MISTERI Inkarnasi merupakan elemen fundamental dari iman Kristiani. Tulisan ini merupakan sebuah upaya merenungkan misteri itu serta memaknainya dalam konteks hidup beriman dan berbudaya orang Dayak.
Maka, kata malaikat itu kepada mereka, “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini, telah lahir bagimu Juru Selamat, yaitu Kristus Tuhan, di kota Daud. Dan, inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.” (Luk 2:14).
Sukacita yang disampaikan oleh malaikat
Begitulah warta sukacita yang disampaikan oleh malaikat kepada para gembala yang sedang menggembalakan ternak mereka. Penginjil Lukas mencatat bahwa warta kelahiran Kristus Sang Juru Selamat merupakan kesukaan besar bagi seluruh bangsa. Hal ini selaras dengan maksud penginjil Lukas sendiri yang mengembalikan silsilah Yesus Kristus kepada Adam, bapa segala bangsa (Luk 3:23-38).
Dalam bukunya Jesus of Nazareth the Infancy Narratives, Paus Benediktus XVI berpendapat bahwa hal ini mau menunjukkan bahwa kemanusiaan mulai lagi dari awal dalam diri Yesus. Silsilah menurut Injil Lukas menyatakan sebuah janji yang berkaitan dengan seluruh umat manusia (2012:10).
Juga milik orang Dayak
Karena menyangkut seluruh umat manusia, maka kesukaan besar yang diwartakan oleh malaikat itu juga menjadi milik kita orang Dayak. Dan dalam hal ini, kita patut berterimakasih kepada para misionaris. Mereka telah menjadi “malaikat” bagi kita orang Dayak. Karena berkat jasa merekalah kita bisa mengenal Yesus Kristus yang lahir di Bethlehem dua ribu tahun yang lalu.
Berkat semangat dan ketekunan mereka mewartakan Injil -dengan segala keterbatasan sarana pastoral pada masa itu dan ditambah lagi medan pastoral yang sulit dan menantang- kita bisa sampai pada pengenalan dan pengalaman akan Allah yang kasih-Nya begitu besar. Yang telah sudi mengaruniakan anak-Nya yang tunggal supaya kita yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (bdk. Yoh 3:16).
Pastor Looymans SJ, misionaris Jesuit di Sejiram, Sintang, tahun 1891
Keterbatasan sarana pastoral dan sulitnya medan pastoral bukanlah satu-satunya yang menjadi rintangan bagi para misionaris dalam bermisi. Masih ada rintangan lain lagi yang tidak selalu mudah untuk diatasi.
Rintangan tersebut ialah tradisi dan kepercayaan lokal orang Dayak.
Ketika membaca kembali buku Kenangan 50 Tahun Keuskupan Sintang (1961-2011), saya mendapati nama Pastor Looymans SJ. Pada tahun 1891, ia berhail tiba di Sejiram; mengalami kesulitan dalam mengajak orang-orang tua memeluk iman Kristiani.
Kesulitan -bahkan ketakutan- juga dialami oleh rekannya, Pastor H. Mulder SJ yang dua tahun kemudian datang membantu. Menurut cerita, saat beliau tidur selalu ada senapan di sampingnya karena takut menjadi korban ngayau. Hal ini barangkali yang menyebabkan beliau hanya bertahan dua tahun membantu Pastor Looymans SJ.
Tantangan dan rintangan bukan halangan
Tantangan dan rintangan memang tidak sedikit, tapi itu semua tidak menyurutkan api semangat para misionaris. Dengan memasrahkan diri pada bimbingan Roh Kudus dan tiada kenal lelah mencari dan mengembangkan model berpastoral yang kontekstual, perlahan-lahan mereka meyakinkan orang Dayak untuk dengan mantap memeluk iman Katolik.
Mengutip kata-kata dalam buku Kenangan 50 Tahun Keuskupan Sintang: “Biji sesawi kecil yang ditaburkan itu kini telah bertumbuh dan besar serta menghasilkan banyak buah.”
Kita, secara khusus para pelayan pastoral, patut belajar dari para misionaris tentang bagaimana mengenalkan Kristus kepada orang Dayak dengan melakukan dialog yang jujur dan sabar dengan kebudayaan lokal. Mereka sungguh mengamalkan apa yang kemudian diajarkan oleh Konsili Vatikan II (1962-1965): “Oleh karena itu segala kebaikan yang tertaburkan dalam hati serta budi orang-orang, atau dalam adat kebiasaan dan kebudayaan yang khas para bangsa, bukan saja tidak hilang, melainkan disembuhkan, diangkat dan disempurnakan demi kemuliaan Allah” (bdk. LG 17).
Berangkat dari rasa kagum atas cara bermisi para misionaris, tulisan ini ingin mencoba merenungkan kembali misteri Inkarnasi, Allah menjadi manusia, dengan mengangkat kebaikan yang tertaburkan dalam adat kebiasaan dan kebudayaan orang Dayak. Secara khusus adat kebiasaan dan kebudayaan suku Dayak Desa dalam memberi nama kepada anak.
Tradisi ini, yang tidak hanya unik, tapi juga sarat dengan makna, hemat saya dapat menjadi sarana untuk membantu umat memaknai mengapa Allah sudi menjadi manusia dan tinggal di antara umat-Nya. (Berlanjut)
Baca juga: Suku Dayak Desa: Tradisi Beri Nama Kristiani dan Nama Belah Pinang (2)