Ia menjumpaiku sementara aku dalam perjalanan pada suatu pagi. Nabire sudah mulai hangat. Jalanan dirajai oleh ojek-ojek. Entah sudah berapa ojek menawarkan jasa padaku.
Lalu, suara motor tua terdengar di belakangku. Aku tidak hirau. Motor itu membuntutiku. Aku berhenti untuk sekadar sarapan di warung kecil. Lelaki itu turun dan menghampiriku. “Selamat siang, Bapak.” Ia menyapa dengan membungkukkan badan. Suaranya sangat sopan. Kami berjabat tangan dan tangan kiriku menepuh bahunya. Sementara senyumnya mengembang, matanya berkaca-kaca. Dengan lengan kaos kuningnya ia mengusap air matanya.
Dengan sangat sopan ia menolak sarapan yang kutawarkan. Tapi ia menyantap pisang goreng.
Lalu kami bercakap-cakap. Ia mulai membuka lagi ingatannya tentang masa lalu yang masih hidup hingga sekarang. Lalu, ia memberikan semacam laporan kepadaku tentang apa saja yang terjadi dalam hidupnya selama dua tahun hilang kontak. “Bapak, di pagi hari saya biasa mengojek. Nanti siang saya menjadi guru untuk mama-mama. Sore saya mengojek lagi. Setiap hari saya menabung. Uang itu sebagian saya kasih mama di pedalaman. Yang lain saya masih simpan. Saya sekarang menjadi pegawai honorer.”
Sarapan itu sudah tuntas. Aku memintanya mengantarku ke tempatnya. “Boleh Bapak. Tapi saya malu ini. Pondok saya kecil saja. Saya buat dengan tangan dan uang saya sendiri.” Meski begitu, ia mengantarku dengan sepeda motor tua yang stangnya sudah goyah.
“Ini motor ojekmu?”
“Bukan, Bapak. Saya punya motor ada satu lagi.”
Kami masuk ke Kampung Harapan, mengarah ke tepi Kali Nabire. Di ujung jalan, motor berhenti dan kami berjalan dua menit dari situ. Ia berhenti pada sebuah pondok kecil dari kayu yang dikelilingi oleh tanaman nota, pisang, dan tebu. “Ini pondok saya. Semua saya kerjakan sendiri. Saya tidak pernah bikin rumah tapi saya mencoba.”
Di belakang ada kandang babi yang juga ia buat sendiri. “Di sini tinggal 2 ekor. Yang lain semua sudah saya kasih mama untuk piara di atas. Ada sembilan ekor sama mama. Bapak ingat to dulu, waktu SMA, saya punya satu ekor?” Juga ada sumur yang ia gali sendiri.
Kami berdiri di depan pintu kecil yang sudah menganga. Aku menatap ke dalam. Ada sebuah laptop tua. Tikar. Kertas-kertas. Lilin. Gelas. Sekarung beras. Alat masak. Pakaian.
Kemudian ia berkata, “Bapak, saya tidak tinggal di sini. Saya masih di tempat yang dulu karena bapak di sana sekarang stroke. Saya bantu jaga adik-adik dan mama. Yang tinggal di sini ada tiga adik dari kampung. Saya yang bawa mereka. Beras itu juga setiap bulan saya kasih. Mereka saya suruh belajar paket.” Aku kagum. Tapi ia belum selesai bercerita.
“Pondok ini adalah asrama pribadi saya. Saya mau terapkan yang dulu saya sudah dapat. Nanti kalau Bapak datang lagi, pondok sudah tidak seperti ini. Mungkin sudah lebih besar.” Aku terdiam. Aku sangat yakin dengan kata-katanya. Ia akan mewujudkan impian itu.
Kami berdiri di depan pondok kecil dan membikin gambar beberapa kali. Pahlawan belia yang tulus ini memberi kesejukan pada suatu siang di Nabire yang terik.
Sy sangat tertarik pada pahlawan belia ini. Bolehkah kami ikut terlibat utk sarana pendidikan anak-anak yg diasuhnya? Bagaimana caranya?