PEPATAH Latin, non scholae sed vitae discimus, ini kalau diterjemahkan secara bebas berarti: belajar di sekolah itu bukan untuk mengejar ijazah, tetapi agar orang dapat hidup dengan baik dan benar.
Pepatah di atas diucapkan Seneca ( 4 seb. M – 65 ) dalam suratnya kepada Lucius (Epistolae 106, 11). Ia lahir di Spanyol dan menjelang dewasa, ia mutasi ke Roma. Ia disegani karena memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang dunia politik, kritis dalam menilai situasi yang terjadi dan mampu merumuskan gagasan-gagasannya secara sistimatis. (Bdk. Pius Pandor dalam Ex Latina Claritas, Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan).
Apa yang diungkapkan Seneca pada abad I ini ternyata masih relevan bila diterapkan pada abad XXI. Zaman sekarang ini orang berlomba-lomba mendapatkan gelar sebagai syarat sebagai pegawai. Maka tidak mengherankan jika ada Sarjana Pertanian bekerja pada sebuah kantor Bank. Orang tidak lagi melihat kompetensi seseorang, tetapi melihat ijazahnya. Padahal dalam belajar sebenarnya ada semacam link and match (keterpautan dan keterpaduan) antara dunia sekolah dengan dunia kehidupan .
Dari teori yang diajarkan kemudian dipraktekkan dan akan menghasilkan sesuatu yang produktif.
Mengenai ilmu ini, filosofi Jawa pernah menulis, “Ngèlmu iku kêlakóné kanthi laku, sênajan akèh ngèlmuné lamún ora ditangkaraké lan ora digunakaké, ngèlmu iku tanpå gunå” artinya: Ilmu itu diperoleh dengan usaha yang giat. Walaupun banyak ilmu, tetapi jika tidak disebarluaskan dan tidak dimanfaatkan, ilmu tersebut tidak akan berguna apa-apa.
Karena ijazah sebagai pencapaian, maka setelah diwisuda kelar pula belajarnya. Prof. Dr. Henry Alex Tilaar (lahir 16 Juni 1932), yang kini berusia 80 tahun masih giat belajar. Sebagai profesor emeritus Universitas Negeri Jakarta (UNJ), ia berkata, “Saya tidak ingin menjadi profesor ‘pohon pisang’ yang sekali berbuah dan dimakan orang. Tetapi saya ingin menjadi profesor ‘pohon ara”’ yang bertumbuh dan berguna sampai berabad-abad.” (Kompas, Kamis 16 Juni 2012). Bagi profesor ini, gelar bukan sebagai puncak karier, melainkan sebagai awal kehidupannya sebagai pencinta pengetahuan.
Paul Engrand pada tahun 1970 sebenarnya telah mengemukakan konsep pendidikan sepanjang hayat, lifelong education. Namun, sebenarnya sekitar 1.500 tahun yang lalu, junjungan kita, Nabi Muhammad SAW (570 – 632) pernah menyampaikan piwulang bahwa belajar memang seharusnya sejak dalam buaian sampai ke liang lahat, from cradle to the grave. Kata bijak dari Cina juga menyatakan, “Jika engkau ingin berinvestasi sepanjang hayat tanamlah manusia (didiklah manusia)”. Sang Nabi dalam hadits-nya juga bersabda, “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China.”
Dalam dunia pewayangan, tokoh yang suka mengejar ilmu terdapat dalam diri Arjuna. Arjuna, yang dalam bahasa sansekerta berarti putih bersih atau bening. Ia juga sebagai simbol pribadi yang suka belajar. Dalam pewayangan ia memiliki istri sakethi kurang siji yang artinya satu juta kurang satu (999.999 istri). Para istri Arjuna adalah anak-anak pendeta atau guru. Ini melambangkan Arjuna “menikahi” ilmu pengetahuan. Dalam Bhagavad Gita, ketika Krishna menanyakan kepentingan kedatangannya dalam menjelang perang bharatayudha, Arjuna memilih Krishna sebagai “kusir”-nya, sedangkan Doryudhana memilih balatentara kerajaan Dwarkawati. Arjuna melihat sisi kedalaman ilmu Krishna, sedangkan Doryudhana melihat permukaan saja yakni bala tentara.
Non scholae sed vitae discimus memberikan sebuah pembelajaran bagi kita bahwa yang namanya belajar itu memang untuk kehidupan. Untuk itulah, dalam menghidupi ilmu pengetahuan, dibutuhkan sebuah proses yang kadang kala harus berdarah-darah, bercucuran keringat dan membanting tulang dan bukan mentalitas instant .
(Sebuah Coret-Coret tentang Pameo-Kata Mutiara-Pepatah-Adagium-Semboyan-Peribahasa-Jargon-Ungkapan-Pitutur)