SETIDAKNYA, menurut pengamatan pribadi saya, sekarang ini ada 22 anggota DPR RI periode 2019-2024 tersebar di pelbagai parpol.
Yang terbesar ada di PDIP sebanyak 12 orang.
Sedangkan Kepala Daerah Katolik tercatat sembilan orang. Menteri tinggal satu orang: Johny G Plate, Menteri Kominfo dari Partai Nasdem.
Tentu masih banyak yg berkiprah di level DPRD atau internal partai seperti Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP.
Seringkali tercium aroma tak sedap di kalangan umat Katolik yang berpersepsi bahwa dunia politik itu jahat, licik, penuh intrik. Maka sebaiknya dihindari, jika tak ingin terperosok dalam dosa.
Bahkan ada yang skeptis akut mengatakan “orang baik yang masuk dalam sistem yang busuk akhirnya ikut rusak juga”.
Betulkah begitu?
Dari data di atas tampak bahwa jumlah politisi Katolik lumayan juga, terlepas dari kualitas personalnya, jika disandingkan dengan jumlahnya yang hanya 3,12 % dari total penduduk Indonesia.
Power tends to corrupt
Para politisi adalah orang -orang yang bekerja dan berkarya pada ranah kekuasaan sehingga memiliki power dan potensi mempengaruh kondisi masyarakat, bisa positip atau negatif.
Tak bisa dipungkiri adagium “Power tends to corrupt” (Lord Acton) terbukti dengan banyaknya kepala daerah dan anggota dewan yang kesandung Operasi Tangkap Tangan(OTT) KPK.
Namun demikian, ada juga contoh Kepala Daerah yang gigih memperjuangkan perbaikan dan kesejahteraan masyarakat. Sebut misalnya, mantan Walikota Surabaya, Bu Risma; mantan Gubernur DKI Ahok.
Bahkan Presiden Jokowi sendiri dengan kekuasaan yang dimilikinya membangun negeri ini dari pelbagai aspek.
Demikian juga para anggota DPR (D) yang salah satu tugas utamanya menghasilkan undang- undang.
Para legislator Katolik punya peluang untuk mempengaruhi undang- undang yang dihasilkan dijiwai oleh nilai-nilai Katolik, utamanya kejujuran, option for the poor, keadilan dan penghormatan kepada martabat manusia.
Dengan demikian kebaikan bersama (bonum commune) dalam masyarakat semakin dekat karena memiliki landasan hukum yang kuat.
Cerdik seperti ular, tulus seperti merpati
Berjuang pada ranah kekuasaan tentu akan berbenturan dengan kepentingan- kepentingan lain karena setiap politisi memperjuangkan misinya sendiri-sendiri entah ideologis atau personal.
Di tengah percaturan politik yang sengit, seorang politisi Katolik memang harus “cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” (Matius 10:16).
Artinya, ia harus memiliki kompetensi politik yang memadai- tidak cukup hanya bermodal niat baik: bagaimana bernegoisasi, bersosialisasi, berargumentasi, sebagai ketrampilan untuk menjalankan misinya.
Namun cerdik (berkompetensi) saja tidak cukup, semua perjuangan harus dilandasi niat yang tulus, bukan culas dan curang demi kepentingan sendiri atau golongan.
Politisi Katolik, yang utama dan pertama, tidak sedang memperjuang kepentingan Gereja Katolik dalam arti sempit, melainkan kebaikan bersama (bonum commune) masyarakat, sehingga ia menjadi perpanjangan tangan Gereja di tengah dunia.
Kepentingan Gereja Katolik tidak perlu diperjuangkan, karena Gereja sudah punya pengalaman 2.000 tahun lebih dalam memperjuangkan eksistensinya.
Dalam perjuangannya, politisi Katolik selalu diingatkan ucapan Yesus sendiri, “Aku mengutus kamu seperti domba di tengah serigala.”(Matius 10: 16-30).
Tak bisa dinafikkan, seorang politisi saat ini akan mendapat fasilitas dari negara yang melimpah: gaji dan berbagai tunjangan yang besar ditambah fasilitas seperti mobil dan perumahan.
Menikmati kemewahan dan kekayaan yang disediakan tentu sah-sah saja, namun harus selalu diingat bahwa sebagai politisi Katolik ada tugas pengutusan khusus.
Makanya, ukuran keberhasilan seorang politisi Katolik bukan seberapa besar kekayaan dan seberapa tinggi jabatannya. Melainkan seberapa jauh nilai-nilai kristiani sudah mewarnai kinerjanya dengan buah-buah berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat yang semakin bermartabat.
Gaudium et Spes
Dokumen yang relevan dengan politik adalah Gaudium et Spes, yang membahas tentang peran Gereja dalam dunia modern.
Dalam dokumen ini, terdapat beberapa prinsip yang dapat dijadikan pedoman dalam berpolitik, antara lain:
- Keadilan sosial: Gereja mengajarkan bahwa setiap orang berhak atas keadilan sosial, termasuk hak atas pekerjaan yang layak, upah yang adil, dan akses ke sumber daya yang diperlukan untuk hidup yang layak.
- Solidaritas: Gereja mengajarkan bahwa semua orang harus saling mendukung dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, termasuk dalam hal politik.
- Kepentingan umum: Gereja mengajarkan bahwa kepentingan umum harus diutamakan di atas kepentingan individu atau kelompok tertentu.
- Partisipasi politik: Gereja mengajarkan bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam proses politik, baik melalui pemilihan umum maupun melalui partisipasi aktif dalam masyarakat.
- Dialog: Gereja mengajarkan bahwa dialog dan kerjasama antara berbagai kelompok dan agama sangat penting untuk mencapai perdamaian dan keadilan sosial.
Dengan mengikuti prinsip-prinsip ini, seseorang dapat berpolitik dengan cara yang sesuai dengan ajaran Gereja Katolik.
Namun, penting untuk diingat bahwa prinsip-prinsip ini tidak hanya berlaku bagi umat Katolik, tetapi juga bagi semua orang yang ingin berpolitik dengan cara yang adil dan bertanggungjawab.
Bapak Andreas anggota Komisi XI DPR RI telah membantu proses hingga terbitnya IMB Kapel Santo Bonifasius Kabupaten Malang, terimakasih untuk beliau
nuwun mas infone.