Puncta 08.05.22
Minggu Paskah IV.
Hari Minggu Panggilan
Yohanes 10: 27-30
SUDAH menjadi tradisi setiap Hari Minggu Panggilan ada pameran atau promosi hidup bakti dari para biarawan-biarawati.
Banyak paroki mengundang pastor, bruder, suster atau frater untuk syering panggilan. Aneka macam kegiatan dibuat agar benih-benih panggilan tertanam dalam diri anak-anak muda.
Ada yang namanya Aksi Panggilan, Live in Panggilan, pameran panggilan, sharing panggilan dan lain sebagainya.
Bahkan ada yang mendandani anak-anak kecil dengan baju-baju biara atau tarekat, juga ada yang berdandan layaknya uskup.
Mereka diarak masuk gereja, diberi tempat khusus dan juga ada hadiah-hadiah menarik.
Ada banyak cara dan kreativitas yang dibuat untuk menarik mereka menjadi imam, bruder dan suster,
Semua itu baik sebagai suatu usaha untuk menawarkan sebuah bentuk panggilan hidup.
Tetapi yang sering dilupakan adalah bagaimana menghidupi panggilan itu sehingga dapat menjadi sebuah keteladanan nyata.
Inilah yang dikritik tajam oleh Paus tentang kehidupan orang Katolik pada umumnya. Tapi kritikan itu bisa juga ditujukan kepada para gembalanya.
Paus menyebut, “lebih baik menjadi seorang ateis daripada menjadi seorang Katolik, tetapi menjalani kehidupan ganda alias “bermuka dua.”
Dalam homilinya Paus mengatakan, “Orang bisa saja sangat Katolik, tak pernah melewatkan misa, menjadi bagian dari komunitas gerejawi, tapi hidupnya tidak mencerminkan sebagai orang Katolik.”
Kalau itu sebagai autokritik bagi kaum berjubah, boleh juga dikatakan; pastor bruder suster bisa sangat saleh, tak pernah melewatkan misa, punya kesibukan pelayanan yang bejibun, jadi selebritas di medsos, tapi hidupnya tidak mencerminkan sebagai gembala yang baik.
Sang Gembala Utama, Tuhan Yesus bersabda, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku.”
Jika kita menghidupi panggilan yang benar, domba-domba pasti senang datang untuk mendengarkan suara sang gembala.
Gembala yang baik mengenal domba-dombanya. Ia hidup dan hadir di tengah-tengah mereka. Ia menjadi tempat yang aman bagi semua dombanya terlebih yang lemah, tersingkir dan tak diperhatikan.
Jika kehidupan para gembala itu baik dan menjadi teladan, pastilah para domba akan mengikutinya. Namun jika apa yang dikatakan Paus itu benar bahwa orang lebih suka “bermuka dua” maka domba-domba pasti tidak akan mengikuti gembalanya.
Mereka tidak menjadi teladan malah menjadi batu sandungan.
Tandanya jika kita menghidupi panggilan dengan baik, persis seperti apa yang dikatakan Yesus; suara gembala akan didengarkan, gembala sungguh mengenal dombanya, dan para domba mengikuti teladan hidup gembalanya.
Pada Minggu Panggilan ini, kita perlu merefleksi sungguh sejauhmana kita menghidupi panggilan kita sebagai gembala.
Bukan pameran panggilan yang diutamakan, tetapi keteladanan hiduplah pewartaan yang sebenarnya.
Pertanyaan reflektif: apakah hidupku sebagai gembala, pelayan domba sungguh patut diteladani ataukah malah menimbulkan skandal bagi umat?
Burung bangau terbang di udara,
Hinggap sebentar di pucuk cemara.
Jadi pastor jangan bermuka dua,
Hidup suci tapi hanya pura-pura.
Cawas, belajar dari para domba…