OMK, Masa Depan Gereja

0
1,327 views
Suasana Temu Pastoral 2017 di Pusat Pastoral Sanjaya Muntilan. (Laurentius Sukamta)

PARA rama, perwakilan dewan paroki, dan perwakilan Orang Muda Katolik (OMK) paroki se Kevikepan Surakarta, Keuskupan Agung Semarang (KAS),  berkumpul bersama dalam acara Temu Pastoral (Tepas) 2017 di Pusat Pastoral Sanjaya Muntilan, Rabu-Jumat (11-13/1/2017). Secara khusus, Tepas 2017 ini membahas OMK dan menjadikan tahun 2017 sebagai tahun OMK dan Multikultur.

Acara Temu Pastoral 2017 mengambil tema “Mengembangkan Pastoral Orang Muda yang Bergairah di Tengah Masyarakat Multikultur”. Tema ini juga diusung menyambut Asian Youth Day (AYD) ke-7 yang akan diselenggarakan pada Juli-Agustus 2017 di Keuskupan Agung Semarang.

AYD sendiri mempunyai tema “Joyful Asian Youth! Living the Gospel in Mulitcultural Asia” atau “Sukacita Orang Muda. Menghidupi Injil dalam Konteks Asia yang Multikultur”.

Multikultur

Selama Tepas, para peserta mendengarkan tiga pemaparan materi terkait orang muda dan multikultur. Pemaparan pertama dari Komisi Kepemudaan KAS (K3AS) yang membahas “Orang Muda Katolik Wajah Segar Gereja?” OMK menentukan masa depan Gereja 15 tahun yang akan datang yang bersifat multikultur atau beraneka budaya.

Dalam sesi itu, K3AS mengajak OMK untuk memandang multikulturalisme sebagai peluang dan bukannya ancaman. Sejumlah OMK bersaksi bahwa mereka mampu hidup bersama dalam keberagaman budaya, suku, dan agama. Namun, tidak sedikit yang mengalami hal-hal yang kurang mengenakkan ketika hidup berdampingan dengan masyarakat yang beraneka budaya itu.

OMK yang dimaksud K3AS bukan sebatas mereka yang aktif dalam berbagai program yang dikelola di bawah dewan paroki. Karena terdapat banyak OMK yang mempunyai relasi dan lingkaran pergaulan di luar lingkup dan cakupan berbagai program rutin parokial itu.

Hasil evaluasi K3AS terhadap OMK ada tiga hal:

  • Pertama, terdapat sindrom minioritas dalam diri OMK yang membuat mereka takut untuk membaur dengan masyarakat yang beraneka budaya, khususnya agama.
  • Kedua, OMK cenderung “jago kandang”. OMK ramai di gereja, tetapi sepi untuk urusan masyarakat yang multikultur.
  • Ketiga, kepedulian OMK terhadap keanekaragaman budaya dan agama ini sangat terkait dengan pengalaman hidupnya. Apakah OMK pernah mengalami atau tidak.

Pemaparan kedua dari Komisi Kepemudaan KWI yang diwakili oleh Rama Yohanes Dwi Harsanto, Pr.

Dalam pemaparannya, Rama Santo menjelaskan bahwa Allah secara istimewa menaruh orang muda di dalam hati-Nya. “Dalam sejarah keselamatan, Allah memanggil orang muda sebagai rekan kerja, seperti Ishak, Musa, Yosua, Samuel, Daud, dan sebagainya. Puncaknya, Allah memanggil Maria sebagai ibu Yesus. Yesus sendiri akhirnya juga memanggil orang-orang muda sebagai murid-muridnya,” katanya.

Rama Santo menyatakan, karya pastoral OMK hendaknya selalu menggarap lima bidang pembinaan yang meliputi katolisitas-spiritualitas, kepribadian, kemasyarakatan, kepemimpinan-organisasi, dan intelektualitas-profesionalitas. Strategi yang digunakan antara lain ibadat, katekese, gerakan sosial, persahabatan, dan kepemimpinan.

“Untuk itu, umat dipanggil menjadi pembina OMK yang menjalankan tugas sebagai penggerak, pendamping, dan pemimpin. Para pembina OMK dituntut memelihara keseimbangan jiwa raga, gaya hidup sehat, dan memiliki relasi yang intim dengan Tuhan. Maka dari itu, para pembina OMK pun memerlukan pembekalan terlebih dahulu,” ujarnya.

Pemaparan ketiga dari Suhadi Cholil, Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Suhadi mengatakan, identitas agama masih dianggap kuat untuk masa depan di Indonesia termasuk pada kaum muda. Ia juga mengkritisi umat Katolik yang cenderung diam ketika terjadi hal-hal yang mengancam kebhinekaan di Indonesia.

Menurut Suhadi, ada empat tantangan dalam membangun multikulturalisme, yaitu fundamentalisme, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Ia menyampaikan, umat Islam Indonesia yang radikal hanya ada 0,4%. Sedang yang 7% yang bersedia radikal, yang 19,8% tidak punya sikap, dan yang 72% atau sekitar 108 juta muslim Indonesia tidak bersedia radikal.

“Artinya, Gereja diharapkan bekerja sama dengan umat yang 72% tersebut supaya mereka yang 19,8% (tidak punya sikap) tadi tidak mengikuti yang radikal. Gereja juga diajak untuk membuka diri, mendorong generasi muda membangun ruang interaksi dalam kemajemukan, menemukan kembali pengikat multikultur, dan mengaktivasi gerakan-gerakan persaudaraan antar-agama,” ajaknya.

Berdasarkan ketiga pemaparan itu dan hasil diskusi per rayon di akhir Tepas, maka Kevikepan Surakarta merumuskan pola pendampingan kaum muda, yaitu liturgi, edukasi, aksi, refleksi, dan evaluasi. Pola liturgi bisa melalui Misa mingguan dan kegiatan khusus seperti Aksi Puasa Pembangunan (masa prapaskah), Bulan Katekese Liturgi, Bulan Ajaran Sosial Gereja, Bulan Kitab Suci Nasional, Bulan Rosario, dan Masa Adven.

Edukasi bisa bersifat internal dan eksternal. Yang internal misalnya mempelajari buku Docat dan Youcat. Yang eksternal misalnya kunjungan ke pesantren atau kemah lintas agama. Aksi diharapkan memiliki dampak bagi masyarakat sosial dan lingkungan. Evaluasi artinya mengukur keberhasilan program. Sedangkan refleksi artinya mengambil makna dari program yang dilaksanakan.

 

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here