KEHIDUPAN, betapa pun sering kali menelan kepahitan, sering kali di mata para emban perempuan malah jadi objek olok-olok, gurauan, dan ejekan di antara mereka. Itulah sisi hidup manusia yang tak jarang tidak mudah kita mengerti. Misalnya, mengapa para pengemis yang suka mengais sisa makanan dari timbunan sampah itu jarang terdengar sakit diare atau lainnya, sementara orang kaya malah kena diare sekalipun makan menu mereka selalu tersaji higienis.
Di drama musikal Opera Dolorosa yang berdurasi hampir 2,5 jam tanpa putus itu, kehidupan pahit dan drama hidup komikal segelintir kelompok manusia pinggiran di tepi bantaran sebuah sungai malah diperbicangkan dengan nada gurauan. Di tangan para emban perempuan yang semuanya berkostum aneh-aneh, keseharian hidup masyarakat pinggiran kali itu menjadi drama komikal yang memicu tawa.
Paparan hidup komikal inilah yang membuka bungkus paket Opera Dolorosa setelah sebelumnya muncul adegan kekerasan terhadap kaum perempuan oleh para durjana.
Itulah sebabnya, terkesan tiada kesedihan di antara mereka. Yang ada hanyalah banyolan lucu memancing tawa. Sementara pada sisi yang berbeda, kehidupan masyarakat pinggiran di tepian bantaran sungai itu menjadi perbincangan serius bagi kelompok mapan yang berkepentingan di situ untuk mengais untung besar melalui projek pertambangan.
Situasi paradoksal
Sebuah paparan dunia paradoksal muncul di sini, ketika jenis kehidupan sama di tepian bantaran sungai punya sisi cerita yang berbeda. Di tangan para penghuninya, kisah mereka ibarat dongeng kehidupan yang layak diceritakan dan dijadikan bahan untuk senda gurau. Duduk di barisan ini adalah dr. Siti Dumilah (Ria Probo), Romo Dolores (Ade Setyawan), Baidullah (Seto Putrondaru). Ketiganya punya kenangan sangat indah, ketika bersama-sama sebagai anak hingga remaja meniti karir hidup di permukiman penduduk di tepian bantaran sungai itu.
Sementara, di seberang sana berdiri sekelompok orang mapan dengan kisah cerita berbeda. Kehidupan di bantaran sungai adalah kisah yang harus setiap hari dicermati, diteropong, diselidiki karena di sanalah sumber kehidupan kaum mapan ini berasal.
Karena itu, kisah kehidupan penuh canda tawa itu di kemudian hari seketika bisa berubah menjadi drama menyedihkan. Itu terjadi, manakala Ibu Bupati (Maria Dara) dan suaminya (Rony Dozer) bersama Pak Lurah (Mo Sidik) begitu gampang termakan isu panas hanya oleh gerakan menuntut keadilan tanpa kekerasan yang diprakarsai oleh Romo Dolores.
Di seberang lain, ada dua mahkluk beda jenis yang pernah mereguk indahnya kehidupan bersama saat masih kecil hingga remaja di permukiman kampung Bantaran. Dr. Siti Dumilah dan Baidullah berharap bisa mereguk cinta bersama, namun harapan itu akhirnya kandas karena munculnya Romo Dolores dan kemudian Sr. Rosa (Widi Dwinanda). Barulah di babak adegan ini, klimaks cerita drama musikal Opera Dolorosa ini mencuat ke permukaan.
Butuh waktu hampir dua jam untuk menunggu klimaks cerita ini yang akhirnya bermuara pada anti-klimaksnya dengan terburainya rahasia lama. Sebuah foto dan kemudian titik hitam di bawah tengkuk lantas membuktikan bahwa Sr. Rosa itu tak lain adalah anak kandung Ibu Bupati yang dulu bernama asli Putri,. Bayi kecil Putri yang sekarang kira-kira berumur 25 tahun dan layak dipestakan dengan peragaan busana dan hingar bingar itu hilang diculik orang, ketika bayi Putri ditinggalkan sendirian saat dijemur di halaman rumah.
Pergelaran bagus
Lalu dari perspektif apa, drama musikal Opera Dolorosa besutan Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) KAJ bersama mitranya Teaterri (Teater Rumah Iman), Komunitas Pekerti Kasih, dan umat Paroki Santo Gabriel Pulogebang (Bekasi) ini harus dinilai bagus?
Saya melihatnya tidak hanya dari sisi keberhasilan Romo Steve Winarto Pr –pastor Paroki Pulogebangi– yang berhasil membawa para pemain kroyokan dari segala usia, latar belakang, dan komunitas pergaulan yang beragam ini naik pentas. Ujung-ujungnya jelas, karena Opera Dolorosa ini menjadi semacam produk seni hasil sinergi dari berbagai kelompok komunitas di Jakarta.
Juga tak bisa dilupakan, produk musikalitasnya sangat bagus, saat mengiringi drama musikal ini dengan sajian aransemen musik, vokal, serta tata gerak yang menawan. Tata panggungnya juga sangat apik tertata dengan slot waktu yang diatur pendek namun sangat rapi untuk perpindahan adegan.
Para penonton juga mengungkapkan apresiasinya kepada penata kostum Lindy Ann Pieters. Publik menilai dia berhasil menciptakan kreasi kostum warna-warni dengan corak lucu, heboh, namun sekaligus juga berkelas. Semua pihak yang berdiri di luar layar juga harus dipuji, justru karena merekalah drama musikal Opera Dolorosa ini layak mendapatkan tepuk tangan meriah
Kerja bareng nan keras
Kalau semuanya itu terangkum menjadi sebuah sajian pentas yang indah, lalu siapa yang mesti mendapatkan pujian untuk pergelaran drama musikal Opera Dolorosa ini? Meski tidak kenal pribadi, saya mesti menyebutkan nama Romo Steve Winarto –sang sutradra, imam diosesan KAJ dan kini pastor Paroki Pulogebang di Bekasi. Itu karena dari romo muda berprestasi inilah, sebuah produk seni drama musikal dirancang idenya, lalu dikemas dalam tataran gerak, lagu, animasi, dan kemudian dipentaskan di atas panggung.
Kurang dua pekan sebelum Opera Dolorosa ini naik pentas di Ciputra Art-Preneur hari Sabtu-Minggu, 5-6 Maret 2016, Romo Steve Winarto masih jalan sana-sini untuk bisa ‘jualan karcis’ bersama umat Paroki Pulogebang di Gereja Paroki St. Andreas, Green Garden, Kedoya, Jakbar.
Jauh di sana, juga ada penulis naskah yang selama ini bekerja di balik layar yakni Ita Sembiring dan Romo Harry Sulistyo, sang penjaga gawang Komisi Komsos KAJ yang sangat andal dan piawai menjual produk seni hasil sinergi berbagai kelompok komunitas di Jakarta ini kepada pihak sponsor. Ini adalah produk seni ketiga kalinya yang berhasil dibesut Romo Harry bersama tim Komsos KAJ setelah Selubung Perempuan, Nada untuk Asa yang kemudian diproduksi ulang dalam format film layar lebar dengan titel sama.
Stamina fisik ikut menjadi daya tarik unggulan drama musikal Opera Dolorosa ini. Terutama, ketika empat penari pria mampu menampilkan tarian sufi yang amat menawan dengan gerak memutar tanpa henti selama lebih dari 10 menit. Tanpa putus dan tanpa pusing-pusing dengan tampilan “rok” yang mengembang terbang menampilkan konfigurasi warna sangat apik.
Tapi, marilah kita kembali ke pokok bahasan di atas.
Saya mencoba menarik garis jelas untuk memaknai Opera Dolorosa ini. Perhatian saya lalu tertuju pada sosok pergelaran itu sebagai produk seni yang bagus justru karena merupakan hasil sinergi dari berbagai elemen kelompok sosial di Jakarta.
Melanjutkan kisah sukses Selubung Perempuan (produksi tahun 2013) dan Nada untuk Asa (2014) yang konon juga dibangun dari dasar pergaulan lintas komunitas di Jakarta, maka Opera Dolorosa boleh dibilang menjadi semacam produk sosial sukses hasil besutan Komisi Komsos KAJ. Apa yang dibesut Romo Harry di sini? Tiada lain adalah kemampuannya menciptakan dan menyediakan ‘ruang bersama’ untuk berkreasi bersama dalam sebuah wadah paguyuban berkesenian.
“Kerja sama dengan komunitas lintas iman mutlak dilakukan di tengah kebhinekaan masyarakat Indonesia untuk kehidupan yang lebih baik,” tutur Romo Harry Sulistyo menjawab Sesawi.Net.
Menurut imam diosesan KAJ ini, ada banyak alasan untuk membangun kerja sama lintas iman tersebut seperti demi misi bersama membangun kemanusiaan dan lingkungan sosial yang lebih baik dan semakin manusiawi. “Itu bisa dilakukan dengan pelbagai cara. Salah satunya melalui produk-produk seni pertunjukan yang bisa dikemas untuk membangun semangat bersama demi mengamalkan Pancasila,” terang pastor yang banyak makan garam di blantika dunia event organizer ini.
Hal senada juga disajikan oleh Romo Steve Winarto, orang penting yang berdiri di belakang panggung di balik suksesnya Opera Dolorosa. Menurut pastor Paroki Gereja Santo Gabriel Pulogebang ini, Gereja Katolik Indonesia jangan hanya berkutat di altar. “Melainkan harus mau turun ke ‘pasar’ yakni masyarakat, melibatkan diri dalam pergaulan di luar Gereja dimana di situ ada banyak kelompok lain di luar Gereja. Ini adalah kenyataan ber-Indonesia dimana kebhinekaan agama dan etnik itu ada,” kata sang romo.
Dari yang semula tidak merasa punya latar belakang bidang kesenian tapi kemudian merasa senang terjun di dalamnya, maka Romo Steve Winarto menjadi kian bersemangat terjun hidup meng-gereja dan meng-umat di komunitas-komunitas seni. “Saya memang suka seni. Itulah yang kemudian memicu saya untuk belajar dan bergaul dengan komunitas-komunitas seni lintas iman untuk menambah wawasan dan pengalaman, selain tentu saja tetap menjalankan tugas pastoral imamat,” terang Romo Steve.
Karena itu, pergaulannya di banyak komunitas seni dihayatinya sebagai bentuk riil untuk mengamalkan nilai ke-bhineka-an Indonesia sebagaimana terumuskan dengan indah di Pancasila. “Yakni, Persatuan Indonesia dimana kita ingin bersatu bersama seluruh umat beragama yang meyakini Ketuhanan Yang Maha Esa,” paparnya menjawab Sesawi.Net.
Semangat karena Tuhan
Untuk sebuah wilayah keuskupan yang begitu besar dan seheterogen KAJ, langkah besutan Komisi Komsos KAJ dengan sang komandan-nya Romo Harry Sulistyo ini layak diacungi jempol. Ia terlibat ikut pontang-panting agar produk Opera Dolorosa ini sukses di atas pentas dan di balik layar, toh hasilnya juga tidak mengecewakan. Pementasannya sangat bagus dengan perolehan hasil penjualan tiket yang juga lumayan.
Sekali lagi –seperti bunyi ungkapan tagline Romo Harry Sulistyo—Opera Dolorosa meraup sukses dengan kesan postif dan baik, maka itu semua terjadi lantaran semua orang telah bekerja dengan super semangat karena Tuhan.
Proficiat untuk Komisi Komsos KAJ dengan komandannya Romo Harry Sulistyo yang bersama Ita Sembiring menjadi penulis naskah, sang sutradara pencetus ide Romo Steve Winarto, para musisi dan penyanyi di balik layar, para figuran, penata kostum Lindy Ann Pieters yang berhasil membawa warna cerah meriah dan berkualitas melalui produk rancangan busananya.
Yang tak boleh dilupakan, proficiat juga untuk para kru teknisi di balik layar (tata suara, tata lampu, stage manager), dan sekalian para pemain Opera Dolorosa yang gendut-gendut, para ibu-ibu sosialita yang gemar hang-out, para model yang rupawan. Juga para figuran anak-anak yang masih imut, namun lucu dan tentu saja juga sangat menghibur.
Sukses besar dan tetap semangat itu ada karena Tuhan.