

  • Ketika anak tantrum di tempat umum, cara kita merespon demi anak atau demi orangtua? Misalnya biar tidak bikin malu kita.
  • Ketika orangtua memilihkan les untuk anaknya. Dasarnya apa? Demi anak atau demi kita orangtuanya?
  • Ketika kita mendorong anak memilih hobi atau kegiatan tertentu, demi siapa itu?
  • Ketika anak memilih tempat atau mata kuliah, demi siapa, keinginan atau pilihan anak atau orangtuanya?
  • Bahkan memilih jodoh pun, masih ada loh dominasi campur tangan orangtuanya besar. Demi siapakah itu. Biar anak bahagia, atau biar orangtua dapat membanggakan atau malah memamerkannya.

Refleksi

  • Apakah kita masih sungguh mau mengasihi anak kita?
  • Percayakah kita, bahwa Tuhan punya rencana unik untuk setiap anak kita? Bukankah di Kitab Suci kita membaca: “Sebelum aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku, Tuhan, telah mengenalmu.” (Yer 1: 5)

Kecuali itu, Tuhan punya rencana pengutusan-Nya di tengah dunia, demi kebaikan sesama dan dunia.

Jadi, anak itu lahir karena rencana dan kehendak Tuhan; bukan semata karena cinta kedua orangtuanya. Tugas kita, orangtua, hanya mengasuh, mengasihi, bukan mengusai dia. Untuk itu, Tuhan memberi kita hati dan budi.

Jika Anda berkenan dan ingin membagikan tulisan ini, monggo silakan. Terimakasih.
Jika Anda tergerak hati dan berkenan untuk menanggapi letupan jiwa ini atau syering pengalaman, terimakasih sebelumnya.

H 240601 AA
YR Widadaprayitna

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here