Home BERITA Pancasila dalam Keseharian, Humanisme, dan Societas Totaliter (2)

Pancasila dalam Keseharian, Humanisme, dan Societas Totaliter (2)

0
Bung Karno.

BANGSA Indonesia telah lama merdeka. Tetapi, panorama kehidupan keseharian yang mengukir pembalikan nilai-nilai Pancasila tak pernah disimak serius.

Pada halnya begitu konkret.

Pemikiran orisinal tentang Pancasila sesungguhnya memiliki konteks Bung Karno muda. Ketika mencetuskan Pancasila untuk pertama kalinya (1 Juni 1945), Bung Karno berusia 43 tahun.

Bahkan Bung Karno sudah menulis secara ekstensif mengenai “Keindonesiaan” yang bisa disebut sebagai benih-benih konsep ideologi Pancasila sejak tahun 1926 di Soeloeh Indonesia Muda.

Saat itu, Bung Karno baru berusia 25 tahun.

Humanisme

Humanisme Bung Karno muda adalah humanisme murni. Saat Bung Karno masih belum berada dalam ranah kekuasaan, pencariannya sepenuhnya terarah kepada konsep-konsep filsafat tradisi luhur kehidupan bangsa sendiri yang memerdekakan, membebaskan.

Dalam terminologi filosofis a la Frankfurt Schüle, Pancasila identik dengan filsafat emansipatoris manusia-manusia Indonesia konteks kulturalitas dan religiusitas yang luar biasa kaya dan plural.

Pancasila adalah filsafat tata hidup bersama yang menginspirasikan pembebasan dari keterasiangan satu sama lain dalam lautan keanekaragaman suku, budaya, agama yang kaya.

Menurut Bung Karno, terjadi perlawanan Konstitusi Negara ketika bangsa ini memeluk secara buta ideologi-ideologi “importiran”.

Karena itu, ia menyebut Pancasila:

  • Bukan individualisme.
  • Bukan komunisme.
  • Bukan fasisme.
  • Bukan pula Islamisme atau Kristenisme atau segala “isme” yang berkaitan dengan agama apa pun maupun bukan agama (lih. Sukarno, Der Untergang des Abendlandes” dan “Indonesia versus Fasisme” dalam Pandji Islam, 1940).

Dalam logika jalan pikiran ini, “tujuh kata” khas Piagam Jakarta secara konkret tidak kompatibel dengan maksud asali semangat Pancasila (kendati Bung Karno ketika itu merupakan salah satu anggota yang menandatangani Piagam tersebut).

Malahan, stipulasi “tujuh kata” yang mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan syariatnya merupakan salah satu bentuk “de-Pancasila-isasi” konstitusional (bertentangan dengan Konstitusi Negara).

Sebab, seperti yang diungkapkan oleh Admodarminto juga, semangat Piagam Jakarta akan memicu semangat pengedepanan hegemonis kelompok manusia yang satu dan penyingkiran yang lain.

Bukan hanya kelompok agama lain yang tersingkir, tetapi juga kelompok aliran yang berbeda dari agama yang sama (Simak Admodarminto, “The Abangan Case against an Islamic State”, dalam Herbert Feith and Lance Castles, Indonesian Political Thinking 1945-1965, Ithaca: Cornell Univ. Press, 1970, 192-196).

Perlawanan Pancasila juga tercetus dalam fenomena “totaliterisme” societas Indonesia. Secara formal Indonesia jelas bukan negara totaliter. Indonesia merupakan “negara hukum”.

Ilustrasi – Model gaya pemerintahan otoriter. (Ist)

Societas totaliter

Pemerintahannya disebut “office of justice”. Tetapi, secara konkret bangsa kita di sana-sini kerap menampakkan diri sebagai “societas totaliter”.

Mula-mula kita kenal totaliterisme dari warisan kekejaman pemerintahan Nazi Hitlerian. Tetapi, totaliterisme juga memaksudkan segala bentuk pemaksaan tata kehidupan yang menjarah dan menghancurkan keanekaragaman.

Admodarminto mengajak anggota sidang Konstituante untuk memelekkan mata akan kemungkinan yang sangat konkret terwujudnya bentuk-bentuk “societas totaliter”, manakala memaksakan negeri ini berjalan dan dipondasikan pada hukum agama tertentu.

Societas totaliter” sangat mudah muncul dalam perspektif ranah agama. Ketika kehidupan keseharian dipondasikan pada agama (apa saja, bahkan bila segala agama disebut), terjadi “pengaplingan” atau “penyekatan” relasi satu sama lain. Dialogalisasi dan sikap-sikap beriman berangkulan pasti akan lenyap.

Societas totaliter” dalam sejarah bangsa Indonesia terlihat dalam rupa-rupa pemberontakan berdarah-darah yang dipondasikan pada ideologi tertentu; baik komunisme maupun aneka model “ideologi agamis” apa pun.

Tahun-tahun perlawanan terhadap aneka pemberontakan tersebut tidak lain merupakan pengalaman duka, kecemasan, derita dan kepahitan. Karena itu, absurd jika diulang-ulang.

Totaliterisme konkret, ketika kehidupan direduksi dalam satu wajah, satu pengedepanan aturan, satu kebijakan, satu pondasi ranah nilai luhur kehidupan, satu religiusitas, satu kulturalitas, satu agama.

Pendek kata, societas totaliter adalah societas yang menendang nilai-nilai pluralitas.

Suharto pernah terjerembab dalam lubang totaliter. Orde Baru lebih merupakan slogan untuk aman yang secara konkret menampilkan hembusan nuansa totaliterian.

Almarhum Munir pernah mengingatkan bahwa jutaan manusia, sejak rezim Orde Baru berkuasa, telah mengalami rupa-rupa bentuk vonis sosial maupun hukuman tanpa prosedur pengadilan. (Berlanjut)

https://www.sesawi.net/pancasila-dalam-keseharian-dan-implikasi-pastoral-hidup-damai/

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version