NASIONALISME bukanlah given (terberi tiba-tiba), melainkan discovered (ditemukan, diperjuangkan) dari zaman ke zaman. Karena itu, nasionalisme mengandaikan proses.
Nasionalisme setiap kali menyembul bagai sumber air sebagai sebuah peristiwa revolusi akal budi yang mencerahkan peradaban kehidupan bersama.
Jika nasionalisme dimaknai seperti gagasan Gandhi (yang juga dikutip Soekarno dalam pidatonya 1 Juni 1945, bahwa “nasionalismeku ialah humanisme”), cetusan terdalamnya melampaoi batas wilayah dan zaman apa pun.
Gandhi tidak mengartikan nasionalisme sebagai cita rasa bangsa sejauh dalam batas- batas kultur, sejarah, tanah, suku, apalagi ras dan agama.
Nation merujuk kepada makna human being. Maka, nasionalisme identik dengan kemanusiaan. Dan dalam konteks nasionalisme sebagai humanisme inilah, bangsa Indonesia memiliki panorama peradaban societas yang mencengangkan, dinamis.
Panorama ini memiliki kedalaman refleksi filosofis politis yang perlu disimak.
Kapan genealogi nasionalisme diasalkan?
Nasionalisme menyembul ketika cita asa keadilan mengemuka, ketika hati memberontak atas keterpurukan, ketika “penjajahan” itu sebuah keburukan, ketika “importisasi paham ideologis asing” menjarah kedalaman kearifan hidup sehari-hari.
Konsep nasionalisme mengkristal kala masyarakat menjadi societas humanis.
Benih-benih humanisme dapat ditemukan dalam karya Multatuli (1820-1887) Max Havelaar (1860). Di dalam karya itu, disajikan panorama memilukan keterpurukan kemanusiaan di bawah sistem kolonial yang kejam.
Kisah tragis Saidjah dan Adinda seakan-akan menjadi deklarasi publik di dunia internasional bahwa di belahan bumi yang kelak bernama Indonesia ada sebuah pergumulan kemanusiaan.
Surat-surat yang ditulis dalam kesunyian oleh RA Kartini (1879-1904) juga mengukir keprihatinan humanis yang kental. Benarlah judul Habis Gelap Terbitlah Terang, sebab perhelatan sunyi surat-surat tersebut adalah sembulan pencerahan budi dan hati seorang manusia yang tertindas.
Societas humanis makin terlukis pada gerakan 1908. Pendirian Boedi Oetomo mengukir kebenaran bahwa nasionalisme pertama-tama adalah revolusi kesadaran, revolusi akal budi.
Sebutan “Boedi Oetomo” (atau akal budi yang berkeutamaan) lantas menjadi emblem tampilnya societas humanis bangsa Indonesia
“Boedi Oetomo” pertama-tama bukan organisasi politik (apalagi semacam partai politik), melainkan organisasi dari para tokoh muda yang peduli dengan nasib bangsa.
Para anggotanya menaruh perhatian pada sesamanya yang terpuruk. Mereka bergerak dalam bidang pelayanan kesehatan dan promosi pendidikan kepada sebanyak mungkin pemuda-pemudi Jawa.
Societas negosiatif
Societas negosiatif adalah keberadaan dan aktivitas manusia-manusia Indonesia yang menyeberangi keterbatasan-keterbatasan rasa primordialisme.
Kita menyaksikan dinamismenya dalam pembentukan lembaga-lembaga pendidikan yang lebih egaliter. Kontribusi Zending Kristen, Muhammadiyah, NU, menyeruak mengatasi sekat-sekat stratifikasi sosiologis kaya-miskin atau jelata-ningrat masyarakat.
Demikian juga “revolusi” pendidikan Romo van Lith SJ di Muntilan atau integrasi pendidikan, kesehatan, dan eksplorasi keluhuran budaya ala Kiai Sadrach di Mojowarno atau perguruan Taman Siswa, mereka menjadi sembulan-sembulan pencerahan nasionalisme ke–Indonesia-an.
Malahan, tahun 1917, Romo van Lith SJ justru diusulkan oleh KH Agus Salim (seorang Muslim) untuk menjadi anggota Volksraad. Ia diminta menjadi wakil yang memperjuangkan hak-hak kaum bumi putera. Persahabatan negosiatif mereka berdua telah menyeberangi keberpihakan primordial.
Dekade dua puluhan mengukir kekayaan pelajaran berharga bagi konsep nasionalisme. Periode ini penuh dengan lobi-lobi negosiasi tingkat tinggi di antara para pemuda untuk mengurai identitas perjuangannya.
Kalimat-kalimat Sumpah Pemuda melukiskan identitas nasional dan kultural sekaligus.
Mungkin periode ini dapat disebut sebagai dekade paling flourishing dari filsafat politik para tokoh pergerakan Indonesia. Untuk mengurai paham-paham kesatuan, kebangsaan, ke-Indonesia-an (kendati masih ada dalam imaginasi) yang mengatasi sekat-sekat kesukuan, budaya, ideologi, agama, dan –yang paling krusial– bahasa.
Nasionalisme Indonesia mengalami pergeseran perspektif di era Perang Dunia II, perang ideologis. Ketika itu planet ini terbelah-belah dalam aneka ideologi. Para tokoh Indonesia pun terpanggil untuk mendefinisikan ideologinya.
Persaingan ideologi
Revolusi Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dan kelanjutannya berada dalam konteks ini. Indonesia harus mendefinisikan ideologinya. Sebab, ideologi identik dengan identitas bangsa.
Ketika rivalitas ideologi dunia saling bertubrukan, para Pendiri Negara ini secara amat brilian mendefinisikan sebuah ideologi yang rekonsiliatif dengan kodrat Indonesia, “Pancasila”.
Pancasila adalah emblem ideologis yang tidak berpihak pada dua musuh bebuyutan: sosialisme vs. liberalisme. Pancasila adalah kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa yang telah ada selama berabad-abad, sebelum kedatangan agama-agama.
Nilai-nilai luhur yang terpatri dalam-dalam pada jiwa bangsa ini ialah “ke-gotong-royong-an”, “kekeluargaan”, “religiusitas”, “kesetiakawanan”, “kebersatuan”, dan seterusnya.
Tetapi, perumusan ideologi negara tidak pernah lepas dari ketegangan-ketegangan kontekstual. Kita terbiasa dengan sebutan bahwa ketika itu Indonesia terbelah menjadi dua kelompok “Nasionalis” dan “Islam”.
Tetapi, istilah itu memiliki keragaman isi maksud yang beraneka. Golongan “Islam” pun tidak dapat dikategorikan sebagai “satu Islam.” (Berlanjut)