SAAT dibimbing dalam suatu khalwat atau retret, pembimbing rohani memberi benang segulung. Bukan benang biasa yang untuk menjahit baju atau celana; bukan pula benang kasur yang memiliki ukuran lebih besar. Tetapi sekitar 25 meter benang nilon.
“10 menit waktumu untuk membuat benang ini kusut. Buat banyak simpul mati. Setelah selesai, berikan saya. Saya tunggu di ruang doa,” begitu perintah beliau.
Sepuluh menit berlalu sangat cepat. Benang yang teratur rapi, segera berubah menjadi kusut masai. Tali-tali mati membuat tambah kusut. Pokoknya semua menjadi kusut. Dalam bahasa Jawa diungkapkan bolah bundhet.
Saat bertemu pembimbing rohani, suaranya yang lembut menjadi nyaring di ruang yang hening. “3 jam waktumu untuk ngudhari bolah bundhet-mu.”
3 jam berlangsung lamban. Keringat bercucuran. Jalur-jalur ditemukan, tetapi tersumbat di gulungan yang lebih dalam. Tali mati tak mungkin terurai. Benang nilon sangat licin, sukar diurai.
“Bapa, saya putus asa. Benang tetap kusut. Saya tak mampu mengurai,” kataku saat menghadap beliau. Beliau hanya menepuk punggung dan mempersilakan ketika pamit keluar kamarnya.
Dalam gontai cuma ingat sepenggal kalimat Si fuerint peccata vestra ut coccinum, quasi nix dealbabuntur, Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju – Sang Pengurai benang kusutku.
21.05.2020. bm-1982. ac eko wahyono