Pada sebuah negeri antah berantah, hiduplah seorang punggawa kerajaan yang ingin menjadi kaya. Karena niatnya yang membara itu, ia hendak memulainya dengan tinggal dalam keheningan di tepi sungai. Cicero (106 – 43) berkata,“Animus hominis semper appetit agere aliquid” yang artinya “jiwa manusia selalu ingin melakukan sesuatu”. Ia berjalan menyusuri tepi sungai dan duduklah di sana. Kegelapan yang mencekam menyelimuti tempat itu dan punggawa itu menemukan sekantong berisi “kerikil” tepat di bawah ia duduk.
Untuk mengisi waktu senggangnya, ia melemparkan kerikil-kerikil di atas sungai dan suara plik-plik itu yang menjadi hiburan di tempat yang gelap gulita. Setelah beberapa saat, pulanglah ia menuju pesanggrahannya dengan membawa kantong tersebut. Dinyalakanlah lampu teplok itu dan suasana kamar pun menjadi terang-benderang. Ketika mengintip isi kantung itu, betapa terkejutnya dia, sebab kerikil-kerikil yang tadi dibuang itu ternyata adalah mutiara, yang sekarang hanya tinggal satu. Ia telah membuang kesempatan.
Ucapan H. Jackson Brown Jr yang berbunyi, “Nothing is more expensive than a missed opportunity” yang berarti tidak ada harga yang lebih mahal daripada peluang yang sudah hilang, rupanya bukan isapan jempol belaka. Tulisan-tulisan Laura Ingalls Wilder seri Little House yang berjumlah 10 novel (dari Rumah Kecil di Rimba Besar sampai Pengelana Rumah Kecil) ini merupakan cerita yang membangun watak (character building).
Charles Ingalls yang sering dipanggil Pa, sebagai kepala keluarga memberi pengajaran kepada anak-anaknya untuk berani mengambil setiap kesempatan. Tatkala harus mutasi dari daerah satu ke daerah yang lain, istrinya, Carolina Quiner (1839 – 1924) tidak pernah mengeluh. Memang benar apa yang dikatakan pepatah, “Orang bodoh membuang kesempatan, orang pandai mencari kesempatan dan orang bijaksana menciptakan kesempatan.”
Keluarga ini berani menciptakan kesempatan dan berani pula mengambil risiko. Tantangan mereka bertubi-tubi tiada henti, dari cuaca yang tidak bersahabat, hama belalang, beruang, serigala dan last but not the least yakni suku Indian. Tantangan dan bencana dari keluarga ini dianggap sebagai berkat. Pepatah Latin yang berbunyi, “calamitas virtutis occasion” yang berarti sebuah kesempatan untuk munculnya sebuah kebajikan rupanya diamini oleh penulis buku seri Little House ini.
Pendidikan karakter dari kedua orang tuanya itu membuat Laura menciptakan kesempatan dengan cara menjadi guru di usia yang sangat muda dan bekerja di rumah tukang jahit baju. Mereka adalah keluarga Kristen yang saleh dan setiap kali menghadapi tantangan dan kesulitan selalu mengacu kepada Kitab Suci. Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu (1 Kor 10: 13).
Jarang datang kedua kali
Tetapi karena kemalasannya, orang pun biasa menunda kesempatan yang ada. Pepatah Inggris berujar, “opportunity seldom knocks twice” yang berarti: kesempatan itu jarang datang untuk yang kedua kali. Saya kenal dengan seseorang yang akan diberi proyek. Orang tersebut sudah dihubungi dan ditunggu-tunggu oleh pemberi order, tetapi tidak datang-datang.
Akhirnya, proyek itu pun dialihkan kepada orang lain. Setelah, proyek itu mulai dikerjakan, betapa menyesalnya orang tersebut, ternyata proyek itu bernilai milyaran rupiah. Orang menunda kesempatan, karena barangkali sedang menunggu kesempatan yang jauh lebih besar, atau menunggu tepat saatnya. Tetapi kita harus ingat bahwa hidup kita yang nyata itu adalah saat ini dan kini, hic et nunc.
Thomas Carlyle pernah berkata, ‘Our main business is not to see what lies dimly at distance, but to do what lies clearly at hand” yang artinya: Tindakan utama yang harus kita kerjakan bukanlah melihat apa yang terletak samar-samar di kejauhan sana, melainkan melaksanakan apa yang kelihatan dengan jelas di depan mata. Antony de Mello dalam Burung Berkicau, melukiskan bahwa orang yang menunda kesempatan itu bagaikan seorang membacakan surat cintanya kepada pujaan hatinya, padahal dia ada di depannya.
Horatius (65 – 8) pernah berkata, “Rapiamus occasionem de die” atau marilah kita tangkap kesempatan itu ketika masih ada hari. Karna dalam pewayangan digambarkan sebagai seorang bangsawan, karena dia adalah putra Kunthi dengan Dewa Indra. Namun oleh Pandawa, dirinya dianggap sebagai Radeya. Maka sedihlah hati Karna itu.
Dalam situasi yang amat kalut, Doryudana mengangkat dia menjadi saudaranya. Dari sana pula, ia menjadi Adipati Awangga. Kesempatan yang diberikan pangeran Astina itu tidak disia-siakan, sehingga berani membela mati-matian melawan saudara kandungnya sendiri, Arjuna (Kompas 20-11-2011). Ungkapan Kanjeng Nabi Muhammad, “Sembahyanglah seperti kau ini akan mati besok pagi” rupanya baik untuk menjadi renungan kita. bersambung