Papabili Konklaf 2025, Siapa Sosok Paus Ideal Berikutnya (15)

0
138 views
Para Papabili dalam Konklaf Mei 2025 (ki-ka): Kardinal Parolin dari Italia, Kardinal Tagle dari Filipina, Kardinal Czerny dari Canada dengan latar belakang keluarga dari Czechoslovakia, dan Kardinal Kevin Farrel dari Amerika namun lahir dan besar di Irlandia. (Ist)

ISTILAHNYA adalah papabili. Artinya, nama-nama sejumlah Kardinal yang diperkirakan sangat berpotensi bisa terpilih menjadi Paus baru dalam sesi Konklaf 2025 mendatang.

Tetap rahasia dan tertutup

Isi “daleman” Konklaf itu sendiri tidak pernah bisa kita ramalkan atau prediksi nantinya akan berjalan seperti apa,. Namun, tetap menarik juga menilik nama-nama tenar di panggung papabili ini.

Harus dicatat bahwa dalam Konklaf sudah semestinya tidak ada “persaingan” internal di antara para Kardinal Electores (pemilih Paus baru) untuk menggolkan masing-masing jago favoritnya. Namun juga tak menampik kesan umum bahwa nantinya di forum Konklaf ini akan ada semacam “kubu-kubu politik” di antara para Kardinal Electores tersebut.

Beberapa kubu aliran “politik” Gereja

Kita sebut saja sejumlah kubu “aliran politik” itu berdasarkan sikap dan pandangan mereka terhadap postur Gereja Katolik dan ajaran-ajaran dogmatiknya.

Ilustrasi gambaran peta “pertarungan politik” para Kardinal berbasis kecenderungan sikapnya terhadap ajaran Gereja yang bisa saja terjadi di sesi-sesi persidangan Konklaf, Mei 2025. (reddit.com)
  1. Konservatif atau Tradisionalis yang ingin menjadikan Gereja Katolik dalam posturnya yang grandeur –penuh kemegahan- disertai keukeuh tetap mempertahankan ajaran-ajaran baku yang sifatnya dogmatis dan tidak bisa diubah-ubah dan ditafsirkan di luar konteksnya.
  2. Moderat atau Progresif yang ingin selalu Gereja Katolik mampu menjawab tantangan dan tuntutan zaman kontemporer sesuai kebutuhan dari dalam  (baca: Gereja harus menyesuaikan diri) dan tuntutand dari luar (baca: ekspektasi umat dan masyarakat).
  3. Sedikit Liberal atau Progresif yakni para Kardinal yang masih sedikit “malu-malu” untuk membawa Gereja menjadi lebih “fleksibel” dengan tuntutan dan tantangan zaman.
  4. Sedikit Konservatif atau Tradisional yakni para Kardinal yang masih tetap ingin keukeuh menjaga dan mempertahankan marwah ajaran-ajaran dogmatis baku Gereja, tapi juga senang “tengok” sana-sani kepikiran untuk juga mau menyesuaikan diri dengan situasi baik di dalam maupun di luar gereja.

Siapa saja papabili?

Berbagai media arus utama besar dunia merilis nama-nama Kardinal yang masuk dalam kategori papabili ini. Kita sebut saja nama-nama mereka sebagaimana dirilis oleh media besar internasional.

Berikut adalah daftar beberapa kardinal yang disebut-sebut sebagai kandidat kuat untuk menjadi Paus berikutnya setelah wafatnya Paus Fransiskus, lengkap dengan latar belakang dan pandangan mereka:

1. Kardinal Pietro Parolin (70)

Kardinal Parolin berasal dari Italia. Kardinal Parolin memang punya profil kuat: jabatannya sekarang Sekretaris Negara Vatikan (baca: Menlu Vatikan). Ia seorang diplomat ulung, dekat dengan struktur kekuasaan Gereja. Tapi justru itu bisa jadi pedang bermata dua -bisa dianggap terlalu “Roma”, terlalu “politik”.

Ia pasti juga sangat menyadari pesan penting di bali sebuah ungkapan pepatah berbahasa Italia lama yang mencerminkan ketidakpastian dalam proses pemilihan paus. Pepatah lama Italia itu berbunyi: “Chi entra papa in conclave, ne esce cardinale Siapa yang masuk Konklaf sebagai Paus, akan keluar sebagai Kardinal.” Artinya sederhana, siapa pun yang berambisi ingin menjadi Paus, maka usai Konklaf berakhir ia masih tetap berstatus Kardinal. Jadi pesan moralnya, jangan pernah berambisi menjadi Paus.

Dari 266 paus sebelumnya, sekitar 213 berasal dari Italia. Namun, meskipun sudah 40 tahun tidak ada Paus dari Italia, pergeseran pusat pengaruh dalam hierarki Gereja yang kini tak lagi berpusat pada Italia dan Eropa bisa jadi menandakan bahwa peluang bagi seorang paus Italia saat ini tidak sebesar dulu.

2. Kardinal Luis Antonio Tagle (67)

Ia berasal dari Filipina dan sekarang masih menjabat Prefek Dikasteri Evangelisasi Vatikan. Gereja Katolik sangat berpengaruh di Filipina dengan komposisi 80% warga penduduknya adalah Katolik. Saat ini, Filipina membawa lima orang Filipino duduk dalam Dewan Kardinal -jumlah Kardina Filipino terbanyak dalam sejarah Filipina. Komposisi “politis” ini bisa menjadi kekuatan lobi signifikan jika para Kardinal Filipino dan lainnya ikut mendukung Kardinal Tagle.

Karena supel dan keramahannya, Kardinal Tagle sering dijuluki “Fransiskus dari Asia”; juga sering dipanggil dengan nama julukannya yang populer “Chito”. Ia punya rekam jejak pastoral kuat dan perhatian pada isu-isu sosial. Ia termasuk sosok beraliran moderat. Ia tegas menentang aborsi dan euthanasia; selalu menyerukan belas kasih bagi kelompok terpinggirkan seperti LGBT dan ibu tunggal. Ia memiliki pengalaman pastoral selama puluhan tahun. Artinya ia aktif sebagai pemimpin Gereja di tengah umat, bukan sebagai diplomat Vatikan atau ahli Hukum Kanonik yang bekerja di balik tembok biara.

Kardinal Tagle menentang aborsi; menyebutnya sebagai “bentuk pembunuhan” – pandangannya ini sungguh sangat sejalan dengan posisi ajaran moralitas kehidupan Gereja bahwa kehidupan dimulai sejak pembuahan. Ia juga menolak euthanasia.

Namun, pada tahun 2015 ketika menjabat sebagai Uskup Agung Manila, Kardinal Tagle menyerukan agar Gereja mengevaluasi kembali sikapnya yang “keras” terhadap kaum homoseksual, orang-orang yang bercerai, dan ibu tunggal. Ia mengatakan bahwa kekerasan sikap di masa lalu telah menyebabkan luka yang dalam dan membuat orang merasa “dicap”, padahal setiap individu pantas mendapat belas kasih dan penghormatan.

Nama Kardinal Tagle sudah disebut-sebut sebagai calon Paus sejak Konklaf 2013 yang namun akhirnya memilih Fransiskus. Ketika ditanya satu dekade lalu bagaimana ia menyikapi kemungkinan dirinya menjadi paus, ia pun menjawab: “Saya menganggapnya seperti lelucon. Lucu saja.”

3. Kardinal Fridolin Ambongo Besungu (65)

Ia beradal dari Republik Demokratik Congo (RDK), Afrika Tengah. Sekarang masih menjabat Uskup Keuskupan Agung Kinshasa. Ia telah menjabat Uskup Keuskupan Agung Kinshasa selama tujuh tahun dan diangkat menjadi Kardinal oleh Paus Fransiskus. Kardinal Ambongo dikenal sebagai seorang konservatif budaya. Ia menentang pemberkatan bagi pasangan sesama jenis dan menyatakan bahwa “persatuan antara sesama jenis bertentangan dengan norma budaya dan secara intrinsik jahat”.

Meski Kristen merupakan agama mayoritas di RDK, umat Kristen di sana kerap menghadapi kekerasan dan penganiayaan dari kelompok radikal dari komunitas agama berbeda. Dalam konteks ini, Kardinal Ambongo dipandang sebagai pembela berani dan vokal bagi Gereja dan umatnya. Namun, dalam wawancara tahun 2020, ia juga menunjukkan semangat toleransi antaragama: “Biarkan Protestan menjadi Protestan dan Muslim menjadi Muslim. Kita akan bekerja sama dengan mereka. Tapi setiap orang harus menjaga identitasnya masing-masing.”

Pernyataan ini mencerminkan pendekatan dialog dan koeksistensi yang moderat, tetapi bisa juga menimbulkan pertanyaan di antara sebagian kardinal—apakah ia cukup menghidupi semangat misi Katolik yang ingin menyebarkan Injil ke seluruh dunia? Kardinal Ambongo mewakili suara Gereja yang tumbuh dalam penderitaan dan ketangguhan

4. Kardinal Peter Turkson (76)

Ia berasal dari Ghana, Afrika. Profil Kardinal Turkson ini kompleks dan menarik; merupakan perpaduan antara konservatisme moral, keterbukaan sosial tertentu, dan pengalaman global.

Ia merupakan Kardinal pribumi pertama dari negara Afrika yang diangkat tahun 2003 oleh Paus Yohanes Paulus II. Kalau saja sampai terpilih jadi Paus baru, maka ia akan menjadi Paus Afrika pertama dalam 1.500 tahun. Seperti Kardinal Ambongo dari RDK di atas, ia pernah menyatakan dirinya tidak menginginkan jabatan itu. “Saya tidak yakin ada orang yang benar-benar bercita-cita menjadi Paus,” ujarnya kepada BBC pada tahun 2013.

Ketika ditanya apakah Afrika memiliki alasan kuat untuk menyediakan Paus berikutnya berdasarkan pertumbuhan Gereja di benua tersebut, ia menjawab bahwa pemilihan Paus seharusnya tidak didasarkan pada statistik, karena “pertimbangan semacam itu justru bisa memperkeruh keadaan.”

Ia dulunya seorang musisi pemain gitar yang mumpuni. Seperti banyak Kardinal dari Afrika, ia cenderung konservatif. Namun, ia menentang kriminalisasi hubungan sesama jenis di sejumlah negara Afrika, termasuk tanah kelahirannya Ghana.

Dalam wawancara dengan BBC tahun 2023, saat Parlemen Ghana membahas RUU yang memberlakukan hukuman berat bagi komunitas LGBTQ+, Turkson menyatakan homoseksualitas tidak seharusnya diperlakukan sebagai pelanggaran hukum.

5. Kardinal Peter Erdo (72)

Ia berasal dari Hungaria, Eropa Timur dan sekarang masih menjabat Uskup Keuskupan Agung Budapest. Ia berpandangan konservatif, terutama soal migrasi dan keluarga. Sudah menjadi Kardinal sejak usia 51 tahun, Kardinal Peter Erdo sangat dihormati di kalangan Gereja di Eropa, setelah dua kali memimpin Dewan Konferensi Waligereja Eropa dari tahun 2006–2016.

Sebagai Uskup Keuskupan Agung Budapest Hongaria, Kardinal Erdo tumbuh di dalam keluarga Katolik di bawah rezim komunis. Ia dianggap kandidat yang potensial dan memainkan peran penting dalam dua kunjungan Paus Fransiskus ke Hungaria tahun 2021 dan 2023; ambil bagian dalam konklaf yang memilih Paus Fransiskus dan Paus Benediktus XVI. Pandangan konservatifnya tentang keluarga mendapat sambutan sebagian kalangan Gereja. Ia berhasil mencari keseimbangan dalam negeri Hungaria ketika demokrasi iliberal dipraktikkan oleh pemerintahan di Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban. Selama krisis migran di Eropa tahun 2015, ia menyatakan bahwa Gereja tidak akan menampung para migran karena dianggap setara dengan perdagangan manusia.

Papabili Konklaf 2025 (ki-ka): Kardinal Fridolin Ambongo Besungu dari Republik Demokratik Congo, Kardinal Angelo Schola dari Italia, Kardinal Peter Erdo dari Hungaria, dan Kardinal Peter Kodwo Appiah Turkson dari Ghana. (Ist)

6. Kardinal Reinhard Marx (71)

Ia berasal dari Jerman dan tokoh penting di balik kegiatan reformasi tata keuangan Vatikan. Sampai sekarang masih menjabat Uskup Keuskupan Agung München- Freising. Ia pernah dipilih menjadi penasihat ketika Paus Fransiskus terpilih tahun 2013. Selama satu dekade, ia memberi nasihat kepada Paus mengenai reformasi Gereja dan hingga kini masih memimpin reformasi keuangan Vatikan. Ia telah menyuarakan pendekatan yang lebih inklusif terhadap kaum homoseksual dan transgender dalam ajaran Katolik.

Tahun 2021, ia menawarkan pengunduran diri karena kegagalan serius dalam menangani kasus pelecehan seksual anak di Gereja Katolik Jerman. Pengunduran diri itu ditolak oleh Paus Fransiskus. Dua tahun lalu, ia mundur dari Dewan Kardina yang oleh masyarakat Katolik di Jerman dianggap sebagai kemunduran dalam karier gerejaninya.

7. Kardinal Scola (83)

Ia adalah Uskup Emeritus Keuskupan Agung Milan, Italia. Munculnya kembali nama Kardinal Angelo Scola menjelang Konklaf 2025 menambah rumor “pertarungan” ideologis dalam sesi-sesi sidang memilih Paus baru. Ini mengingat dia nyaris terpilih pada Konklaf tahun 2013. Meskipun kini usianya sudah di atas 80 tahun dan karena batasan umur ini itu tidak memenuhi syarat untuk memberikan suara, namun ia tetap boleh dipilih meskipun hal itu sangat jarang terjadi dalam konklaf modern.

Peluncuran bukunya tentang isu usia lanjut dengan kata pengantar Paus Fransiskus terasa simbolis -seperti alih tongkat estafet komando pemerintahan Gereja.  Ucapan Paus Fransiskus bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari sesuatu yang baru, mencerminkan eskatologi Kristen inti, tetapi juga secara halus memperkuat refleksi Scola yang mungkin membentuk citranya secara positif.

8. Kardinal Marc Ouellet  (80)

Ia berasal dari Canada, meski lahir dan leluhur keluarganya berasal dari bekas negara Czechoslovakia. Ia pernah menjadi calon potensial menjadi Paus saat Konklaf tahun 2005 dan 2013.

Selama bertahun-tahun, ia memimpin Dikasteri untuk Uskup Vatikan yang bertanggungjawab memilih calon uskup di seluruh dunia. Oleh karena itu, ia memainkan peran sangat penting dan membentuk dalam proses seleksi hierarki Gereja Katolik masa depan. Sebagai seorang oktogenarian -kaum lansia berumur lebih dari 80 tahun- Kardinal Ouellet mungkin tidak akan ikut dalam Konklaf itu karena faktor usia dan ini menjadi hambatan berpeluangnya terpilih.

Kardinal Ouellet dipandang konservatif dalam konteks bertentangan melawan pandangan modern. Ia sangat mendukung pemeliharaan prinsip selibat para imam. Juga menentang penahbisan perempuan sebagai imam, meskipun ia menyerukan peran yang lebih besar bagi perempuan dalam menjalankan Gereja Katolik; dengan mengatakan bahwa “Kristus adalah laki-laki, sementara Gereja adalah perempuan.”

Kardinal Ouellet memiliki kedalaman pengalaman dalam mengelola pemimpin Gereja dan mempertahankan tradisi konservatif, namun juga menunjukkan keterbukaan untuk memperbarui peran perempuan.

Para papabili berikutnya (ki-ka): Kardinal March Ouellet dari Canada, Kardinal Robert Sarah dari Ghana, Kardinal Prevost dari Amerika, dan Kardinal Rheinhard Marx dari Jerman. (Ist)

9. Kardinal Robert Prevost (69)

Ia berasal Chicago, Amerika Serikat. Dua tahun lalu, Paus Fransiskus memilihnya untuk menggantikan posisi dan jabatan yang dipegang Kardinal Marc Ouellet sebagai Prefek Dikasteri untuk Uskup di Vatikan. Paus Fransiskus juga memberinya tanggungjawab penting dalam memilih generasi uskup berikutnya di seluruh dunia.

Kardinal Prevost menghabiskan bertahun-tahun sebagai misionaris di Peru sebelum akhirnya diangkat menjadi Uskup agung di sana. Ia bukan hanya dikenal sebagai orang Amerika, tetapi juga sebagai mantan pemimpin Komisi Kepausan untuk Amerika Latin – memberinya jangkauan dan pengalaman lintas benua yang tidak dimiliki banyak kardinal lain.

Kardinal Prevost dipandang reformis. Di usia 69 tahun, sebagian mungkin menganggapnya masih terlalu muda untuk menjadi Paus; terutama jika keinginan para Kardinal adalah memilih sosok yang bersifat transisi atau jangka pendek. Namun, masa jabatannya sebagai Uskup di Peru sempat dibayangi oleh tuduhan bahwa ia sengaja mau menutupi kasus-kasus pelecehan seksual, tuduhan yang dibantah oleh keuskupannya. Kardinal Prevost menghadirkan profil global, dengan akar pastoral dan misioner, serta posisi kunci di dalam struktur Vatikan.

10. Kardinal Robert Sarah (79)

Ia berasal dari Ghana, Afrika. Ia sangat disukai oleh kalangan konservatif Gereja, karena keteguhannya pada doktrin dan liturgi tradisional. Ia sering dipandang sosok berseberangan dengan kecenderungan reformis Paus Fransiskus. Putera seorang pemetik buah, Sarah menjadi uskup agung termuda di usia 34 tahun ketika diangkat oleh Paus Yohanes Paulus II sebagai prelatus Keuskupan Agung Conakry, Guinea. Ia pensiun tahun 2021 dari jabatannya sebagai kepala Dikasteri Liturgi Vatikan – lembaga Tahta Suci yang mengawasi tata ibadat Gereja Katolik di seluruh dunia.

Meskipun tidak dianggap sebagai kandidat favorit dalam pemilihan Paus kali ini, Kardinal Sarah bisa menarik dukungan kuat dari para Kardinal konservatif yang mendambakan kembalinya pendekatan teologis dan liturgis yang lebih tradisional. Kardinal Sarah mewakili suara yang jelas dan berani dari kubu konservatisme Katolik global,sekaligus membawa latar belakang Afrika yang kuat dan otentik.

Papabili dari Italia dan lama menjadi misioanris di Yerusalem: Kardinal Pierbattista Pizzaballa (60).

11. Kardinal Pierbattista Pizzaballa (60)

Ia berasal dari Italia. Ditahbiskan sebagai imam di Italia pada usia 25 tahun, Pierbattista Pizzaballa pindah ke Yerusalem sebulan kemudian dan telah tinggal di sana sejak saat itu. Lima tahun lalu, Paus Fransiskus mengangkatnya sebagai Patriark Latin Yerusalem, dan kemudian mengangkatnya menjadi Kardinal. Pizzaballa sering menyebut Yerusalem sebagai “jantung kehidupan dunia ini”.

Sesama Kardinal kemungkinan besar terkesan akan pemahamannya yang mendalam tentang masyarakat Israel dan Palestina, serta situasi perang di Gaza. Keberadaannya di tanah yang penuh ketegangan menjadikannya saksi sekaligus pemimpin spiritual yang memahami kompleksitas perjumpaan antariman dan konflik geopolitik.

Namun, usianya yang masih relatif muda dan pengalamannya yang belum lama sebagai Kardinal bisa menjadi faktor penghambat. Selain itu, kedekatannya dengan Paus Fransiskus bisa menjadi kekurangan di mata para kardinal yang menginginkan arah baru bagi Gereja pasca Fransiskus.

12. Kardinal Michael Czerny (78)

Ia berasal dari Canada dengan sejarah leluhurnya dari Czechoslovakia. Meskipun lahir di bekas negara Cekoslowakia, keluarganya sudah pindah ke Kanada saat ia baru berusia dua tahun.

Ia diangkat menjadi Kardinal oleh Paus Fransiskus dan -seperti almarhum- juga  anggota ordo Serikat Jesus (Jesuit)—ordo yang sangat berpengaruh dalam Gereja Katolik dan dikenal luas karena karya sosial serta misionarisnya di seluruh dunia. Czerny memiliki pengalaman pelayanan yang luas, terutama di Amerika Latin dan Afrika. Ia mendirikan African Jesuit Aids Network dan pernah mengajar di Kenya.

Keterlibatannya dalam isu-isu kemanusiaan menjadikannya tokoh yang sangat dihormati; khususnya di kalangan progresif dalam Gereja. Saat ini ia memimpin Dikasteri untuk Pengembangan Manusia Seutuhnya di Vatikan – sebuah posisi penting yang menggambarkan komitmennya pada keadilan sosial, hak migran, lingkungan hidup, dan perdamaian.

Meski merupakan kandidat kuat, sebagian besar pengamat menilai kecil kemungkinan para kardinal akan memilih seorang Jesuit lagi secara berurutan setelah Paus Fransiskus. Tradisi Gereja biasanya menghindari pemilihan dua paus berturut-turut dari Ordo yang sama.

Kardinal Czerny membawa suara penuh belas kasih dan keprihatinan akan isu-isu global yang paling mendesak. Tapi apakah semangat Laudato Si’ dan Laudate Deum serta reformasi sosial Fransiskus cukup kuat untuk melahirkan “Paus Jesuit jilid dua”? Atau mungkinkah justru muncul kerinduan pada gaya kepemimpinan yang lebih tradisional setelah era Fransiskus?

13. Kardinal Kevin Farrel (78)

Ia warga negara Amerika Serikat, meskipun asal aslinya berdarah Irlandia. Ia lahir 2 September 1947 dan setelah berkarya cukup lama di Amerika Serikat dan menjadi Uskup Keuskupan Dallas lalu menjadi Warga Negara Amerika naturalisasi. Kakak kandungnya juga seorang Uskup dan pernah selama beberapa tahun bekerja di lingkaran dalam Vatikan.

Sejak tahun 2016 sampai saat ini, ia menjabat Prefek Dikasteri untuk Kaum Awam, Keluarga, dan Kehidupan sekaligus Camerlengo Tahta Suci Vatikan sejak 2019; diangkat sebagai Presiden Mahkamah Agung Negara Kota Vatikan pada tahun 2024.

Setelah wafatnya Paus Fransiskus pada 21 April 2025, ia mengambil peran sebagai pemangku sementara (carmelengo atau chamberlain) Negara Vatikan; mengoordinasikan Pemerintahan Vatikan selama masa sede vacante. Ia ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1978, Farrell memulai pelayanannya sebagai kapelan dan dosen universitas di Meksiko. Ia mulai berkarya di Amerika Serikat sejak 1984, dan kemudian diangkat menjadi Uskup Auksilier Keuskupan Agung Washington (2002–2007), serta Uskup Keuskupan Dallas (2007–2016). Paus Fransiskus mengangkatnya menjadi kardinal pada tahun 2016.

Baca juga: Para pemimpin dunia dan Jokowi akan hadiri prosesi pemakaman jenazah Paus Fransiskus (14)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here