TRADISI teologi katolik mengenal apa itu theodicea. Pikiran tentang hubungan antara kebaikan Tuhan dan eksistensi kejahatan di dunia selama beberapa tahun terakhir ini telah dipopulerkan oleh John Harwood Hick (1922 – 2012), seorang filosof sekaligus teolog asal Inggris yang menghabiskan hampir seluruh karir mengajarnya di AS. Inti pemikiran Hick kurang lebih secara sederhana bisa dibahasakan demikian: kalau Tuhan itu benar-benar baik adanya, mengapa di dunia ini masih saja tetap ada kejahatan dimana-mana?
Meski tidak persis sama dengan gagasan besar theodicea di atas, dalam homilinya saat misa pelepasan jenazah Linus Putut Pudyantoro (1964-2017), Bapak Uskup Agung KAJ Mgr. Ignatius Suharyo melontarkan sentilan pertanyaan menarik. Mengapa orang baik dan berdedikasi tinggi kepada Gereja Katolik Indonesia seperti almarhum Linus ini malah diberi ‘ganjaran’ harus mati muda?
Umat Yahudi era Perjanjian Lama percaya bahwa titik final kehidupan fana di dunia ini berakhir dengan kematian. Semakin orang itu dicintai Tuhan, maka Dia akan mengganjar manusia dengan umur panjang.
Kisah Nabi Ayub
Pertanyaan eksistential ini juga merambah sejarah iman umat Yahudi sebagaimana dipertanyakan berkali-kali oleh Nabi Ayub. Mengapa dirinya ‘diganjar’ dengan bertubi-tubi penderitaan, padahal ia melakoni hidup yang baik? Demikian pemberontakan iman Nabi Ayub kepada Tuhan, ketika ia mempertanyakan habis-habisan ideologi ‘kebaikan’ Tuhan itu secara kritis. Ia menggugat Tuhan, karena mestinya ‘kebaikan’ Tuhan itu telah memberinya banyak ganjaran dengan kenikmatan dan bukan sebaliknya penderitaan hidup.
Pada kasus meninggalnya Linus Putut Pudyantoro –penggagas kelompok Paduan Suara Mia Patria Choir dan pencipta lagu liturgis gerejani doa Bapa Kami dan lainnya—Mgr. Ignatius Suharyo mengajak kita semua bertanya seperti ini. Ada ‘rencana’ apa sehingga Tuhan berlaku sangat ‘pelit’ sehingga mengganjar alumnus asrama SMP Bruderan Purworejo (1977) dan Seminari Mertoyudan (1980) dengan umur pendek?
Rentang waktu hidup selama 53 tahun itu, demikian tutur ahli teologi alkitabiah ini, dalam tradisi pemahaman iman Perjanjian Lama seakan mencerminkan ‘kepelitan’ Tuhan kepada umat-Nya. Biasanya, kata Mgr. Ignatius Suharyo, kalau orang baik itu disayang Tuhan, maka dia akan diganjar kesehatan dan umur sangat panjang.
Pada peristiwa kematian umur pendek almarhum Linus Putut Pudyantoro, pemahaman iman macam itu lalu dijungkirbalikkan.
Baca juga:
- Boys Choir Putera Altar Paroki Blok B Jakarta Kenang Linus Putut Pudyantoro dengan Konser
- In Memoriam Linus Putut Pudyantoro: Jejak Vocalista Sonora di Zaman Berbeda (3)
- In Memoriam Linus Putut Pudyantoro, Jejak Warisan Lagu-lagu Liturgis Gerejani Khas Katolik (2)
- In Memoriam Linus Putut Pudyantoro: Lagu Doa “Bapa Kami”, Warisan Ungkapan Iman Umat Katolik Indonesia…
Kalau orang baik itu mati muda, demikian pertanyaan Mgr. Suharyo, pastilah Tuhan sudah punya ‘rencana-Nya’ sendiri. Kalau Tuhan sungguh mencintai manusia baik, maka konsep cara pikir model Perjanjian Lama menjadi irrasional. Itu karena semakin orang itu dicintai Tuhan, maka semakin lama pula hidup orang yang disayang Tuhan itu bisa berumur panjang dan bebas dari segala penderitaan.
“After life”
Tentu ada ‘rencana’ lain yang ingin disampaikan Tuhan dengan kejadian berumur pendek seperti dialami oleh almarhum Linus Putut Pudyantoro ini, demikian keyakinan iman umat Yahudi era Perjanjian Baru. Merujuk pada sebuah perikop surat Rasul Agung St. Paulus, Mgr. Ignatius Suharyo lalu berteologi alkitabiah bahwa umur pendek atau kematian mendadak sebagaimana sering terjadi pada banyak orang –termasuk pada Linus—tentu merujuk pada ‘rencana’ Tuhan yang kita pun sering kali tidak bisa memahaminya dengan baik dan sempurna.
Sesudah kehidupan di dunia yang fana ini, demikian konklusi Mgr. Ignatius Suharyo, umat kristiani diajak meyakini kebenaran adanya after life –sebuah ‘cara hidup’ lain dimana segenap umat beriman bisa menikmati kemuliaan abadi bersama Tuhan. Kepergian Linus Putut Pudyantoro yang telah melakoni hidup selama 53 tahun di alam fana ini sekarang beranjak pergi mau memasuki kehidupan lain sesudah mati –after life—menikmati kemuliaan Tuhan.
Bagaimana persis kondisi dan atmosfer kehidupan konsep after life itu, banyak filosof dan teolog juga sering membahasnya dalam banyak diskursus. Namun pada akhirnya, kita juga harus mengakui bahwa kita semua memang tidak tahu persis seperti apa. Kalau pun harus bertanya macam apa after life –hidup sesudah kematian—maka pertanyaan itu harus diajukan kepada Yesus. Itu karena hanya Dia-lah yang pernah mengalami kematian dan kemudian bangkit lagi dari kematian dan hidup dalam kemuliaan-Nya.
Linus Putut Pudyantoro telah menyelesaikan hidup yang fana ini pada umur 53 tahun. Selanjutnya, seperti kata Rasul Agung Santo Paulus, almarhum hidup dalam kemuliaan bersama Tuhan. Demikian umat katolik dari pelbagai penjuru yang memenuhi sudut-sudut Gereja St. Aloysius Gonzaga – Paroki Cijantung di Jakarta Timur ini diajak oleh Bapak Uskup Agung KAJ Mgr. Ignatius Suharyo untuk bisa memaknai peristiwa kematian dari perspektif iman.
Linus dan Perayaan Ekaristi
Sebagaimana kita ketahui, Perayaan Ekaristi adalah puncak ekspresi iman umat katolik yang diwujudkan dalam bentuk ibadat liturgis. Rumus pakem-nya sudah baku dan jelas sehingga tak bisa diubah atau ‘digeser’ sesuka hati sesuai selera pastornya. Di dalam tata Perayaan Ekaristi ada banyak lagu liturgis seperti Kyriale, aneka lagu di slot antar bacaan, persembahan, komuni, penutup, dan tentu saja di awal Perayaan Ekaristi.
Almarhum Linus Putut Pudyantoro telah ikut memberi ‘warna’ tersendiri dalam tata Perayaan Ekaristi. Dan pada titik singgung inilah, Bapak Uskup KAJ Mgr. Ignatius Suharyo ingin meletakkan kontribusi besar almarhum bagi segenap umat katolik di Indonesia. Ini karena alm. Linus telah berperan penting yakni semakin mampu ‘menghidupkan’ Perayaan Ekaristi berkat koleksi lagu-lagunya bersama liriknya yang sangat khas katolik. Di sini mesti kita sebut dua lagu yang sering dinyanyikan dalam Perayaan Ekaristi yakni doa Bapa Kami dan Jadikan Hatiku Istana Cinta-Mu.
Koleksi lagu almarhum Linus juga sering berkumandang di misa-misa perkawinan katolik yang bisa melahirkan suasana tersendiri bagi segenap umat katolik yang hadir di misa perkawinan katolik tersebut. Itulah Linus Putut Pudyantoro yang oleh Mgr. Ignatius Suharyo dicatat sebagai orang katolik bersemangatkan kristiani tulen, berdedikasi serius membantu banyak kalangan untuk semakin menghayati iman mereka akan Yesus Kristus. Terutama dalam puncak ungkapan iman kristiani yang terungkap secara liturgis dalam Perayaan Ekaristi.
“Almarhum Bapak Linus Putut Pudyantoro telah bekerja keras dan serius membantu segenap umat katolik di Indonesia untuk semakin meresapi Perayaan Ekaristi dan memberi makna yang lebih intensif atas puncak perayaan iman yang diungkapan secara liturgis ini,” demikian Mgr. Suharyo dalam homilinya.
“Almarhum telah membantu kita semua untuk semakin menghayati Perayaan Ekaristi sebagai ungkapan puncak iman kita,” tandasnya.
Dicintai banyak orang
Ratusan orang pelayat datang dari mana-mana dan jumlahnya amat banyak. Gedung Gereja St. Aloysius Gonzaga – Paroki Cijantung pada hari Jumat tanggal 27 Oktober 2017 siang kemarin itu sungguh penuh sesak. Pun pula dua areal parkir di depan gereja plus dua lokasi di depan dan di samping Sekolah Ignatius Slamet Riyadi juga sudah tidak menyisakan ruang bebas untuk parkir kendaraan.
Jalan sempit di depan gereja juga padat oleh lalu lintas manusia dan kendaraan. Belum lagi, puluhan krans karangan bunga terpampang di sudut-sudut kompleks Gereja St. Aloysius Gonzaga Cijantung dan Sekolah Ignatius Slamet Riyadi.
Semua orang itu datang untuk melayat, memberi penghormatan terakhir sekaligus menunjukkan kasih sayangnya kepada Linus Putut Pudyantoro. Tak terkecuali Dr drg Alma Jonarta Mkes –dosen Fakultas Kedokteran Gigi UGM—yang kemarin secara mendadak didapuk memainkan piano elektrik untuk mengiringi ‘konser kecil’ dalam misa pelepasan jenazah.
Dokter gigi yang sudah jarang buka praktik membuka mulut pasien ini datang buru-buru di tengah kesibukannya mengajar di UGM untuk bisa terbang dari Yogya ke Jakarta. Ketika gagasan mau melayat itu disampaikan kepada Redaksi Sesawi.Net pada Kamis siang, kami merasa kurang yakin dengan apa yang dia katakan. Ternyata, Kamis malam ia sudah berhasil tiba di rumah duka dan menghadiri misa requiem dan kemudian menemani keluarga yang tengah berduka hingga Jumat petang kemarin.
Sr. Maria Seba dan Sr. Laura –keduanya suster biarawati SFIC di Pontianak—mengaku kaget dan lemas tubuh, ketika berita duka di hari Kamis menjelang dinihari itu sampai ke telinga mereka. Sampai hari Sabtu ini, upaya mereka menulis sedikit kenangan akan almarhum belum berhasil mereka lakukan sakit larutnya dalam kesedihan. Rasa kaget juga diungkapkan oleh Sr. Irene, suster provinsial pimpinan SFIC.
Ikatan emosional antara almarhum Linus Putut Pudyantoro dengan Kongregasi SFIC ditorehkan di bulan Juli 2017 ketika almarhum datang ke Pontianak memberi lokakarya tentang musik liturgi kepada para suster SFIC dan umat lokal pemerhati lagu-lagu gerejani khas katolik.
Kenangan manis akan keramahan dan dedikasi alm. Linus Putut Pudyantoro juga diungkapkan oleh Xaveria Kimpin dari Keuskupan Ketapang di Kalimantan Barat. Bersama sejumlah pemerhati koor dan dirigen di Ketapang, ia mengingat kembali momen-momen pengajaran yang disampaikan almarhum di Gereja St. Gemma Galgani – Paroki Katedral Ketapang pertengahan Oktober 2017 lalu.
Rasa sayang dan kehilangan itu juga disampaikan oleh tiga orang suster biarawati anggota Kongregasi Karitas (FCh) dari Lebakbulus, Jakarta Selatan. Kepada Sesawi.Net, Sr. Immaculata FCh dan Sr. Monika FCh merasa terbantu oleh dedikasi almarhum saat Sekolah Karitas membuat album.
Simpat dan empati juga datang dari jaringan alumni Seminari Mertoyudan. Saya melihat banyak alumni Mertoyudan dan Novisiat SJ Girisonta datang melayat. Harap maklum, alm. Linus Putut Pudyantoro adalah alumnus Mertoyudan (1980) dan pernah sedikit mencicipi gemblengan pendidikan dasar sebagai novis Jesuit di Girisonta selama beberapa bulan hingga Retret Agung.
Mimblik-mimblik
Prabantoro –kakak kandung cer almarhum—biasanya tampil pede dan suka banyak membanyol di berbagai kesempatan. Namun sesaat sebelum berlangsung misa pelepasan jenazah adik kandungnya, ia tak mampu menguasai gejolak hatinya melihat adik kandungnya cer itu sudah berada di peti jenazah.
Dari mimbar altar, Prabantoro juga menyaksikan ada begitu banyak orang pelbagai kalangan telah datang ingin menunjukkan simpati dan empati mereka kepada keluarga besar RPS Padmobusono asal Langenastran di Yogyakarta.
RPS Padmobusono adalah nama orangtua kandung almarhum Linus dan Prabantoro. Dari keluarga ini, telah lahir seorang anak perempuan dan enam orang anak lelaki yang entah mengapa tiga anak lelakinya itu semuanya mengadopsi nama ‘Putut”.
Mereka adalah anak ke-5, ke-6, dan ke-7 yang bungsu yakni almarhum Linus. Lebih menarik lagi, ketiga anak lelaki yang memakai nama ‘Putut” itu semuanya adalah alumni Seminari Mertoyudan.
Almarhum Linus dan kakaknya cer Prabantoro masuk Seminari Mertoyudan, begitu mereka lulus SMP dan yang lebih tua dari mereka yakni Putut Widiantoro masuk KPA Seminari tahun 1981 selepas lulus SMA-nya.
Kepada Sesawi.Net sebelum misa pelepasan jenazah, Prabantoro menuturkan adik kandung almarhum Linus tidak punya riwayat sakit jantung. Malam itu, kata dia, almarhum merasa tidak enak badan. “Seperti masuk angin begitulah dan minta dikerokin…dan ternyata langsung bablas,” ungkapnya.
Dari atas mimbar altar itu, kami melihat bagaimana Prabantoro sempat sedikit mimblik-mimblik menahan emosi sembari menangis penuh haru.
Pemandangan atmofir mimblik-mimblik itu dengan terang-benderang juga ditunjukkan oleh segenap anggota kelompok Paduan Suara Mia Patria Choir. Isak tangis penuh hari terjadi, ketika mereka bersama-sama berkumpul mengelilingi peti jenazah Linus Putut Pudyantoro, penggagas berdirinya kelompok koor ini.
Linus Putut Pudyantoro kini sudah dimakamkan di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur, menemani isterinya Maria Fortunata Apsari “Ririn” Budi Setyorini yang sudah pergi menghadap Sang Pencipta di tahun 2011 lalu.
Ucapan terima kasih
Kepada khalayak, keluarga besar RPS Padmobusono mengucapkan ungkapan seperti ini:
“Terima kasih. Pemakaman adik kami tercinta, Linus Putut Pudyantoro, yang meninggal Kamis 26 Okt 2017 pkl 01.05 WIB baru telah rampung paripurna pada hari Jumat 27 Okt. 2017 pkl. 16.30 WIB.
Terima kasih untuk semua bantuan berupa materi ataupun dukungan atau kehadirannya di rumah duka di hari Kamis malam dan esok siangnya di Gereja St. Aloysius Gonzaga – Paroki Cijantung di Jakarta Timur.
Semoga kebaikan hati Anda semua yang telah kami terima dalam masa perkabungan ini menjadi berkah tak terhingga bagi yang meninggalkan dan yang ditinggalkan; terutama untuk kedua putera almarhum Linus: Bernardinus dan Stanislaus.
Kami tidak dapat membalas apa pun atas kebaikan tersebut, kecuali doa semoga senantiasa kelimpahan berkah yang tak terputus.
Amin
Salam hormat
An. Keluarga RPS Padmobusono.”