SELALU saja ada campur tangan Tuhan. Dan ini latar belakangnya.
Bulan Desember 1967. Keluarga Mayangsari.
Pada suatu hari, kupandangi foto lawas keluarga mangsa bulan Desember 1967: Christmas Day. Sebuah keluarga kecil nampak bahagia. Ada ayah, ibu, kakak lelaki, aku dan adikku, Mayangsari.
Keluarga sejahtera yang cukup terpenuhi segala keperluannya: sandang, pangan, papan serta pendidikan. Tanpa terasa butiran airmata hangat mengalir, ketika pandanganku terhenti pada sosok adikku. Mayangsari. Kami semua mengasihinya. Kisah perjalanan hidupnya yang berujung di Panti Rehabilitasi, membuat hati ini tersayat sangat perih, sakit dan sedih.
Kisah sedih keluarga: orangtua bercerai
Tak kusangka perstiwa yang sering terjadi pada orang lain ternyata juga menimpa pada keluarga kami: perceraian orangtua. Mendengarnya saja, terasa ditonjok ulu hati ini, apalagi mengalaminya. Demikian kata kakak lakiku dengan nada sedih.
Peristiwa itu terjadi pada saat kakak baru saja menyelesaikan Kuliah Kerja Nyata di PT Caltex Pekanbaru selama 1,5 tahun. Inilah awal hancurnya citra seorang ayah.
Ayah yang dahulu kami banggakan dengan tanggungjawabnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga kini hancur berantakan. Juga menumbuhkan rasa kesal dan kecewa di dalam hati ini. Perceraian itu menjadikan Mayang harus tinggal bersama ibu di rumah baru; terpisah dari ayah.
Tinggal terpisah dari ayah yang punya keluarga baru
Rumah utama dijual. Ayah tinggal bersama keluarga barunya dengan dua anak yang masih kecil di rumah lain. Sejak saat itu ibu menjadi orang yang sangat keras dan super sibuk mencari nafkah bagi kelangsungan hidup; juga harus membiayai pendidikan Mayangsari yang saat itu sedang banyak memerlukannya.
Beruntung, berkat kegigihannya, adikku dapat menyelesaikan pendidikan S1 Fisip dengan baik. Ada sedikit rasa bangga melihat keberhasilan pendidikan Mayang. Nampaknya, dia juga dapat menikmati keberhasilan itu.
Karena kesibukan kami masing-masing, dengan harapan semua berjalan dengan semestinya, kami pun tak saling memperhatikan satu sama lain. Sampai pada suatu saat kami mendapatkan adanya penyimpangan perilaku yang terjadi pada diri Mayang,
Malam itu ,ibu menghubungi aku untuk datang kerumah dan melihat sesuatu perubahan besar yang sedang terjadi pada Mayang. Aku melihat adikku mulai berbicara pada dirinya sendiri, menghadap tembok di belakang rumah seakan menjawab tudingan para tetangga.
Sedih sekali aku menyaksikannya. Luka batin yang ditanggung oleh Mayang nampaknya begitu parah. Nampaknya jiwanya sangat tertekan sehingga ia tidak dapat mengendalikan emosinya. Ia sering menyendiri dan berbicara dengan dirinya sendiri.
Sejak saat itu, mulailah dia hidup dalam perawatan dokter jiwa. Akhirnya, ia malah harus hidup dan dirawat di Panti Rehabilitasi.
Mohon kerahiman Tuhan
Dalam kekhusukan doa yang penuh iman dan berharap pada Tuhan agar dia dapat bangkit dan memiliki daya lenting yang kuat untuk keluar dari belenggu yang dihadapinya. Dalam hati kubisikkan semangat juang.
“Ingatlah adikku. Walaupun kehadiran keluarga hilang dari pandangan mata, namun energi yang menghubungkan kita dengan keluarga yang kita cintai tetap ada dan akan selalu terasa ketika hati kita terbuka untuk menerimanya”.
Aku selalu teringat akan masa lalu; saat saat kami masih berada dalam keluarga yang utuh. Ada banyak hal-hal yang lucu, bahagia, sedih dan juga marah, suka-duka, senang gembira, semuanya bercampur aduk laksana sebuah film yang diputar dengan gerak lambat tiba-tiba terputus dan hilang.
Setelah ibu meninggal tahun 2022, aku dihadapkan pada situasi yang sangat dilematis. Bagaimanakah adikku akan hidup? Di manakah dia akan tinggal? Rumah tinggal sudah tidak ada.
Bagaimana ke depan, aku tak tahu
Sebagai kakak kandung, aku tinggal sangat jauh. Di Toronto, Kanada. Tidak ada keluarga maupun saudara yang mau menampung Mayang. Saudara sepupu tidak ada yang dapat menjenguk di Panti Rehabilitasi ini, kecuali ada surat kuasa dariku untuk dijenguk.
Dalam hatiku ada rasa takut, jika sewaktu-waktu Panti Rehab itu akan menagih hutang bulanan untuk biaya perawatan dan hidup Mayangsari yang sudah bertumpuk ratusan juta sejak ibu meninggal. Sedih hati ini.
Seiring dengan berjalannya waktu, dua tahun sejak kematian ibu, hati yang marah dan sedih ini tidak dapat dialihkan dari dalam pikiranku. Aku merasakan tekanan yang sulit dalam hubungan kami berdua.
Aku tidak dapat mengetahui keadaan Mayang yang sebenarnya. Komunikasi jarak jauh pun tidak dapat dilakukan, karena adikku tidak diperkenankan memiliki HP. Pernah aku berhasil tersambung dengan Panti Rehab tersebut.
Perawatan Mayang banyak membutuhkan biaya yang tidak kecil, sedangkan aku memasuki masa pensiun dan kondisi fisik yang menurun. Aku sudah tidak mampu bekerja secara paruh waktu (part time ) maupun full time. Aku pun frustrasi dengan kondisi semacam ini.
Setiap kali mendapat pesan SMS dari sepupu di Bogor itu membuat tekanan darah naik, jantung berdebar lebih cepat. “Kak, si Mayang jatuh” atau “Si Mayang berantem”.
Atau kabar buruk lainnya. Terakhir kali aku tidak membalas SMS dari sepupuku itu, takut… Jangan-jangan adalagi kabar buruk yang lebih mengguncang hati.
Suatu saat, sepupuku minta kesempatan untuk video call. Aku merasa bahwa diriku tengah berada di ujung jurang.
“Kak, si Mayang harus keluar dari Panti Rehab akhir bulan ini juga,” kabar dari sepupuku.
“Lantas bagaimanakah dengan hutang yang ada?” balasku.
“Kak, hutang yang ada akan diputihkan. Yang penting si Mayang harus dijemput pulang alias harus keluar akhir bulan ini juga.”
“Celakalah aku. Hutang memang bebas. Lantas adikku akan tinggal di manakah?”
Akupun bingung. Senewen.
Menggerus emosi dan makan pikiran
Sekali lagi keadaan yang sulit untuk diputuskan sendiri. Batinku. ini kondisi seperti keluar dari mulut singa lalu berhadapan dengan mulut serigala. Mengapa Engkau “izinkan” hal ini terjadi padaku,Tuhan?
Mayangsari terlihat marah. Ia tidak mau keluar dari kamarnya, tidak mau makan. Dia minta untuk tidak dikeluarkan dari Panti Rehab, karena merasa tidak punya rumah. Ia merasa sudah menjadi satu keluarga dengan Panti Rehab ini.
Terdengar teriakkannya yang sangat memelas. Sedih sekali aku melihat situasi ini. Miris sekali melihat fisiknya yang semakin kurus. Kulitnya yang hitam legam, rambutnya yang panjang keriting tidak pernah digunting.
Ia terlihat seperti gelandangan, baunya kurang sedap, karena hanya diperkenankan mandi dua kali sepekan. Nampaknya Panti Rehab ini kurang profesional.
My family is not always my home.
Home is a place for love, care, and happiness.
Family is a home for Mayangsari
She doesn’t have a house where she can live in.
She needs a home and family.
Siapakah yang dapat memberi home and family ini?
Tuhanlah jawabannya.
Ada divine intervention.
Ternyata Tuhan tidak tidur. Gusti Allah ora sare.
Campur tangan ilahi
Campur tangan Tuhan terlihat dalam memecahkan masalah ini. Sesulit apa pun masalah, selalu ada jalan keluar bagi setiap usaha yang tidak pernah menyerah. Selalu ada secercah cahaya di tengah kegelapan. Selalu ada jawaban dari setiap doa yang dilantunkan tanpa jeda.
Ada pelangi, setelah hujan deras berhenti. O, betapa indahnya kasih-Mu, ya Tuhan.
Tuhan menjamah dan menggerakkan hati para keluarga, sepupu, tante, baik yang ada di Indonesia maupun yang tinggal di luar negeri untuk berdonasi serta mencari tempat Panti Rehab yang baru dan professional. Dalam waktu satu pekan sebelum akhir bulan, sepupu yang tinggal di Bogor melakukan survei ke tiga tempat Panti Rehab. Akhirnya terpilihlah Panti Rehab Kasih Bapak di daerah Cianjur.
Selama tiga bulan pertama diharapkan Mayang akan mengalami banyak perubahan. Tidak seperti yang dialami di Panti Rehab sebelumnya. Panti Rehab yang baru ini memberikan program pendampingan dan pembelajaran seperti seminar penguasaan diri, kedisiplinan waktu, olahraga, setiap pagi ada morning briefing. Juga pergi ke gereja pada hari Minggu. Dan masih ada kegiatan lainnya untuk memanusiakan manusia.
Kepercayaan diri Mayang pun sedikit demi sedikit terbangun. Ia tampak senang dapat diterima di Panti Rehab yang baru ini. Semoga hari-hari selanjutnya dapat memberikan kebahagiaan bagi Mayang, sehingga ia mampu mengubah hidupnya menjadi lebih bermakna, meskipun dalam situasi keterbatasan.
Meskipun aku orang yang beriman dan percaya pada kuasa Tuhan, namun terkadang aku masih seperti “Thomas” yang ragu-ragu, sebelum melihat bekas luka di kedua tangan Anak Manusia itu dan mencucukkan tangan pada lambung-Nya.
Sayup-sayup kudengar suara dalam hatiku yang berkata bahwa Kemurahan Tuhan yang telah diberikan pada ibuku, diberikan-Nya juga kepada diriku.
Dimuliakanlah Tuhan.