PERTANYAAN ini mau saya ajukan kepada para orangtua dan kakek-nenek yang memutuskan atau melakukan sesuatu demi anak, tetapi tanpa melibatkan anak dalam porses deliberasinya.
Seyogyanya setiap orangtua atau kakek-neneknya berpikir jauh mendalam, setiap keputusan atau tindakannya terkait dengan pribadi dan pendidikan anak. Atau setidaknya selalu lebih dulu bertanya diri secara jujur: yang kulakukan demi anak atau bukan? Kalau memang benar-benar cinta anak-cucu, mestinya semata-mata “demi anak”.
Konkretnya, dalam memilih pakaian yang akan dikenakan anak-cucunya. Cobalah bertanya diri apa motivasi utamanya. Apakah biar anakku lebih percaya diri, lebih berani tampil beda, belajar mandiri? Atau demi kebanggaan orangtua; bisa jadi bahan untuk ngonten orangtuanya.
Dalam menawarkan les-les-an untuk anak
Anak-cucu di-les-kan ini dan itu. Bukan karena anak butuh, tetapi agar orangtua dianggap mampu, atau minimal dinilai, dianggap sayang anak. Dalam memilihkan sekolah untuk anak, apakah anak yang mau, atau orangtua yang mau.
Kalau demi orangtua-nenek itu misalnya, anak mesti kos di orang yang berhutang budi kepada orangtuanya. Misalnya anak harus memilih sekolah yang dekat dengan tempat tinggal orangtuanya.
Itu demi anak atau demi orangtua? Silakan jawab sendiri.
“Demi orangtua” itu terjadi, misalnya anak harus masuk sekolah pilihan orangtua, sekolah yang sama dengan sekolahnya orangtua dulu. Sebab, dengan demikian orangtua akan bangga karena sekolah tersebut termasuk sekolah bergengsi. Sedangkan demi anak, itu misalnya anak-cucu lebih nyaman belajar di sekolah tesebut, karena banyak temannya yang masuk sekolah di sana.
Pertanyaan “benarkah demi anak?” juga dapat diajukan, ketika orangtua menyerahkan pengasuhan pada kakek-neneknya untuk dijadikan teman menjalani masa pensiunnya. Atau menitipkan anak pada saudara yang lagi perlu dukungan finansial; dan bukan karena kakek-nenek atau saudaranya memang “jago” dalam mengasuh anak.
Orangtua mesti bertanya, “kasihan” pada kakek-nenek-saudaranya atau “kasihan” pada buah hatinya.
Godaan untuk memutuskan atau bertindak bukan demi anak-cucu akan lebih besar lagi kalau anak-cucunya termasuk dalam kategori cantik-ganteng, atau enak dipandang. Sebab anak-cucu yang enak dipandang akan sangat menarik diajak ke mana-mana (baca: dipamerkan), diajak selfi bahkan jadi materi konten medsos.
Yang demikian hampir pasti bukan kebutuhan anak-cucu. Anak-cucu toh belum membutuhkan, bahkan mungkin belum ngerti arti dan makna viral di dunia maya. Kalau bukan kebutuhan anak, pasti bukan demi anak, tetapi justru demi yang memanfaatkan anak tersebut untuk memenuhi kebutuhannya.
Benarkah demikian
Pertanyaan berikut adalah kalau memang bukan demi anak-cucu, memangnya kenapa? Kelihatannya tidak ada dampak negatif apa pun bagi anak-cucu.
Tetapi sesungguhnya yang terjadi adalah anak-cucu dieksploitasi, demi kepentingan orang dewasa. Itu adalah suatu bentuk perampasan hak anak oleh orang dewasa.
Ini adalah bentuk ketidakadilan. Tidak adil, sebab anak tidak berdaya untuk jangankan membela diri, bahkan anak-cucu tidak atau belum tahu kalau dirinya dimanfaatkan demi pemenuhan kepentingan atau kebutuhan orang dewasa.
Celakanya, orang dewasa yang memanfaatkannya biasanya adalah justru mereka yang mestinya mencintainya. Bahkan pakai alasan atas nama cinta, orang dewasa yang memutuskan atau melakukan tindakan kepada anak-cucunya tersebut.
Tanpa menyadari bahwa tindakannya itu bukan demi anak tetapi demi dirinya.
Maka seringlah bertanya diri, pada siapa pun yang ber”kuasa” untuk memutuskan atau melakukan sesuatu pada anak-cucunya: ”Demi anakkah, demi siapakah semua ini kulakukan?”
Lebih dari itu, para orangtua, kakek/nenek, sebaiknya berhenti bertindak atas nama cinta, tetapi sesungguhnya bukan “demi anak”.
Setiap anak berhak untuk dicintai, dipihak-i, bukan dikurbankan demi orang dewasa. Sebab selain anakmu, seorang anak pertama dan utama adalah anak Tuhan. Dia lah yang empunya rencana atas hidupnya.
Jika anda tergerak hati untuk membagikan tulisan ini, monggo. Silakan.
Terimakasih banyak seandainya anda berkenan menanggapi keyakinan ini. Saya tunggu.
YR Widadaprayitna
H 271025 AA