ARIS Sugiharto adalah kakak kelas saya di SD. Menjadi akrab karena kami sama-sama aktif di Gerakan Pramuka, Gugus Depan 21, Semarang.
Aris kepala barung kuning, saya wakilnya.
Bukan suatu kebetulan kalau kakak-kakak Pembina memilih kami sebagai pimpinan barung. Kami kompak, klik, dan bersama-sama membangun teamwork.
Mungkin bahasa kekiniannya adalah chemistry-nya pas.
Saat kelas 2 SMA, kami sekelas. Anda tahu mengapa demikian bukan?
Itu pun tak lama. Triwulan kedua, Aris menghilang. Temen-temen sekelas tak tahu di mana dia.
Karena Aris adalah pelukis berbakat yang sering menyabet berbagai gelar kejuaraan menggambar, kami menduga Aris beralih profesi menjadi pelukis profesional.
Ternyata tidak.
Persahabatan kami tersambung kembali di Bandung, di kampus yang sama, hanya berbeda jurusan. Aris mengambil Seni Rupa.
Setelah lulus, meski tetap berteman, kesibukan memisahkan kami. Hanya percakapan online yang terjadi. Sekali-sekali berjumpa dalam suatu acara, itu pun tidak intens.
Saya mendengar kalau Aris sudah menjadi pengusaha sukses. Masih sekitar hobi, pendidikan dan bakatnya. Dia membangun bisnis cetak-mencetak.
Saya tak tahu persis apa yang dilakukannya, tapi konon, sebagian besar billboard di jalan-jalan kota besar di Indonesia adalah produk perusahaannya.
Kami semakin jarang bertemu. Sah saja, kalau pengusaha papan-atas tak punya waktu untuk sahabat kecilnya.
Sampai awal bulan lalu, Aris mengirim pesan melalui WA.
“Kapan ada waktu ketemu? Mau ngobrol masa lalu.”
Singkat cerita, lima hari lalu kami bertemu bertiga. Aris, saya dan Onky, sahabat masa kecil yang lain. Kami makan enak di restoran Korea, Bornga.
Bisa dibayangkan bagaimana serunya meja makan di siang itu. Apalagi tersaji berbagai masakan daging bakar.
Topik melebar ke sana kemari tak jelas ujung pangkalnya. Tentu menambah keasyikan kami berceloteh.
Sejarah lama diaduk-aduk, romantika diungkit-ungkit. Kadang lebai, banyak juga fiksi. Sampai kemudian tiba di suatu topik yang paling menarik, juga serius.
Apalagi kalau bukan mengenai kami sebagai “Warsen”, singkatan warga senior.
Onky, mantan pilot senior Garuda, membukanya dengan kisah nostalgik saat penerbangan-penerbangan terakhir. Kemampuan teknis yang terkendala, stamina yang tak lagi prima dan refleks yang tak se-spontan dulu lagi.
Biasa, itu keluhan yang jamak didengar. Hanya waktunya saja yang berbeda dari satu orang ke yang lain.
Aris menambah kerisauan cerita Onky.
Bisnisnya memudar. Sudah terlihat mulai sekian belas tahun lampau.
Kalau dulu hampir semua perusahaan rokok di Indonesia mempercayakan pekerjaan printing kepadanya, saat ini hanya tinggal satu.
Itu pun karena modal hubungan baik yang terus dijaganya erat-erat.
“Satu-satunya tumpuan ‘nyawa’ saya”.
Aris mengaku banyak ketinggalan. Teknologi yang semakin canggih, membubung tak terkejar, SDM yang out of date, sampai wawasan yang semakin terbatas.
Komplet sudah haru-biru kisah Aris.
Alasannya sederhana. Manusia bukan makhluk hidup tak terbatas.
Sekali lagi, manusia ada batasnya. Batas yang tak bisa diperpanjang atau malah dianggap selama-lamanya.
Batas itu adalah waktu.
Ketika waktu bergulir, usia pun bertambah. Dunia begitu cepat berputar dan manusia-manusia baru lahir dan berkembang tanpa pernah bisa diduga kecepatannya.
Teknologi melesat tak terkira. Kompetensi meningkat eksponensial.
Sementara Onky, Aris dan saya, semakin tertinggal di belakang sana.
Bagaimana masih ingin tetap bersaing?
Siapa pun anda, pejabat, pengusaha, profesional, artis, guru besar atau siapa saja, sebaiknya sadar kapan titik itu tiba dan di mana harus mengatakan “Enough is enough”.
Mungkin Onky termasuk tepat waktu, tetapi kisah Aris mengesankan bahwa titik itu sudah berlalu lama.
Apa pun, terlambat lebih baik daripada tidak. Kalau saja Aris melakukan sekarang, itu suatu keberanian luar biasa untuk “mengobati kekeliruan” selama ini.
Bukan keputusan yang mudah, karena Aris harus “membayar” cut loss cukup besar.
Bila tak dilakukan, variabel ini niscaya terus membesar.
Colonel Sanders, Mahathir Mohamad atau Suharto, tak pas menjadi rujukan. Mereka contoh outliers yang jumlahnya segelintir saja di dunia ini.
Sebelum berpisah, melalui kaca jendela mobil mewahnya yang mengkilat, saya ulurkan tangan sambil mengucap pelan pesan saya.
“Aris, terlambat memang menyakitkan. Tapi dengan mengulur keterlambatan itu, sakit itu akan semakin sakit”.
“Tardiness often robs us opportunity, and dispatch of our forces.” (Machiavelli, 1469-1527, politikus dan filsuf Italia)
@pmsusbandono
26 Februari 2022