JUDUL di atas dalam bahasa Indonesia berarti: Jangan mentang-mentang, nanti dipermalukan.
Tiga hari tiga malam saya mencari padan kata “keweleh”, namun tak ketemu. Sungguh tak mudah mencarinya. Kata itu melekat kontekstual ke budaya dan latar belakang Jawa, apalagi sekarang sudah jarang dipakai.
Meski tak terlalu pas, mungkin ini yang paling mendekati artinya. “Dipermalukan” atau lengkapnya “kecele yang membuat malu”.
Moga-moga dapat mahfum.
Tapi bukan “keweleh” yang menjadi isu tulisan ini, melainkan “ojo dumeh”, atau “jangan mentang-mentang”.
Mungkin sudah kodrat manusia, “mentang-mentang” adalah risiko yang sering muncul dari suatu keunggulan atau kehebatan seseorang. Bak dua sisi mata uang antara kehebatan dan mentang-mentang.
Orang menyandang kuasa, pandai, pangkat, kaya, populer, tampan atau cantik, mudah sekali terpeleset untuk “mentang-mentang”.
Tanpa kecuali, “penyakit” ini (cenderung) menjangkiti umat manusia. “Roh memang penurut, tapi daging lemah.” (Mat 26:41).
Publik heboh, saat seorang tokoh panutan (barusan) terjebak sikap mentang-mentang. Tanpa alasan jelas, dia menghujat pemimpin negara. Sang tokoh keweleh, karena justru dijenguk dan didoakan oleh pemimpin yang diserangnya, saat dirawat di RS.
Orang kaya mudah tergelincir bertindak semena-mena kepada yang tak punya. Orang pandai gampang lupa pepatah “di atas gunung masih ada langit”. Gadis jelita atau pria tampan jarang membayangkan suatu saat akan keriput, lemah dan bongkok.
“Dumeh” tidak hanya disandang oleh individu. Keluarga, komunitas, organisasi, perusahaan bahkan negara tak lepas dari ancaman sifat ini.
Perusahaan yang sedang menanjak, kadang lupa diri dan mulai mengabaikan pelanggan dan atau karyawannya.
Organisasi besar sering ingkar akan tujuan mereka untuk menyejahterakan anggotanya.
Partai-partai besar pemenang pemilu kerap asyik dengan kekuasaannya tanpa mengingat bahwa setiap saat konstituennya bisa ogah memilihnya kembali, lantaran tak menenggang kepentingan simpatisannya atau masyarakat banyak.
Negara adidaya bertindak “sok-sokan” menekan negara miskin atau berkembang dengan bertindak “semau gue”, seturut kepentingannya saja.
Nampaknya, sifat mentang-mentang ini mirip dengan ungkapan Lord Acton (1834-1902) bahwa: “Power tends to corrupt”.
“Power” tidak hanya “kekuasaan”, melainkan juga semua keunggulan atau kehebatan yang dimiliki (sekelompok) orang.
Sementara “korupsi” ala Acton bukan hanya terbatas pada sesuatu yang berkenaan dengan (mencuri) uang saja. Yang tak kalah berbahaya adalah bertindak keliru dalam memaknai keunggulannya.
Biasanya sibuk menepuk dada sambil meneriakkan kehebatannya serta memandang sebelah mata orang-orang di sebelahnya.
Resep untuk mengatasi mentang-mentang hanyalah menggantinya dengan rendah hati.
Sayang, itu bukan sesuatu yang otomatis atau tiba-tiba ada dalam diri manusia. Sikap ini, harus secara sengaja, terus menerus, ditanamkan, tanpa kenal lelah. Merasa “lebih” dari orang lain adalah penyebab utamanya. Hanya mereka yang sudah selesai dengan dirinya lebih mudah bersikap tawaduk.
Lebih bijak kalau mentang-mentang dikikisnya sendiri. Kalau tidak, tunggu tanggal mainnya. Intervensi dari luar yang akan menghentikannya. Bisa orang lain, masyarakat, lingkungan, dan yang paling menakutkan, bila alam yang melakukannya.
Pesan ini berlaku umum. Tentunya termasuk untuk saya. Saya tulis agar mudah mengingat dan mencamkannya.
Setiap dumeh berpotensi mengundang keweleh. Bertahap, kurangi dumeh agar keweleh tak keburu datang. Sekali lagi, bangun sikap tawaduk, rendah hati atau humble.
“Seseorang dapat mengubah masa depannya hanya dengan mengubah sikapnya dari tinggi hati menjadi rendah hati.” (Marie Osmond – penyanyi dan artis terkenal dari Amerika)
@pmsusbandono
26 Juli 2023
Baca juga: Mulai dengan Self-Leadership