Puncta 15.10.22
PW. St. Teresia Avila, Perawan dan Pujangga Gereja
Lukas 12: 8-12
DIALAH yang akrab dipanggil Susi Susanti. Lengkapnya, Lucia Fransiska Susanti Haditono.
Sudah tigapuluh tahun yang lalu, Susi Susanti mempersembahkan medali emas pertama di olimpiade cabang bulu tangkis tunggal puetri.
Ia mengalahkan pemain ulet dari Korea Selatan, Bang Soo Hyun. Pertandingan sangat alot. Game pertama Susi harus menyerah dengan skor 5-11.
Pada game kedua Susi membalikkan kondisi. Ia mengejar ke mana saja bola diarahkan dan berhasil. Skor menjadi imbang 1-1 dengan kemenangan Susi di game kedua.
Semangat baja ditunjukkan Susi pada game penentuan. Ia mendominasi permainan. Game tiga ditutup dengan kemenangan Susi dengan skor telak 11-3.
Saat itu kamera meng-close up Susi yang secara spontan membuat tanda salib sebagai syukur karena bisa mempersembahkan medali emas untuk pertama kali setelah 59 tahun Indonesia ikut olimpiade.
Lagu Indonesia Raya berkumandang dan Bendera Merah Putih berkibar di Barcelona. Indonesia dikenal di seluruh dunia.
Seluruh rakyat Indonesia terharu dan bangga, ikut larut bersama tetesan air mata bahagia Susi Susanti.
Di balik kesuksesan itu, ada perjuangan panjang untuk bisa diakui sebagai warga negara Indonesia. Ada tiga stigma yang tidak mudah dijalani di tengah masyarakat yang plural.
Pertama lahir sebagai perempuan. Kita semua paham masyarakat kita sangat patriarkal. Kaum laki-laki lebih diutamakan.
Kedua sebagai keturunan Tionghoa. Walau mereka lahir dan besar di Indonesia, tetapi tidak mudah untuk diterima.
Ketiga sebagai orang Katolik. Walau secara perundangan agama dilegalkan, tetapi perlakuan diskriminatif masih terus terjadi sampai sekarang.
Maka perjuangan sebagai warga negara yang sama di mata hukum harus terus digemakan.
Tanda salib itu bukan untuk sombong-sombong atau pamer, tetapi sebuah syukur atas perjuangan mewujudkan eksistensi diri karena tidak semua orang Indonesia bisa mengibarkan bendera Merah Putih dan mengumandangkan lagu Indonesia Raya di ajang internasional.
Bukan pengakuan manusia yang paling penting, tetapi berani mengakui Tuhan Yesus di hadapan banyak orang.
Itulah yang dikatakan Yesus kepada para murid-Nya, “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Anak Manusia juga akan mengakui dia di depan malaikat-malaikat Allah. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, ia akan disangkal di depan malaikat-malaikat Allah.”
Dengan medali emas olimpiade, Susi Susanti berjuang mendapatkan pengakuan di hadapan seluruh rakyat Indonesia.
Namun dengan tanda salibnya, ia juga mengakui Yesus sebagai Tuhannya. Hal ini tidak mudah, butuh perjuangan dan keberanian.
Untuk bisa diakui dan diterima oleh masyarakat, kita tidak cukup mematok standar rata-rata orang pada umumnya. Harus ada nilai lebih dari ukuran rata-rata. Kalau tidak, anda akan disingkirkan.
Sama halnya menjadi murid Kristus. Tuntutannya juga harus lebih.
“Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.”
Mari kita tunjukkan iman kita dengan prestasi-prestasi nyata. Dengan demikian kita akan diakui di hadapan Tuhan dan sesama.
Kalau kita hidup di ibukota,
Tidak cukup makan janji dan kata-kata.
Kalau mau jadi pimpinan negara,
Berbuatlah dengan karya-karya nyata.
Cawas, berbakti bagi sesama…