[media-credit name=”geni.com” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]KETIKA saya masih kecil, kalau pulang terlambat usai bermain bola kaki atau kebetulan mendapati ayah yang sedang menyapu halaman yang sesungguhnya itu tugasku maka saya akan berkata dalam hati, “Wah ini tragedi” Atau ketika saya masih di Seminari Mertoyudan dan jika Pater Rektor memanggilku, maka teman-temanku pun akan berteriak, “Tragedi akan menimpamu.”
Entah sudah berapa banyak peristiwa mengerikan yang menimpa peradaban dunia kita ini. Ada gunung Vesuvius di Italia yang menimpa dan menghancurkan kota Pompeii di tahun 79, pembakaran kota Roma oleh Kaisar Nero tahun 64, penyiksaan di camp-camp konsentrasi – sebelum tahun 1945 – yang dilakukan oleh Adolf Hitler (1889 – 1945 dan pengeboman yang meluluhlantakkan Hirosima dan Nagasaki (1945) adalah tragedi dunia yang kini membekas dalam kesadaran kolektif kita.
Atau tragedi tenggelamnya kapal Titanik di lautan Atlantik Utara para tengah malam tanggal 14 April 1912 yang sangat menghebohkan dunia. Tragedi memang sebuah peristiwa yang mengejutkan hati kita, karena di sana ratusan orang harus tergeletak tanpa nyawa. Ada 1.513 manusia yang tewas dalam tragedi Titanik.
Di tanah air kita saja sudah berapa tragedi yang telah kita alami. Barangkali sudah ratusan bahkan ribuan tragedi yang terjadi di tanah air kita. Dalam percaturan politik nasional, kita mengenal tragedi Bank Century, tragedi Lumpur Lapindo, tragedi korupsi, kelangkaan BBM dan masih banyak lagi.
Kita boleh menyebutnya sebagai annus horribilis yang artinya tahun yang mengerikan. Ungkapan ini sebenarnya pertama kali dicetuskan oleh Ratu Elisabeth Alexandra Mary Windsor (1926 – ) dan kita memang harus mengakuinya.
Sophocles, (496 – 406 BC) “bapak tragedi” penulis drama Oedipus Rex, yang sudah diterjemahkan dengan apik oleh W.S. Rendra. Drama itu dikatakan tragedi karena melawan hukum alam (the law nature). Di akhir cerita, Oedipus mencucuk matanya sendiri dan hidup terlunta-luta karena telah berbuat aib yani dengan mengawini ibunya sendiri, Jocaste. Tragedi juga bisa melanda dua sejoli seperti Sam Pek dan Eng Tay, Romeo dan Juliet serta Roro Mendut dan Pronocitra dan masih banyak lagi kisah-kisah yang serupa. Akhir dari kisah cinta mereka berakhir dengan tragis. Ada yang hilang ditelan bumi, minum racun dan bunuh diri dengan mati bersama-sama dalam satu bilah pedang.
Kita mungkin pernah mendengar kata tragedi buah apel. Di sana Eva memakan buah apel yang dilarang oleh Tuhan dan diberikan oleh Adam (Kej 3: 6). Karena peristiwa yang tragis itulah, mereka tidak tinggal di taman Firdaus, melainkan harus hidup di dunia seperti sekarang ini.
Dalam buku Mitologi Yunani, tulisan Sukartini Silitonga – Djojohadikusuma, tragedi perang Troya karena tiga wanita cantik Juno, Minerva dan Venus memerebutkan sebuah buah apel emas yang bertuliskan, “untuk yang tercantik”.
Pemilihan ketiga dewi yang yang tercantik itu jatuh pada Venus. Paris sebagai “yuri” akhirnya diminta oleh Dewi Venus supaya kembali ke Troya. Dari sanalah, terjadi tragedi perang Troya yang terkenal dan maha dahsyat hampir setara dengan perang saudara Mahabaratha.
Kidung sedih
Tragedi itu sendiri berasal dari kata Yunani, “tragos” yang berarti kidung sedih yang dinyanyikan oleh orang yang mengenakan kulit kambing jantan. Kidung sedih itu disenandungkan di kota Peloponnesus pada awal abad VI BC. Tentu saja kidung sedih itu begitu menyayat kalbu, sebab seolah-olah mengiringi suatu perang yang mahadahsyat di kota tersebut.
Konon perang Peloponnesus yang berlangsung selam 25 tahun itu dipelopori oleh Pericles, (495 – 429 BC) negarawan Yunani yang punya satu tujuan dalam hidupnya, yaitu keagungan Athena. Ternyata keinginan atau ambisi satu orang besar dapat menyebabkan tragedi bagi beribu-ribu bahkan berjuta-juta manusia.
Tragedi yang kini kita alami dan kita hadapi di negeri terkenal indah dan ramah ini kini tidak tersembunyi lagi. Mass media setiap harinya memberitakan tentang hal-hal yang buruk dan penuh borok dari anak-anak bangsa seperti yang ditulis oleh Herry Proyono dalam Pembusukan Kolosal (Kompas 28 Juni 2011) atau oleh Daoed Joesoef dalam Nasib Demokrasi di Zaman Edan (Kompas, 28 Mei 2011) dan Politikus di Zaman Edan (Kompas 2 Juli 2011). Atau kita melihat negeri kita yang penuh tragedi seperti yang ditulis oleh Sindhunata dalam Negeri Para Celeng (Kompas, 31 Mei 2011).
Melihat dan menyaksikan kisah-kisah tragedi di negeri sendiri saya hanya hanya bisa berkata, seperti yang dikatakan oleh Cicero (106 – 43 BC) “ O tempora! O mores!” yang artinya “oh zaman apakah ini! Akhlak macam apakah ini!”