II. Implikasi untuk Pastoral “Hidup Damai”
Uraian di bawah ini merupakan aktivitas kita Gereja Katolik mendefinisikan pastoral hidup damai dalam masyarakat sebagai konsekuensi konkret dari pembacaan Pancasila dalam pengalaman sehari-hari hidup kita.
– Mendefinisikan Gereja sebagai “sahabat”
Manusia itu memiliki “gerakan bersama” yang indah dan mempesona, namanya “gerakan membangun masyarakat dialogal”. Kita barangkali perlu lebih menegaskan paradigma baru, yaitu “Gereja adalah sahabat bagi semua”.
Dengan “semua” dimaksudkan pertama-tama tidak ada yang dikecualikan.
Namun demikian, eksistensi sebagai sahabat akan menjadi konkret, ketika Gereja hadir di mana-mana dan melayani mereka:
- yang menderita;
- yang terkena bencana alam;
- yang merupakan kurban ketidakadilan;
- yang berada dalam kesulitan;
- yang sedang mengalami jalan buntu dan dilanda keterpurukan.
Juga, mengembangkan kearifan budaya sendiri dan ambil bagian dalam membangun keadilan sosial. Tidak hanya itu.
Melainkan, Gereja juga menampilkan kesediaan untuk bekerja bersama, berpartisipasi aktif dalam merealisasikan program kerja konkret membangun societas. Seperti gerakan pelestarian lingkungan, pertanian organik, dan aneka gerakan kerakyatan lainnya dalam berbagai bidang.
– Aktivitas kolaboratif
Keindahan hidup manusia terletak pada ekspresi kebersamaannya. Sebuah kesendirian adalah kenaifan. Kebersamaan yang paling indah berada dalam ranah dialogal kehidupan, seperti aneka aktivitas “belajar bersama, berdiskusi, bergerak dan berkolaborasi”.
Aktivitas ini menandai kodrat keperdulian kita. Di “Tahun Politik” ini, umat Katolik diajak untuk memiliki keperdulian yang nyata dan sedapat mungkin diwujudkan secara efektif dalam berbagai kegiatan bersama masyarakat.
– Keprihatinan bersama
Ciri khas societas dialogal adalah menaruh keprihatinan bersama. Keadaban adalah perkara tata hidup bersama yang mengatasi perhitungan mayoritas minoritas.
Ketika disinyalir bahwa kita memiliki keprihatinan yang mendalam berkaitan dengan merosotnya keadaban publik di segala bidang, itu adalah perkara bersama.
Berbagai masalah yang timbul di bidang ekonomi, agama, hukum, kebudayaan, pendidikan, lingkungan hidup alami dan manusiawi yang dilihat sebagai akibat dari keburaman dunia politik bangsa adalah keprihatinan bersama.
– Mengokohkan fondasi prinsip kebenaran dan keadilan
Jika politik dimaknai sebagai upaya untuk menata kehidupan bersama, aktivitas berpolitik sesungguhnya adalah aktivitas dialogal.
Mustahil politik tanpa dialog. Tetapi, politik yang benar adalah aktivitas dialog dengan fondasi kokoh prinsip kebenaran dan keadilan. Sayang, prinsip-prinsip itu kerap dilindas.
Politik di “Tahun Politik” kerap dimaknai pragmatik, yaitu sekedar untuk menggapai kekuasaan. Dan, cara-cara menggapai kekuasaan ialah lewat konflik menang kalah.
– Societas saling membantu dalam keanekaragaman
Salah satu ungkapan “saling membantu” tidak mesti berupa sebuah bentuk uluran tangan belas kasih. Konsep dialogalitas menegaskan konsep komunikasi kepercayaan.
Ajaran Sosial Katolik menyebut konsep itu sebagai subsidiaritas. Orang kerap merasa terbantu, justru ketika mendapatkan kepercayaan.
Menjalani prinsip subsidiaritas berarti menghargai kemampuan setiap manusia, baik pribadi maupun kelompok untuk mengutamakan usahanya sendiri, sementara pihak yang lebih kuat siap membantu seperlunya.
Tidak hanya subsidiaritas, dalam societas dialogal, prinsip solidaritas juga sangat ditekankan. Solidaritas adalah kesetiakawanan untuk bersama-sama melihat persoalan, mencari dan merancang jalan keluarnya, melaksanakan dan mengevaluasi menurut tolok-ukur kesejahteraan bersama.
Prinsip solidaritas adalah kekuatan warga untuk mengorganisir diri menjadi daya gerak sosial, ekonomi dan politik.
Sudah menjadi bagian kehadiran bangsa Indonesia, bahwa bentuk-bentuk aktivitas solider sudah terungkap dalam hidup sehari-hari yang mengatasi sekat-sekat suku, daerah, tingkat pendidikan, dan lain-lain.
Konsep solidaritas yang dihidupi oleh masyarakat Indonesia kerap berpijak pada kearifan lokal. Hal yang sangat positif. Manusia kerap mengalami kesulitan mengembangkan dirinya, sebabnya terlalu bertumpu pada kekolotan doktrin kelompok.
Egoisme kelompoklah yang kerap menjadi penghalang terciptanya societas dialogal. Karena itu, kita perlu mempromosikan agar dikembangkan budaya alternatif yang memungkinkan kesejahteraan bersama, yaitu solidaritas.
– Cegah kenaifan memandang orang lain sebagai ancaman
Dewasa ini makin disadari betapa konkret ketegangan-ketegangan yang terjadi di dalam masyarakat.
Ketegangan ini dipicu oleh berbagai alasan, apakah itu perbedaan sosial ekonomi atau sekedar berbeda pilihan partai politik atau calon pemimpin. Ketegangan ini jangan dipandang sepele. Kita perlu mengusahakan “societas dialogal”, yang menegaskan pentingnya dialog.
– Dialogalitas adalah rasionalitas
Makna mendalam dialogalitas adalah rasionalitas. Artinya, ketika disposisi duduk bersama, saling mendengarkan dan berdialog dimungkinkan, terjadi gagasan-gagasan rasional yang menggarap seluk-beluk perbaikan kehidupan sehari-hari.
Rasionalitas merupakan poros pembangunan ruang publik yang menjadi salah satu elemen penting kesejahteraan bersama. Kebalikannya, ketika tidak ada dialog rasional, terjadi kenaifan. Barangkali baik bila kita mengingat Nota Pastoral tahun 2004:
Hidup bersama yang sehat dibangun di atas perimbangan tiga poros kekuatan yang sama-sama mengelola ruang publik, yakni Negara, Masyarakat Pasar, dan Masyarakat Warga. Masing-masing mempunyai landasan keberadaan serta aturan main yang berbeda.
Ketiga poros yang mengelola ruang publik ini bersifat hakiki tetapi sekaligus juga rawan. Di dalam sejarah bangsa kita, ternyata ketiga poros kekuatan penyelenggara ruang publik ini dibiarkan bergerak, hampir tanpa aturan.
Padahal kalau tidak ada keadilan, sebenarnya hukum tidak bisa ada. Pengurusan atau pengelolaan ketiga unsur ini tampak secara berkepanjangan diserahkan pada mekanisme pasar bebas yang tanpa etika.
Kesemrawutan interaksi di ruang publik ini makin runyam, karena dipicu oleh kekuatan tekno-kapital yang menguasai media massa.
Sementara itu, tidak ada strategi kebudayaan yang memperkuat modal sosial masyarakat yang dapat menciptakan keseimbangan dalam interaksi pengelolaan ruang publik.
Bukannya masing-masing poros menjalankan fungsi kontrol terhadap yang lain, sebaliknya terjadilah kolusi antara badan-badan publik dengan sektor bisnis.
Lagi dan lagi mereka yang menjadi korban tidak lain adalah komunitas- komunitas warga atau masyarakat pada umumnya (Nota 2004, 8-9).
– Dialogalitas adalah persahabatan yang mengatasi sekat-sekat
Bangsa Indonesia memiliki sejarah persahabatan para Pendirinya yang terpatri secara konkret dalam penerimaan Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Kesadaran ini perlu terus ditumbuh-kembangkan dalam hidup sehari-hari dalam aktivitas persahabatan tanpa pembatas dalam berbagai level kehidupan, mulai dari keluarga, grassroot, akademik-intelektual, maupun politik.
– Dalam dialogalitas, bersahabat berarti “menyeberang”, berkehendak baik, menginginkan berubah
Dari tahun ke tahun, Gereja Indonesia selalu melukiskan pengharapan bahwa masih ada banyak warganeragara yang berkehendak baik untuk mengusahakan perubahan. Pengharapan di masa depan merupakan produk dialog.
Keyakinan bahwa masih ada banyak orang yang berkehendak baik menumbuhkan kesadaran kita memiliki banyak sahabat.
Menjalin persahabatan hanya akan terjadi ketika orang melakukan “penyeberangan” berupa komunikasi yang menyapa, menyentuh, yang tak bertumpu pada kepentingan sendiri.
– Societas dialogal mempromosikan kebijakan non-diskriminatif
Hukum yang adil menegaskan tatanan baru hidup bersama, menepis segala kemungkinan diskriminatif terhadap yang lemah, kecil, terpencil.
Societas dialogal membuka segala kemungkinan partisipasi yang menjangkau keadilan bagi semua, keadilan yang tidak disempitkan dalam paradigma utilitarian, the greatest happiness for the greatest number.
Prinsip mayoritas-minoritas merupakan prinsip yang dalam ranah kehidupan bersama kita kerap menepikan peran-peran mereka yang lemah. Umat Katolik di mana pun sedang bertugas harus memiliki keberanian untuk mempromosikan kebijakan non-diskriminatif.
Artinya, societas yang adil tidak boleh difondasikan pada pengedepanan kelompok tertentu dan pengerdilan kelompok yang vulnerable (lemah).
Nota Pastoral 2004 mengingatkan kita akan hal ini.
Ketika masyarakat ditawari praksis “yang kuat yang menang”, Gereja memperlihatkan melalui perkataan dan perbuatan bahwa “yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir harus didahulukan”.
Gereja perlu terus-menerus, tanpa mengenal lelah, menyuarakan bahwa hukum yang adil harus berlaku untuk semua, dan tidak boleh memihak pada kelompok tertentu.
Inilah salah satu unsur terpenting penegakan hukum. Untuk itu struktur hukum harus melindungi kepentingan orang kecil, lemah, miskin dan tersingkir, melalui kebijakan-kebijakan publik. (Nota 2004, 18.1)
– Dalam dialogalitas, sahabat adalah “aku yang lain”
Prinsip persahabatan mengenal cara pandang bahwa orang lain sesungguhnya adalah “aku yang lain.”
Dalam cara pandang seperti itu, kecemasan orang lain adalah kecemasanku. Demikian juga kegembiraannya.
Indonesia saat ini berada di masa- masa sulit, karena sebagian orang menderita kekurangan makan secara mengenaskan, sebagian yang lain menghabiskan banyak dana, mengalami rupa-rupa penyakit karena terlalu banyak makan.
Ketika anak balita di sebuah perkampungan kecil di Cilincing Jakarta meregang perutnya karena keluarga tidak mampu membeli makanan, di seberang jalan lainnya di sebuah distrik pusat bisnis sebagian orang menghabiskan puluhan juta untuk program diet.
Diperlukan cara pandang bahwa mereka yang miskin, yang kekurangan makan sesungguhnya adalah “aku yang lain”, yang karenanya aku perlu bertindak memberi mereka makanan.
– Membangkitkan tanggungjawab bersama terhadap lingkungan hidup
Societas dialogal memandang ruang lingkup hidup manusia merupakan tanggungjawab bersama.
Artinya, kesadaran bahwa kerusakan lingkungan yang demikian hebat semestinya menjadi keprihatinan bersama yang lantas mendapat penjabaran tindak lanjut kebijakan-kebijakan yang efektif.
Bangsa kita kerap melalaikan pembelajaran lingkungan hidup. Mata terbelalak ketika terjadi banjir, longsor, dan berbagai bencana alam lainnya.
“Kebebalan umum” ini perlu terus-menerus diingatkan tanpa henti. Disamping perkara pembabatan hutan yang terus berlangsung, kerusakan lingkungan juga kerap diakibatkan oleh limbah-limbah dan sistem pembuangan sampah yang tidak ditangani dengan benar.
– Dialogalitas butuh bahasa yang merangkul
Dialogalitas membutuhkan bahasa yang merangkul. Dengan ”bahasa” tidak dimaksudkan sekedar tutur kata melainkan budaya, mentalitas, sikap-sikap negosiatif yang menyambut dan menghargai.
Bahasa yang demikian juga mengandaikan kepercayaan bahwa banyak orang memiliki kehendak yang baik dan tekun untuk mengupayakan tata hidup yang benar. Karena itu harapan, ajakan, dorongan diajukan oleh Gereja Indonesia untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama.
Pertobatan membutuhkan cetusan kreativitas dialogal untuk membangun tata hidup damai yang berkeadilan. Apa yang disebut sebagai dorongan pertama- tama memaksudkan komunikasi bahasa-bahasa yang memberi inspirasi bagi semua.
– Butuh kecerdasan dialogal, negosiatif
Fungsi kontrol societas dialogal menggarap perilaku keadaban publik secara efektif. Untuk itu diperlukan sebuah kecerdasan baru, kecerdasan dialogal. Halnya terealisir dalam apa yang disebut cara merasa, cara berpikir, cara bertindak, cara mempersepsi, cara berelasi dalam skema-skema baru.
Perbaikan keadaban publik membutuhkan skema-skema terobosan baru yang cerdas dalam berdialog, bernegosiasi.
– Berani menentang prinsip anarkhis, monolit, komunalistis (di dalamnya juga sistem hukum yang mempromosikan ke arah sana)
Kebijakan yang monolit, anarkis, dan komunalistis melawan hakekat societas dialogal. Monolit artinya mengajukan satu persepsi kebijakan yang menguntungkan institusi atau kelompok tertentu sedemikian rupa sehingga melindas pluralitas.
Sementara, anarkis memaksudkan benih-benih pemicu kekerasan dan kengawuran. Komunalistis menunjuk kepada perilaku yang mengedepankan kelompok sendiri dengan menyisihkan siapa pun yang bukan kelompoknya.
Halnya bisa mengenai suku, ras, asal-usul, tingkat ekonomi, agama, maupun preferensi aliran politik tertentu. Aneka perda-perda agamis, misalnya, dengan mudah akan terjebak ke arah sana, selain de facto merupakan bentuk-bentuk manipulatif terhadap Konstitusi.
– Dialogalitas mempromosikan budaya damai
Emblem terpenting dari societas dialogal adalah terciptanya dialog perdamaian, sebuah dialog yang meletakkan di atas segalanya prinsi-prinsip perdamaian. Gereja menggarisbawahi pentingnya perkara ini.
Dialog tentang perdamaian tidak boleh disimplifikasi sebagai realitas tidak ada konflik. Perdamaian memaksudkan pertama- tama realitas kondusif yang melukiskan kerjasama, solidaritas, saling membantu dalam kesulitan, saling menanggung beban kehidupan yang tidak ringan.
Dialog perdamaian merupakan sebutan untuk kreativitas partisipatif dan efektif dari semua orang untuk menggarap tata hidup bersama.
– Dalam soceitas dialogal diajukan validitas kesepakatan
Kesepakatan bahasa merupakan elemen penting membangun dialogalitas. Tentang norma-norma, dialog mesti sampai pada kesepakatan yang valid perihal sincerity, bahwa ketidakjujuran merupakan keburukan.
Juga, bahwa korupsi merupakan tindakan yang melukai tata kehidupan bersama.
– Kesadaran punya “gawe” bersama
Societas dialogal tidak mengandaikan sebuah “panggung pertunjukkan” aktivitas dialog seperti yang dijalankan dalam aktivitas formal.
Esensi dari makna societas dialogal terletak pada keseharian pengalaman hidup, kesadaran bahwa Indonesia adalah rumah kita sendiri, keluarga kita, tanggung jawab kita, juga “gawe” (karya) kita bersama.
Umat Katolik siapa pun harus memiliki kesadaran handarbeni (rasa memiliki yang mendalam) akan tata kehidupan bangsa Indonesia. Jangan sampai acuh tak acuh terhadap pengalaman hidup bangsa ini.
Jatuh bangunnya bangsa ini menjadi pengalaman hidup kita sebagai umat Katolik. Dari sebab itu, Gereja harus mencari cara-cara baru untuk membangkitkan kesadaran punya “gawe” bersama masyarakat Indonesia pada umumnya. (Selesai)