DULU waktu masih tinggal sama-sama kontrak rumah di Jalan Cisitu Baru, Bandung, salah satu kawan penghuninya dipanggil “Gentong”. Waktu itu, ia mahasiswa ITB Jurusan Sipil, angkatan 75. Sampai-sampai saya tak tahu -juga telah lupa- siapa nama aslinya.
Dia sendiri juga oke-oke saja (no problem) dipanggil Gentong. Sudah lama saya ngga ketemu Gentong, insya Allah dia sehat-sehat aja.
Saya ngga tau apakah Gentong itu sebuah nama terkesan baik atau buruk, positif atau negatif.
Yang saya tahu, di rumah eyang saya di Desa Bejalen, Ambarawa, dulu yang disebut “genthong” itu adalah tempat yang terbuat dari tanah liat; dipakai untuk menyimpan bermacam-macam barang. Bisa beras, air minum dsb. Dus, jadi punya konotasi sangat baik.
Begitu pula dengan tetangga saya di Semarang yang bernama Sukidi. Tak ada setitik pun Pak Sukidi keberatan dengan nama itu, sepanjang hidupnya. Buat orang Jawa zaman dulu -termasuk saya-, maka nama Sukidi atau yang mirip-mirip dengan itu sama sekali tidak aneh.
Kebetulan Sukidi itu orang baik hati, ramah, terpelajar, jujur; dan suka menolong.
Nama Sukidi menjadi bernuansa sangat positif.
Entah pula bila ada nama Sukidi yang suka bohong kepada orang banyak dan bicaranya mencla-mencle. Esuk dele, sore tempe.
Jadi nama, sebutan atau paraban itu nilainya netral. Menjadi positif bila orangnya baik, atau tiba-tiba berubah negatif bila pelakunya buruk.
Di Jawa ada istilah “paraban“. Julukan yg diberikan kepada seseorang sesuai dengan profil, kondisi fisik dan tabiatnya. Itu dianggap sebagai hal yang lumrah dan biasa.
Jangan kaget kalau mendengar seseorang bernama “Karto Pitik” (Pak Karto jualan ayam) atau “Jono Kiyer” (Pak Jono yang, maaf, matanya agak sering berkedip-kedip).
Di masyarakat, baik Karto Pitik atau Jono Kiyer beserta keluarga dan pendukungnya tidak protes dan bersikap baik-baik saja. Malah para sahabat pPk Karto Pitik dan Pak Jono Kiyer merasa kurang afdol kalau memanggil mereka tanpa paraban.
William Shakespeare mengatakan: “What’s in a name?”
Nama sama sekali tidak menimbulkan kesan, perilaku seseorang lah yang mengubah julukan itu menjadi baik atau buruk.
Nampaknya paraban mulai diartikan lain. Orang yang memanggil orang lain dengan paraban, di zaman now ini bisa-bisa dituduh ngledek atau malahan menghina.
Bahkan sekelompok orang yang seolah mewakili orang yang diberi paraban memberi cap berdosa bagi mereka yang memanggil paraban bagi seseorang. Sementara Pak Karto dan Pak Jono tak menggubrisnya. Mereka sedang santai sambil merokok dan menghitung kekayaannya yang sudah mulai menumpuk di bank.
“Bunga mawar diberi nama apa pun, tetap indah warnanya dan harum aromanya.” (Shakespeare)
@pmsusbandono
20 Juli 2024
Baca juga: Hukum perilaku tak pernah beku