JAKARTA, SESAWI.NET – Menghadapi krisis pangan global, yang ditandai dengan harga pangan yang terus meningkat, pemerintah perlu segera menetapkan kebijakan pangan yang berkeadilan, berdasarkan pada pemenuhan hak dan bertumpu pada sumber daya lokal. Kebijakan impor pangan yang terus menerus dilakukan, tidak akan pernah menuntaskan masalah pangan dan kesejahteraan para penghasil pangan di Indonesia. Tuntutan ini disampaikan oleh Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) menjelang peringatan Hari Pangan Sedunia 16 Oktober 2011 nanti.
” Di tengah situasi dimana menghasilkan pangan semakin sulit, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan pada pangan impor yang saat ini mencapai 65% dari kebutuhan nasional.” tegas Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional ADS. Impor pangan yang terus dilakukan bukan hanya menunjukkan kemalasan pemerintah dalam memenuhi hak dasar rakyatnya dan melindungi produsen pangannya, tetapi juga kegagalan melihat masalah pangan merupakan penting bagi kedaulatan bangsa, dan harus ditangani dengan serius.
Kebijakan yang tidak berdaulat tercermin dalam kasus pembebasan Bea Masuk dan PPN dari terigu dan kedelai impor. Akibatnya kedelai lokal menjadi semakin tertekan dan produsen kecil tidak tertarik untuk menanam. Demikian juga industri MOCAF (Modified Cassava Fluor), yang tidak bisa berkembang karena pemerintah lebih mendukung terigu impor dengan pembebasan BM dan menanggung PPN. Seandainya kebijakan tersebut tidak dilakukan, potensi MOCAF pasti akan berkembang dan Indonesia bisa terbebas dari ketergantungan terhadap terigu.
Ironisnya, ditengah tingginya pangan impor, dan sekitar 67 juta orang yang menderita rawan pangan, Pemerintah berangan-angan menyediakan pangan bagi dunia. ”Benar-benar tidak ada strategi pangan nasional yang jelas, selain mengejar kepentingan jangka pendek dengan melayani kepentingan investor.” tambah Tejo, melihat strategi yang diambil untuk penyediaan pangan diantaranya melalui food estate dan MP3EI.
Bukan soal ketersediaan pangan
” Persoalan pangan bukan soal ketersediaan pangan semata, tetapi bagaimana menghasilkan, dari mana juga kemerdekaan untuk menentukan pilihan apa yang akan kita makan. Dengan mereduksi pangan sebatas pada ketersediaan beras semata,Indonesia tidak akan pernah berdaulat atas pangannya.” jelas Said Abdullah, koordinator pokja beras ADS. Said mengingatkan, sejak beras ditetapkan sebagai komoditas strategis, saat itu juga terjadi pengabaian terhadap 77 jenis sumber karbohidrat yang sebenarnya dapat membuat negara ini bertahan melewati krisis pangan yang terjadi. ”Produksi padi tidak terkejar sampai kapan pun jika kebijakan pangan hanya fokus pada persediaan beras. Apalagi kalau gandum dipilih sebagai sumber karbohidrat utama, kita akan terus bergantung pada impor.” tambahnya lagi.
Kebijakan pangan yang tidak jelas, tidak tegas dan tidak berdaulat ini dapat juga dilihat dari dibiarkannya terjadi penyempitan wilayah penghasil pangan pokok untuk kepentingan lain.”Di Jambi, perluasan perkebunan sawit tidak terkendali melahap lahan-lahan pertanian, seperti yang terjadi di Tanjung Jabung, Jambi.” papar Abetnego. P.Tarigan, koordinator pokja Sawit ADS. Hal ini diyakini terjadi juga di banyak kawasan lain, karena petani pangan tidak dilindungi, tidak mendapatkan insentif untuk terus berproduksi dan dibiarkan saja saat mengubah lahannya menjadi kebun sawit.”Kawasan-kawasan penghasil pangan kini terancam menjadi wilayah yang paling banyak penduduk rawan pangannya.” sampai Abetnego.
M.Riza Damanik, koordinator pokja perikanan juga melihat kekacauan dan ketiadaan kebijakan pangan yang komprehensif di bidang perikanan.”Tidak ada insentif bagi daerah-daerah penghasil ikan, sementara banyak produk ikan yang bagus dijual, atau dicuri dari wilayah laut kita, dan justru pasar lokal dibanjiri ikan impor kualitas rendah yang menghantam harga ikan domestik.”
Saat kebijakan pangan yang diambil hanya mengejar pangan murah, maka ketidak adilan terhadap produsen pangan, ketergantungan dan ketidakberdayakan terus dilanggengkan di sini. “Bangsa lain mengurus pangannya dengan serius, tetapi kita sudah puas jika angka menunjukkan persediaan beras aman, tidak peduli dengan kualitas dan kenyataan banyak yang menderita rawan pangan di negeri ini”. Sampai Tejo lagi. Saatnya pemerintah memiliki kebijakan pangan yang berkeadilan. Krisis pangan sudah terjadi, dan jika tidak dikelola dengan benar dapat menenggelamkan bangsa.