Puncta 27.09.22
PW. St. Vinsensius a Paulo, Imam
Lukas 9: 51-56
SUATU hari Bunda Teresa memandikan anak-anak miskin di Sungai Gangga, ia melihat ada keluarga yang sedang bertengkar. Mereka saling berteriak dan mengumpat dengan kata-kata kasar satu sama lain.
Kepada murid-muridnya, Bunda Teresa bertanya, “Mengapa orang harus berteriak saat sedang marah?”
Murid-muridnya menjawab, bahwa orang marah berteriak karena kehilangan kesabaran. Yang lain bilang karena jengkel.
Murid-murid itu malah saling adu jawaban yang berbeda-beda dan tidak ada kesepakatan.
Bunda Teresa menasehati mereka dengan kata-kata ini. “Anak-anak, bila ada dua orang sedang marahan, hati mereka saling menjauh. Untuk dapat menempuh jarak yang jauh itu, mereka harus berteriak agar dapat terdengar ucapannya ke dalam hati lawannya.
Dalam kondisi yang semakin marah, jarak kedua hati pun semakin jauh akibatnya ia merasa harus semakin keras teriakannya.”
Lalu ia melanjutkan, “Kebalikannya, jika ada orang-orang yang sedang jatuh cinta, mereka tidak berteriak pada satu sama lain. Mereka berbicara lembut karena hati mereka berdekatan. Jarak antara kedua hati tidak ada atau sangat dekat.”
Bunda mengulangi lagi, “Jika cinta antara mereka begitu dalam, maka mereka pun merasa tidak perlu lagi bicara, tak perlu berbisik.
Hanya dengan memandang, mereka sudah bisa mengerti perasaan masing-masing. Itulah yang dinamakan saling mengasihi.”
Karena itu, ajak Bunda kepada anak-anak, “Hindarilah kemarahan. Agar jarak antar dua hati tidak berjauhan. Jangan juga ucapkan perkataan yang bisa menimbulkan kemarahan, yang menimbulkan hati seseorang menjauh darimu. Karena jika dibiarkan hal itu terjadi, kelak ada jarak yang tak bisa lagi kamu tempuh.”
Kemarahan ada dimana-mana; di rumah, di jalan, di kantor, di perusahaan, dan lebih lagi di medsos. Media sosial ibarat tempat sampah tempat orang melontarkan kemarahan.
Di medsos hal kecil saja bisa memantik amarah besar dan bergelombang. Selain bergelombang, amarahnya juga berjilid-jilid seperti buku.
Di jalanan, karena motor bersenggolan orang langsung marah dan berantem. Habis itu mengajak gerombolan atau genk-nya menyerang dengan membabi buta.
Kecenderungan marah dan menghukum orang lain juga ada diantara para murid. Mereka berkata, “Tuhan, apakah Engkau mau supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?”
Mereka marah karena orang-orang Samaria tidak mau menerima mereka yang akan menuju ke Yerusalem.
Kemarahan itu ada sebabnya, ada akarnya. Kita perlu menemukan apa akar dari kemarahan. Mungkin merasa tidak dihargai, ditolak, harapan yang tidak terpenuhi.
Salah satu cara mengatasi kemarahan adalah menjauhi atau menghindar. Tidak menghadapi kemarahan dengan kemarahan.
Yesus berpaling dan menegor mereka. Lalu mereka pergi ke desa lain. Itulah cara Yesus menghadapi kemarahan para murid-Nya. Ia menasehati dengan bijak dan mengajak mereka pergi ke desa yang lain.
Menunggu kapal di pelabuhan,
Mengambil paket dari Kalimantan.
Daripada menyimpan kemarahan,
Lebih baik berinvestasi kebaikan.
Cawas, kepala boleh panas, tetapi hati harus dingin…