Nilai Luhur Permainan Tradisional Anak

0
4,669 views

 “When I used to be a child, I was playing outside not online”

ITULAH tulisan yang terpampang pada bagian depan kaos di sebuah rak etalase. Tanpa sengaja saya menemukannya ketika “cuci mata” di sela-sela etalase toko untuk mengisi waktu, saat mengantar seseorang berburu ke sebuah butik.

Terdiam sejenak adalah reaksi pertama saya, sambil berusaha mencerna kembali rangkaian kata dalam bahasa asing itu. Maklum, saya tidak pernah kuliah di jurusan bahasa Inggris maupun mengikuti kursus bahasa Inggris; jadi perlu beberapa menit untuk menelan maknanya.

Setelah beberapa saat, pikiranpun melayang ke masa kanak-kanak yang sungguh membahagiakan bagi saya pribadi. Terbayang berbagai jenis permainan seperti go back so door, engklek, petak umpet, jamuran dan sebagainya. Semuanya identik dengan tanah yang lapang dan luas, dan tentunya di luar rumah.

Jarang sekali atau hampir tidak pernah (kecuali saat hujan dan kurang kerjaan) dimainkan di dalam rumah. Berisik, ribut dan kotor. Petualangan lain seperti yang difilmkan oleh “Bolang” seperti memancing, memainkan layang-layang, berburu katak juga menuntut aktivitas outdoor. Sekali lagi permainan itu memiliki efek samping berisik, ribut dan kotor.

Tapi tahukah anda, bahwa pengalaman-pengalaman seperti itu membentuk sikap dan mental anak-anak yang menjadi pelaku (baca: anak desa/kampung). Jika dilihat secara kasat mata memang hanyalah permainan sederhana seperti berlari, melempar, menarik, melompat dan gerakan alamiah badan yang lain. Tetapi dibalik itu, otak senantiasa bekerja untuk mengontrol saraf motorik, kemana harus berlari, kapan harus melompat dan apa yang harus dilempar. Jadi bukan hal yang mengherankan lagi jika anak-anak seperti yang ada dalam “Laskar Pelangi” tumbuh menjadi anak yang lebih lincah, karena saraf motorik selalu terasah.

Agile

Kebanyakan permainan tradisional  menuntut adanya komunitas minimal agar dapat dimainkan selayaknya. Untuk melakukan permainan lompat tali, biasanya dibutuhkan paling sedikit 3 orang. Dua orang sebagai pemegang tali, dan satu lagi yang memeragakan lompatan. Bayangkan saja seorang anak ingin melakukan lompat tali, kemudian dia mengikatkan kedua ujung tali ke masing-masing tiang atau pohon. 

Bukannya dijuluki anak yang kreatif karena masih bisa bermain lompat tali meskipun sendirian, tetapi justru akan dianugerahi anak yang menderita kelainan. Maka anak-anak “Laskar Pelangi” lebih senang bergulat satu dengan yang lain, karena merasa saling membutuhkan sebagai sebuah komunitas untuk mengerjakan sesuatu. 

Community

Lain lagi nilai yang terkandung dalam permainan gobak sodor (go back so door). Pemain dituntut untuk cepat, sigap dan tangkas. Setiap orang harus melewati palang pintu yang menghadang di depannya. Tim harus berdiskusi dalam menentukan rute yang harus dilewati, siapa yang bertugas untuk mengecoh penjaga garis dan siapa yang harus berlari cepat menuju arena lainnya. Penjaga garis juga tidak kalah tuntutannya. Siapa yang harus menjaga garis depan, belakang. Siapa yang bertugas menyisir jalur tengah. Setiap orang memerankan bagian-bagian sebuah tim dan dituntut untuk bekerja sama guna mencapai tujuan yang diidamkan bersama.

Strategy & teamwork.

Itulah sekelumit dari sekian banyak permainan tradisional yang biasa dimainkan  di luar ruangan, namun saat ini sangat jarang dijumpai atau kita lihat. Masing-masing memiliki nilai dan pelajaran yang dapat dipetik, baik kemampuan individual seperti lincah, cerdik dalam berstrategi; juga kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain dan mengolah individu dalam tim. Tanpa disadari, pelaku permainan tradisional tumbuh menjadi pribadi yang disokong oleh nilai-nilai luhur yang mendasar itu. 

Tinggal bagaimana mengembangkannya sehingga mencapai titik optimal. Itulah yang diperoleh dari lingkungan yang dikatakan “kuno” atau “gak gaul”.

Mari berkaca pada permainan anak-anak jaman sekarang yang cenderung “modern”.

Usia 5 tahun sudah disuguhi gembot (game wath); kelas 1 SD dimanjakan dengan Play Statio;  kelas 3 SD lebih senang berkicau di jejaring sosial daripada berlarian dengan teman-temannya; kelas 6 SD sudah sering nginep di warnet untuk game online dan seterusnya….

Kapankah mereka belajar “ngobrol face to face” dengan sesamanya? Adakah waktu untuk melatih diri menjadi lebih lincah? Mungkin hanya jari jemari mereka yang tumbuh menjadi lincah… Lainnya?

Siapakah yang salah? Anak-anak? Atau orang tua yang menyediakan fasilitas?

Tautan: http://albhum2005.com/?p=606

Photo credit: Ilustrasi lomba balapan karung (Mathias Hariyadi)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here