PAPUA memang istimewa. Tidak hanya tanahnya yang nan kaya tembaga dan emas, tetapi juga wilayah yang berlimpah talenta, sekedar menunggu ditemukan, diasah dan dicarikan panggung.
Panggung untuk Papua, itulah yang tengah tergelar dalam perhelatan akbar olahraga Asia Tenggara di Palembang dan Jakarta minggu-minggu ini. Mutiara-mutiara Papua bersinar salah satunya lewat sepakbola.
Publik se-Indonesia seolah tersihir trio Papua Patrich Wanggai, Titus “Tibo” Bonai dan Octovianus “Okto” Maniani yang ganas dan trengginas mengkoyak-koyak jala di gawang lawan-lawan Tim Garuda pada tahap pertandingan grup.
Simak bagaimana Kamboja dibuat seperti pemula, takluk 6-0. Atau, negara tetangga Singapura yang dibungkam 2-0, dan bahkan favorit kampiun Thailand disuruh angkut kopor di tahap awal setelah dipaksa menyerah 3-1.
Patrich mengemas empat gol, Tibo tidak mau kalah mengoleksi tiga gol sehingga membuat duet Papua itu saja sudah mengoleksi tujuh dari 11 gol Tim Merah Putih selama tiga pertandingan awal ini.
Saking tersihirnya publik dengan penampilan mereka, di social media Facebook dan situs mikroblogging Twitter beredar guyonan: Ini pertandingan Persipura lawan Kamboja, atau Persipura versus Singapura, sebuah ungkapan pujian atas terlampau besarnya kontribusi Patrich, Tibo, Okto dan pemain Papua lainnya dengan merujuk klub sepakbola asal Papua, Persipura.
Publik sebentar terlupa akan berita mengenai Papua beberapa bulan terakhir yang tak henti-hentinya dirundung persoalan pemogokan massal, perselisihan antar suku, kekerasan serta penembakan.
Papua adalah paradoks. Di tanah yang menyimpan salahsatu deposit tembaga dan emas terbesar di dunia, rakyatnya didera ketimpangan sosial tak terperi dengan penduduk asli yang tak memperoleh akses seluruh kemakmuran yang tengah dikeruk dari perut buminya.
Kemiskinan, ketertinggalan, ketidakamanan, tingginya penyebaran HIV/AIDS seolah tak jera menjadi cerita pedih mengenai Papua selama beberapa dekade dan mungkin masih akan berlanjut hingga tak seorang pun tahu kapan akan berakhir.
Ketika ditanya mengenai apakah persoalan mengenai Papua mengganggunya, pesepak bola Titus Bonai mengatakan bahwa ia tak mau terganggu oleh apa yang terjadi di Papua.
“Saya hanya mau fokus terhadap pertandingan. Saya ingin bersama timnas menyumbangkan emas bagi Indonesia,” katanya setelah pertandingan melawan Thailand.
Medali emas adalah kehormatan tertinggi dalam pesta olahraga dua tahunan ini. Pada saat pengalungan medali emas tersuguh pula momen menggetarkan saat dikumandangkannya lagu Indonesia Raya beserta dikibarkannya Sang Merah Putih. Keinginan meraih kehormatan yang tertinggi untuk bangsa dan negara berbanding dengan kadar nasionalisme.
Ironisnya, justru kadar nasionalisme itulah yang tampaknya tengah dipersoalkan terkait kongres Rakyat Papua di Abepura yang berujung pada pembubaran paksa oleh otoritas keamanan disertai kekerasan kepada peserta kongres selain juga penembakan terhadap seorang perwira polisi, serta bergaungnya seruan referendum bagi Papua.
Tak hanya di Papua, LSM pembela HAM mengecam aparat keamanan yang mendatangi asrama mahasiswa Papua di Tebet, Jakarta Selatan untuk mendata identitas mahasiswa Papua di Jakarta, pendekatan yang dikritik para aktivis, hanya akan membuat trauma para mahasiswa Papua. Pendataan yang sama dilaporkan juga di Denpasar, Bali awal bulan ini.
Kembali ke gelanggang SEA Games edisi ke-26 ini, para atlet dari Papua seolah mendapatkan panggung pembuktian akan sumbangsih mereka bagi bumi pertiwi.
Dari arena atletik, dua atlet Papua, Franklin Ramses Burumi dan Serafi Anelis Unani mengawinkan dua gelar bergengsi di nomor 100 meter putra dan 100 meter putri.
Franklin, yang sempat diragukan oleh Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) karena dilaporkan hendak didegradasi dari seleksi, bahkan meraih emas kedua di nomor 200 meter.
Atlet bermodel rambut unik ini digadang-gadang akan menggantikan seniornya Suryo Agung Wibowo yang tengah absen karena naik haji, untuk menjadi manusia tercepat se-Asia Tenggara.
Papua effect juga terasa di matras karate manakala karateka wanita asal Papua Yolanda Asmuruf memenangi nomor kumite untuk kelas di bawah 68 kilogram dan menyumbang emas untuk laskar Garuda.
Rasa-rasanya aneh. Justru manakala persoalan tak henti-hentinya mendera bumi Papua dan rakyatnya, justru para atletnya berprestasi dan moncer. Apakah mereka tidak peduli dengan apa yang terjadi terhadap saudara-saudaranya di Papua? Tampaknya jawabannya adalah tidak.
Franklin, sang sprinter pemenang emas ganda, mengatakan dengan baik.
“Saya sebenarnya tak mau dan tak akan bicara politik karena ini olahraga. Saya hanya ingin mengatakan bahwa putra-putri Papua bisa berprestasi,” ujarnya.
“Rakyat Papua tak pernah mau diamankan, kami hanya mau keamanan di Papua. Kalau mau bicara, kita bisa bicara baik-baik. Jangan remehkan putra-putri Papua, sekarang kita buktikan dengan prestasi,” tegas Franklin.
Sumber: The Jakarta Post