SIAPA PUN yang pernah ke Perancis –utamanya berkendara dengan mobil menyusuri kawasan French Riviera yang membentang dari La Seyne-sur-Mer menuju Nice melewati Cannes di bagian selatan Negeri Anggur ini— maka yang tersisa di benak adalah kesan tentang indahnya pemandangan di sepanjang garis pantai Côte d’Azur ini. Menyebut nama Cannes, maka yang membekas di hati adalah Festival Film Cannes. Sedikit ke utara, maka Istana Monaco menyambut kedatangan para pelancong.
Tekstur pemandangan menawan
Indahnya kawasan French Riviera mulai dari Saint Tropez-Cannes-Monaco-Nice rupanya tidak mampu membuat bahagia Anne (Diane Lane). Perempuan paruh baya dengan sunggingan senyum yang amat menawan ini adalah sosok isteri yang hari-harinya selalu didera oleh kesepian. Ia sering tak diacuhkan oleh Michael (Alec Baldwin), sang suami yang terlalu fokus pada pekerjaaannya sebagai seorang produser film.
Sengaja meninggalkan California untuk sedikit rehat di Cannes dan baru kemudian ke Paris rupanya tak bisa menghadirkan ‘kebersamaan’ pasangan suami-isteri ini. Di luaran mereka tampak bahagia, namun sejatinya Anne dirundung sepi; sementara Michael telah ‘digilas’ oleh rutinitas pekerjaannya yang sangat menyita hati dan waktunya.
Rencana mereka berdua pergi ke Budapest dan baru kemudian terbang ke Paris menjadi berantakan, lantaran Anne mengalami infeksi telinga. Solusinya hanya satu: Michael harus terbang sendiri ke Ibukota Hongaria, sementara Anne diizinkan boleh menumpang mobil Jacques (Arnaud Viard) –rekan sesama produser– yang berencana pergi ke Paris untuk sebuah urusan bisnis.
Perancis yang indah dimulai dari Selatan: Cannes.
Berdua berkendara di balik kemudi Peugeot seri 504 yang sangat legendaris karena mobil pabrikan Perancis ini diproduksi tahun 1970-an, Anne bersama Jacques benar-benar merasakan betapa nikmatnya traveling bersama menyusuri kawasan French Riviera ini. Perjalanan yang indah ini terasa semakin lengkap, berkat gaya bicara romantis khas pria Perancis yang piawai membetot atensi orang dengan sering menawari aneka produk kebanggaan Negeri Anggur ini: anggur segala macam jenis, cheese, cokelat, dan berbagai menu masakan khas buatan chèf Perancis.
Tata nilai sebuah bangsa
Perbedaan selera dan tata nilai antara orang Amerika dan orang Perancis –termasuk soal kesempatan berkencan—menjadi titik singgung diskusi yang menarik antara Anne dan Jacques. Di sinilah tiba-tiba Anne merasakan bahwa ‘kekosongan’ hatinya itu mulai ‘diisi’ oleh kehangatan yang meletup perlahan-lahan dari sosok pribadi pria Perancis yang sangat romantis ini.
Anne tersedak hatinya di antara dua ‘peluang manis’: antara harus tetap setia kepada Michael atau sekarang membiarkan dirinya hanyut oleh rayuan maut Jacques yang selalu ingin ‘mendulang’ kesempatan untuk bisa mengencani Anne.
Film Paris Can Wait (2016) besutan sutradara Eleanor Coppola ini sejatinya masuk kategori komedi. Itu tentu benar. Namun di balik paparan semua adegan berbalut selera humor ini, rasanya ada satu-dua hal sangat serius yang mencungul di film menawan ini. Yakni, bagaimana setiap bangsa itu memiliki tatanan nilai berikut tradisi makanan-minuman yang sangat beragam dan itu berbeda dengan bangsa lain.
Masalah eksistensial
Lebih dari itu, film Paris Can Wait ini juga mencuatkan persoalan eksistensial yang sangat subtil namun selalu ‘mengganggu’ ketenangan hati perempuan paruh baya berstatus isteri. Dan itulah persoalan serius bagi Anne yang di tengah kelimpahannya malah merasa kesepian lantaran sering ‘ditinggal’ tanpa perhatian oleh Michael –sang suami yang terlanjur burned-out oleh rutinitas kesehariannya.
Hadirnya orang lain yang direpresentasikan oleh Jacques rupanya mampu memberi makna baru bagi hidup Anne. Meski ‘makna hidup’ itu hanya mampir singkat di sepanjang perjalanan naik Peugeot 504 dan kemudian Renault, rupanya “kehadiran bersama-dengan-orang lain” itu membekas dalam di sanubari Anne. Pun pula bagi Jacques yang mengaku tidak tertarik mengikat cinta dengan satu perempuan tertentu, namun menghayati pertemanannya dengan perempuan mana pun ketika suasana ‘suka sama suka’ tengah mengisi relung hatinya di mana pun itu berada.
Prinsip moral keluarga khas Amerika lalu ‘mengingatkan’ Anne: jangan main api cinta. Justru, pada titik penting inilah, pria Perancis bernama Jacques ini tidak terlalu peduli sesuai iklim hubungan relasional antara pria dan perempuan sebagaimana terjadi di Negeri Anggur ini –setidaknya digambarkan oleh Paris Can Wait.
Lalu, apa indahnya film komedi dengan judul Paris Can Wait ini?
Mereka yang suka melakukan wisata kuliner, maka aneka menu masakan Perancis yang tersaji di Paris Can Wait ini menjadi jawabannya. Itu belum cukup, karena rute perjalanan panjang dari French Riviera menuju Paris ini juga menawarkan suguhan pemandangan indah. Tidak hanya pemandangan alam di sepanjang garis pantai Laut Mediterania, namun juga aneka bangunan historis sisa peninggalan Romawi yang masih berdiri kokoh seperti Le Pont du Guard yang membentang di atas Sungai Gardon tak jauh dari Vers-Pont-du-Gard.
Sekali lagi, Paris Can Wait tidak saja berkisah tentang perjalanan naik Peugeot 504 dan Renault dari French Riviera menuju Paris melalui Lyons. Melainkan, ini kisah perjalanan batin Anne –sosok isteri menawan tapi kesepian—yang akhirnya menemukan makna hidup baru di balik perjalanan naik mobil bersama pria flamboyan bernama Jacques. Paris Can Wait tak disangka-sangka menjadikan hidup Anne dan Jacques serasa lebih sumringah lagi berkat pengalaman “hadir-bersama-orang lain” di dalam mobil yang melaju menyusuri rute panjang dari Cannes menuju Paris.
Paris menunggu mereka berdua untuk mengalami ending yang membahagiakan itu.