TAK pernah terbayangkan sebelumnya bagi Jack Dwyer (Owen Wilson), seorang bapak dua anak dan penyayang keluarga, sekali waktu sampai pernah membunuh orang. Itu terjadi di sebuah kawasan perkotaan –konon dikisahkan di Laos– dimana terjadi kudeta berdarah dan para pemberontak menyasar orang asing untuk dibantai tanpa ampun.
Itulah yang membuat Jack ‘kesampaian’ membunuh orang, ketika dirinya kepepet oleh sebuah situasi gawat. Apakah harus membiarkan para pemberontak itu bisa membantai tanpa ampun keluarganya atau dia harus membungkam mulut penduduk lokal karena berteriak “orang asing”. Maka, tanpa ampun segera dibunuhlah orang tersebut dengan pukulan benda keras.
Jack tak menyadari, bahwa kehadirannya sebagai tenaga ahli untuk bidang penyediaan air bersih menjadi bagian sejarah kelam di Laos. Penduduk lokal marah, karena sumber-sumber air bersih dikuasai oleh pihak asing. Maka, begitu PM berhasil dikudeta, rakyat pun marah memburu semua orang asing yang mereka cap sebagai imperialis.
Jack bersama istrinya Lucy (Sterling Jerins) dan kedua anak mereka Beeze dan Lucy terjebak dalam pusaran konflik politik sangat brutal, tak lama setelah mendarat di sebuah kota di Laos yang tengah direnda bencana kudeta politik berdarah. Alih-alih mendapat sambutan hangat dari Cargill –perusahaan AS yang mengakuisi sumber daya alam– para pemberontak justry memburunya dengan ganas.
Tak heran, sepanjang film ini yang tersaji adalah pemandangan brutal bagaimana kemanusiaan manusia sudah luntur. Orang membunuh tanpa ampun, mencincang tubuh manusia layaknya batang pisang. Darah segar muncrat dan bercecerak dimana-mana. No Escape adalah film berdarah-darah, sungguh tak cocok ditonton oleh mereka yang masih belia. Suasananya mirip-mirip Jakarta pada waktu krisis politik pertengahan Mei 1998 hingga memaksa Presiden Suharto harus lengser keprabon daripada terjadi ‘perang saudara’.
Rupanya, Lucy pun yang juga tak pernah membayangkan dirinya sekali waktu ‘kesampaian’ membunuh orang: memukuli tanpa ampun pemberontak yang hendak memperkosanya dan menghabisi nyawa suaminya.
Dalam pusaran politik kudeta berdarah ini, muncul sosok kontroversial yakni Hammond (Pierce Brosnan), agen CIA di lapangan, yang memuluskan perusahaan AS bisa mengakuisisi sumber-sumber daya alam –termasuk air dimana Cargill ikut menang tender dalam urusan ini. Hammond menjadi ‘malaikat’ penolong bagi keluarga Jack Dwyer karena memberi petunjuk bagaimana harus melarikan diri ke perbatasan Vietnam untuk menghindari kejaran para pemberontak.
Menarik menyimak omongan Hammond sebelum dirinya tewas digilas truk. Adalah dia dan kawanan agen-agen rahasia Barat yang berhasil ‘menyelundupkan’ korporasi bisnis Barat bisa menguasai lahan sumber daya alam di Laos. Maka, kalau dia bersedia menolong Dwyer dan keluarganya hingga dirinya sendiri harus mati di jalanan, itulah ‘penebusan’ yang ingin dia lakukan.
Jadi, semua harus nekad dan bertindak tanpa ampun agar selamat.