REVA mulai gelisah oleh teror bulik-nya, Suriantanti yang biasa dipanggil Bu Anti, ternyata memang antik juga. Kata-katanya saat terpojok dan keweleh pada saat selesai peringatan 1.000 hari meninggalnya ibunya Reva masih menggema dalam benak Reva.
Dalam budaya Jawa, peringatan arwah tersebut dikenal dengan nyewu atau ngentek, artinya sudah habis rangkaian peringatan arwah. Lepasnya yang meninggal dari ikatan duniawi ditandai dengan melepas sepasang merpati dengan harapan arwah yang meninggal terbang lepas kembali kepada Yang Di Atas.
”Baiklah. Bulik minta maaf. Tolong jangan tuntut dan ambil rumah kami, kasihan Oommu yang sudah tua harus menanggung malu terusir dari rumah yang selama ini ditempatinya.”
Menyadari jasa bulik-nya pada masa lalu dan tatapan memelasnya, Reva bersaudara memutuskan tidak akan mengutik-utik lagi. Toh mereka semua sudah memiliki rumah yang layak.
Merasa aman dan tidak ada tuntutan dan Reva dan adik-adiknya, bulik-nya mulai berulah bersama Deniya.
***
Adik ipar satu ini berusaha jadi sosialita kampung yang tampak kampungan. Suaminya sebagai “pejabat” kurang bisa tegas kepada isterinya. “Tinimbang rame” selalu begitu alasan Heri bila dinasihati agar tegas menegur isterinya yang sombong dan songong.
Beberapa kali Reva harus membayar biaya mereka nyalon, perawatan wajah, rambut, dan tubuh tambun mereka. Tidak apalah. Terakhir mereka minta dibayari Rp 400 juta untuk oplas, dengan tegas Reva menolak. Dua ipar Reva lainnya memang punya usaha dan layak dibanggakan, Melania dengan catering-nya yang berkembang dan menjanjikan, apalagi bila musim manten dan Sandrina dengan suvenir batiknya. Akhir-akhir ini usaha Sandrina moncer dengan masker, topi, dan sarung tangan etniknya.
***
Tepat tiga tahun Ibu Suriantini meninggal, ada rombongan yang menjemput Reva untuk nyekar ke Sidoarjo. Mereka menyewa Toyota Hiace daripada harus membawa tiga mobil, karena Bulik Anti (yang antik) dan suaminya, Oom Sutono, ikut. Karena Minggu pagi, begitu selesai nyekar, rombongan mengikuti misa di Gereja Santa Maria Annunciata, sekalian Reva menengok salah satu romo sepuh yang dikenalnya.
Roti bluder selalu dibawa oleh Reva untuk oleh-oleh, selain tentunya untuk memopulerkan ikon kotanya. Roti yang lembut dan empuk sangat cocok untuk orang yang sudah sepuh, mudah dikunyah dan ditelan.
Mereka memang duduk menyebar sesuai dengan kebiasaan mereka masing-masing. Reva, Melania, dan Michael duduk di sayap kanan luar.
Ada pertimbangan yang selalu dipakai Reva dalam memilih tempat duduk adalah tidak membelakangi tabernakel saat kembali ke tempat duduk setelah komuni. Prinsip itu tetap dipegang teguh Reva, ketika misa di mana pun, termasuk pagi itu.
Sesuai kesepakatan, mereka kembali bertemu di dekat tempat parkir. Namun mereka harus menunggu Deniya dan Bulik Anti yang entah pergi ke mana. Bahkan kata Arsenio, puteranya, mamanya pergi dengan Mbah Anti begitu selesai terima komuni.
Mata Reva mencereng, menatap Heri, adiknya. ”Memang selalu seperti itu isterimu kalau pergi ke gereja Her?” tanya Reva.
”Iya, Mbak?”
”Tak pernah Kautegur?,” selidik Reva. Heri diam saja.
“Mana berani,” celetuk Arsenio bersembunyi di balik punggung Reva, takut dipenthelengi bapaknya.
“Her, sebagai kepala keluarga kamu harus berani tegas, terutama terkait dengan hal benar-salah. Jangan sampai ke gereja hanya mau menjadi pencuri roti surga,” jelas Reva.
“Para keponakan Budhe, camkan. Ke gereja itu harus sampai berkat penutup dan romo masuk ke sakristi. Datang juga harus lebih awal untuk mempersipkan batin dan hati menyambut kedatangan Tuhan. Perilaku tak layak dan tak pantas jangan ditiru, ya,” tegas Reva sambil menatap keempat keponakannya.
“Iya Budhe,” serempak jawaban mereka nyaris bersamaan.
Mereka kemudian masuk mobil menunggu artis kampungan yang ternyata mengelilingi gereja dengan berfoto bahkan membuat video. Tanpa merasa bersalah, Deniya dengan kemayu berseru, “Aku dapat foto dan video bagus-bagus banget. Mau lihat? Mau lihat?,” katanya sambil mengedarkan HP-nya.
Tak ada satu pun yang menanggapinya. Arsenio dan Felix, anaknya Heri, malah menggelendot di bahu budhe-nya dengan mengabaikan mereka. Dari belakang Reva berteriak. “Ayo berangkat. Kita cari bebek sinjay.”
***
Melihat kegembiraan anak-anak yang bisa kompak pergi dengan kaos warna maroon kembaran dengan Reva membuat mereka seakan tidak mau berpisah dengan budhe-nya. Menjadi budhe yang selalu dikerubuti dan dibanggakan oleh para keponakan merupakan kebanggaan tak terhingga.
Itulah yang selalu dilakukan oleh Reva bila membelikan sesuatu, termasuk lima kaos kembaran yang mereka pakai hari ini. Para orangtua mereka kadang tidak selalu cocok dengan selera Reva, apalagi Deniya. Beberapa kali barang yang dibelikan Reva tidak mereka pakai. Hal itu yang menyebabkan Reva hanya membelikan barang kepada para keponakan. Bahkan HP mereka pun sama, hanya casing-nya sesuai selera. Felia tentu sama dengan budhe-nya. Mereka berdua pemuja warna ungu, anggun dan elegan.
Felia, adiknya Felix berkali-kali menengok kepada budhe-nya. “Budhe bebek sinjay itu seperti apa to, aku belum pernah makan?,” tanya Felia.
Reva menyuruh Felix bertukar pindah duduk di samping ayah-ibunya dan meminta Felia menggantikannya.
“Waduh, keponakan Budhe yang paling cantik, sini tak jelaskan,” katanya sambil menarik Felia duduk di sampingnya.
Michael, keponakan tertua nyeletuk. “Aduh cantiknya!” nada iri terasa di telinga Reva.
“Michael, nanti gantian pulangnya kamu bisa duduk dengan Budhe, jangan jealous begitu ah,” goda Reva.
Mobil sudah melewati Perak mau memasuki Jembatan Suramadu, jembatan panjang yang menghubungkan Surabaya dan Madura.
Orang Surabaya menyebut Suramadu, Surabaya-Madura, berarti kalau berangkat dari Madura menjadi Madusura, begitu kelakarnya.
Jembatan sepanjang 5.438 meter ini digagas oleh Presiden Soekarno, dibangun era Megawati dengan pemasangan tiang pancang oleh Presiden Megawati pada 20 Agustus 2003, dan diresmikan 10 Juni 2009 oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY).
Setelah peresmian, jembatan itu diperlakukan sebagai jalan tol yang berbayar. Namun banyak orang Madura puritan yang tidak mau membayar, karena mereka mengendarai kendaraan dengan BBM-nya berkurang kok harus membayar, tentu berbeda bila mereka menyeberang melalui Ujung-Kamal dengan feri.
Kendaraan dan orang menaiki feri yang berjalan menggunaan BBM tersendiri. Logika samin itu mengemuka pada awal pengoperasian jembatan Suramadu. Sekarang melewati jembatan ini sudah gratis.
Menjelang sampai tengah jembatan, Deniya berteriak minta mobil berhenti.
“Berhenti, saya mau foto dan membuat video,” katanya.
Sopir melambatkan mobilnya, tetapi dari belakang Reva berteriak lebih keras. ”Jangan kampungan dan tidak tahu aturan. Kendaraan tidak boleh berhenti, terus jalan,” perintah Reva.
”Baru kena batunya,” Sandrina berbisik kepada Heru, suaminya.
Terdengar hentakan kaki penanda kesal, tetapi Deniya tidak bisa berkutik. Kendaraan melaju menuju Jalan Raya Ketengan Burneh Bangkalan untuk menikmati bebek sinjay. Reva jadi lupa menjelaskan bebek sinjay kepada Felia.
”Felia, tunggu tidak sampai lima belas menit kita sudah bisa menikmati bebek sinjay. Penjelasannya sambil makan saja ya,” kata Reva sambil memeluk Felia. Felia hanya bisa mengangguk dan membalas pelukan budhe-nya.
Sambal mangga muda merupakan sambal khas untuk menikmati bebek goreng dengan kremesannya. Tambahan hati-ampela bila meminta, disatukan dengan nasi hangat menambah nikmat kebersamaan mereka. Beberapa lelaki meminta tambah.
Reva sudah meminta lima paket berisi masing-masing lima potong bebek untuk keluarga bulik-nya, Reno, Heru, dan Heri, serta sopir.
Begitu selesai makan, bulik dan Deniya teriak hampir berbarengan, ”Kita tidak membawa pulang ini?” namun teriakan itu tidak ada yang menanggapi.
Reva dan Felia membayar 46 nasi bebek, 14 minuman, dan 4 plastik besar kerupuk. Kuitansi Rp 933 ribu dibayar Reva. Paket oleh-oleh sudah masuk dalam bagasi mobil. Dua perempuan serakah dan tidak tahu diri itu bersungut-sungut, tetapi diabaikan oleh Reva.
Reva juga sudah menyiapkan empat amplop @ 500 rb untuk empat keponakannya, dan sejuta untuk Oom Tono yang tak ada suaranya, hanya berbicara pelan dengan Reno. Kelihatannya sungkan kepada Reva, karena kecurangannya pada masa lalu telah terbongkar.
Selama ini Reva selalu menjadi big bos. Heri, adik termuda dan menjadi pejabat, memberi tahu bahwa sewa mobil sudah dibayarnya, dengan berbisik “Jangan sampai Deniya tahu.”
Mereka pun akhirnya pulang lewat jalan lain, naik feri dari Kamal menuju Ujung Tanjung Perak. Reva minta diturunkan di depan pintu tol, tidak usah diantar sampai rumah, karena hari mulai senja.
Sebelum turun, Reva mengingatkan keponakannya, “Jangan lupa apa?,” tanyanya.
Serempak mereka menjawab “Jangan menjadi pencuri roti surga.”