PADA 9 April 2018 dilaunching apostolik (pewartaan) baru dari Paus Fransiskus berjudul : “Gaudete et Exsultate” (Bersukacita dan Bergembiralah).
Apostolik setebal 81 halaman ini didasarkan pada kutipan Injil Mateus Bab 5 ayat12: “Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga.”
Paus Fransiskus mengambil Khotbah Yesus di Bukit ini sebagai seruan bagi orang modern, dalam mengusahakan kekudusan dalam hidup sehari-hari. Hal yang tampaknya muskil dilakukan di zaman sekarang.
Kekudusan seakan sesuatu yang hanya bisa terjadi pada zaman tempoe doeloe, masa kekristenan purba. Tetapi Paus pertama dari Sarikat Yesus yang paham betul gelisahnya orang modern dan berjaraknya kita dengan kekudusan, menekankan bahwa panggilan kekudusan ditujukan kepada semua orang.
“Jangan takut akan kekudusan. Hal ini tidak akan menghilangkan tenaga, vitalitas maupun kegembiraanmu”.
Lalu bagaimana kita orang modern menanggapi panggilan kepada kekudusan itu?
Artikel ini sebagian merujuk pada tulisan Pastor James Martin SJ berjudul: “Top Five Takeaways from ‘Gaudete et Exsultate’ – sebagaimana dimuat dalam laman www.americamagazine.org.
Pastor James Martin SJ merupakan imam Jesuit yang terkenal dengan beberapa buku bestsellernya. Dia menjalankan panggilan terlambat, terpanggil setelah sudah kerja beberapa tahun di General Electric sebagai manajer.
Menurut James Martin, ada lima poin utama dari ensiklik ini.
Pertama, kekudusan berarti menjadi diri Anda sendiri
Paus Fransiskus menawarkan kepada kita banyak contoh kehidupan suci dalam seluruh dokumen ini: St. Theresia dari Lisieux, Karmelit Prancis yang menemukan kekudusan dalam melakukan tugas-tugas kecil; St. Ignatius dari Loyola, pendiri Yesuit yang mencari Tuhan dalam segala hal; St. Philip Neri, pendiri Oratorians yang terkenal karena selera humornya.
Paus Fransiskus menekankan bahwa kekudusan bukanlah panggilan eksklusif untuk segelintir orang atau mereka yang memiliki posisi khusus dalam Gereja, seperti imam atau biarawan/biarawati, melainkan panggilan universal untuk semua umat beriman. Kekudusan bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari oleh siapa pun, di mana pun mereka berada, dan apa pun kondisi mereka. Paus mendorong semua orang untuk menemukan kekudusan dalam tindakan kecil sehari-hari yang dilakukan dengan kasih, baik sebagai orang tua, pekerja, tetangga, atau teman.
Paus Fransiskus mengatakan, orang-orang kudus berdoa bagi kita dan memberikan teladan mengenai bagaimana kita hidup. Akan tetapi, kita tidak perlu menjadi “penggalan” atau “salinan” dari orang-orang kudus tersebut. Kita hanya perlu ‘menjadi diri kita sendiri’.
Kedua, kehidupan sehari-hari bisa mengarahkan kita kepada kekudusan
Kata Paus Fransiskus, kita tidak perlu menjadi uskup, imam, atau anggota ordo religius untuk bisa menjadi orang kudus.
Setiap orang dipanggil untuk menjadi orang kudus -sesuai dengan peran pribadinya masing-masing. Misalnya sebagai ibu atau ayah, seorang pelajar, pengacara, guru atau petugas kebersihan.
Paus menyebut mereka ini sebagai “Saints next door“. Bagi Paus, yang perlu kita lakukan adalah menjalani hidup kita dalam cinta dan memberi kesaksian tentang Tuhan dalam semua yang kita lakukan.
Menjadi orang kudus itu bukan berarti harus melakukan tindakan luarbiasa. Contoh yang diberikan Paus Fransiskus adalah orangtua yang penuh kasih membesarkan anak-anak mereka.
Pesan Paus adalah agar kita dapat melihat kehidupan sendiri sendiri sebagai misi. Maka kita telah mulai bergerak menuju kekudusan.
Ketiga, menghindari Gnostisisme dan Pelagianisme
Gnostisisme berasal dari kata Yunani “gnosis”, berarti “mengetahui”. Dalam sejarah Gereja, Gnostisisme adalah ajaran sesat yang mengatakan bahwa yang paling penting adalah “apa yang kita ketahui”. Jadi hanya menekankan pada intelektual yang benar, bukan pada tindakan yang benar.
Gnostisisme menggoda orang untuk berpikir bahwa iman seharusnya bisa dipahami dan kemudian lalu menuntut orang lain mengikuti cara berpikir mereka.
Sedangkan Pelagianisme berasal dari Pelagius, seorang teolog abad ke-5. Pelagianisme adalah paham yang mengatakan bahwa kita dapat mencapai keselamatan kita melalui upaya kita sendiri.
Pelagianisme membuat orang menjauh dari kerendahan hati; menempatkan diri di atas orang lain, dan memberikan sedikit ruang untuk peranan rahmat Tuhan.
Keempat, bersikap baik
Paus memberikan nasihat praktis bagi masyarakat modern dalam menjalani kehidupan menuju kekudusan.
“Jangan bergosip, hentikan sikap memberi penilaian dan, berhentilah bersikap kejam terhadap orang lain.”
Baik offline maupun online.
Paus Fransiskus juga menyoroti beberapa karakteristik kekudusan kontemporer, termasuk kesabaran, kesetiaan, rasa humor, serta kemampuan untuk hidup dalam komunitas dengan penuh kasih. Paus mengajak umat Katolik untuk menghindari sikap apatis dan individualisme, sebaliknya, mereka harus terlibat aktif dalam kehidupan masyarakat dan membela yang tertindas.
Kelima, ucapan bahagia
Paus Fransiskus sendiri mengatakan: “Berbahagialah orang yang berbelas kasih.” Belas kasihan sebagai salah satu tema sentral kepausannya, memiliki dua aspek yakni membantu dan melayani orang lain, tetapi juga memaafkan dan memahami.
Sabda Bahagia bisa menjadi pegangan menjalankan kehidupan menurut kekudusan.
Paus Fransiskus menggarisbawahi pentingnya Delapan Sabda Bahagia (Beatitudes) sebagai pedoman praktis untuk hidup dalam kekudusan. Dia menyebutnya sebagai “kartu identitas” seorang Kristen. Beatitudes, yang diucapkan oleh Yesus dalam Khotbah di Bukit, menekankan nilai-nilai seperti kerendahan hati, belas kasihan, kelembutan, lapar dan haus akan kebenaran, serta penganiayaan demi kebenaran. Menurut Paus, mengikuti Beatitudes berarti menjalani hidup yang berlawanan dengan arus utama, mengutamakan kasih, kebenaran, dan perdamaian.nurut kekudusan.