Beberapa hari yang lalu, kawan-kawan difabel dari Bantul datang ke rumah kami. Mereka membawa ikan nila hasil pancingan dan kemudian memasaknya secara beramai-ramai. Kunjungan mereka memberikan kesan tertentu kepada anak kami, Luce, yang baru berusia 4 tahun. Beberapa hari selanjutnya Luce bertanya kepada saya,” Ayah, teman ayah kemarin kok sakit semua to?” Saya menatap wajahnya dengan penuh tanda tanya, “Sakit gimana, nak?” Luce langsung menjawab,“Lha kemarin itu ada yang pakai kursi roda, ada yang nggak punya kaki, ada yang pakai tongkat, ada yang tangannya peyok, ada yang jalannya ngesot”
Saya tersenyum dan menjawab,“Teman ayah itu memang sakit nak. Mereka sakit hati, tetapi bukan pada dirinya. Masyarakat yang ada selama ini memandang mereka secara negatif. Kesempatan dan kepercayaan tidak pernah diberikan kepada mereka. Mereka sakit hati.” Saya meneruskan ucapanku,” Jika Luce sudah besar, bergaulah dan sapalah mereka ya, nak. Sama seperti terhadap teman-teman yang lain. Mereka juga bisa bercanda, memeluk dan bahkan menangis. Cobalah untuk memberikan kesempatan dan kepercayaan. Sama seperti ayah memberikan kesempatan dan kepercayaan padamu.” Cukup sulit untuk menjelaskan hal-hal seperti ini kepada anakku yang masih balita. Ada banyak ungkapan, kata, dan istilah yang belum tentu dimengerti oleh anakku. Namun satu pesan yang pasti adalah saya mendorong anak saya untuk menghormati dan bergaul secara wajar dengan mereka.
Difabel Vs Cacat
Difabel, demikian para aktivis sosial di Jogja menyebutnya. Sebuah akronim dari bahasa Inggris, different ability-people atau orang dengan kemampuan berbeda. Lebih dari sepuluh tahun terakhir ini, kata tersebut banyak dipopulerkan sebagai pengganti kata penyandang cacat. Sebuah eufimisme (penghalusan ungkapan) yang didasarkan pada realita bahwa setiap manusia diciptakan berbeda. Dengan demikian, yang ada sebenarnya hanyalah sebuah perbedaan, bukan kecacatan. Istilah ini merupakan salah satu upaya untuk merekontruksi pandangan, pemahaman, dan persepsi masyarakat umum pada nilai-nilai sebelumnya. Nilai umum tersebut memandang seorang difabel sebagai orang yang tidak normal. Memiliki kecacatan dipandang sebagai sebuah kekurangan dan ketidakmampuan.
Istilah difabel digunakan sebagai salah satu usaha untuk merubah persepsi dan pemahaman masyarakat bahwa setiap manusia diciptakan berbeda. Seorang difabel hanyalah seseorang yang memiliki perbedaan kondisi fisik. Mereka mampu melakukan segala aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda. Pemakaian istilah difabel memiliki nilai lebih humanis. Ini menjadi suatu usaha untuk mendorong eksistensi dan peran difabel dalam lingkungan mereka serta menghapuskan segala bentuk diskriminasi dalam masyarakat.
Photo credit: www.shutterstock.com
kalau boleh jujur, sejak kecil saya ingin sekali bekerja bagi difabel..
namun saya tak punya teman yang bekerja di LSM..
mohon infonya ke email saya..
terimakasih..