BERTAJUK “Agama untuk Kemanusiaan dan Krisis Iklim”, Gereja Santo Paulus Paroki Wonosobo bergandengan tangan dengan Gusdurian Kabupaten Wonosobo menyelenggarakan dialog kehidupan dalam bingkai Haul Gus Dur ke-15. Dialog diselenggarakan hari Sabtu, 25 Januari 2025, mulai pukuk 13:00 hingga 17.00 di aula paroki Jalan P. Diponegoro 10, Wonosobo.
“Kami berterimakasih atas sambutan dan keterbukaan tangan Gereja Katolik; khususnya Paroki Santo Paulus Wonosobo. Pastor Paroki Romo Matheus Widyolestari MSC langsung menyetujui ketika inisiatif puncak haul-ke-15 KH Abdurrahman Wahid alias Gud Dur bisa diselenggarakan di aula yang megah ini.
Terutama saat diajukan gagasan tentang dialog kehidupan bertema agama untuk manusia dan ambil bagian dalam mengatasi krisi iklim,” kata Ulfiatun Nadifah, penggerak GusDurian Kabupaten Wonosobo, dalam pengantar diskusi.
Mewakili umat paroki, Anton Tejo lalu menanggapi, “Gagasan yang diusung sangat relevan dan cocok. Seraya memperingati Haul Gus Dur, dialog ini dalam bahasa khas Wonoso diungkapkan dengan dua kata, maer temenan, sungguh baik.”
Membela yang kecil, membela bumi
Dalam dialog dan berbagi refleksi yang diwakili lima agama dan penghayat kepercayaan pada Tuhan terungkap benang merah bahwa tiap orang yang yang mengimani Allah, Tuhan Yang Maha Esa terikat dalam persaudaraan dan berkewajiban merawat alam semesta secara berkelanjutan.
Kepala Kantor Kemenag Wonosobo Dr. H. Panut SPd, MPd menekankan bahwa pandangan KH Abdurrahman Wahid mengajarkan cara beragama di jalan tengah. Tidak terjebak dalam kutub ekstrem kanan, tidak terpengaruh paham liberal. Penganut agama yang benar pasti membela kaum kecil; termasuk kaum minoritas dalam segala hal.
“Kita perlu mengapresiasi kerja keras seluruh warga Wonosobo. Di masa lalu, wilayah kita dikenal tidak ramah, tetapi kerja keras semua elemen masyarakat, termasuk warga GusDurian dan umat Katolik Wonosobo, Indeks Kerukunan mencapai 83,58 pada 2024, angka yang sangat tinggi dan perlu ditingkatkan lagi,” papar tokoh yang berasal dari Desa Sendangsari.
“Manusia memiliki tiga hubungan: dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Kita sering melihat pohon-pohon besar yang disarungi kain hitam-putih dan diberi sesaji.
Laku itu merupakan pengingat bahwa manusia harus merawat alam dan menjaga kelestariannya. Pohon, misalnya, menangkap air. Pohon boleh ditebang, tetapi harus mempertimbangkan penanaman yang sepadan untuk merawat air dan ekologi,” ungkap Bapak I Made Kereneng Surasa.
Tokoh agama Hindu Wonosobo itu melanjutkan, dalam ajaran Hindu, lanjutnya, seorang manusia bersaudara dengan semua manusia, tanpa pandang bulu. Wajib baginya untuk memperlakukan sesama seperti ia memperlakukan dirinya sendiri.
Mengutip Kitab Kejadian, Pendeta Agus Suprihana, menjelaskan bahwa Allah menciptakan segalanya sungguh amat baik. Maka, relasi manusia dengan Allah, sesama dan alam semesta harus sangat baik. “Tentang sesama, Ia memerintahkan untuk mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri,” lanjut pendeta Gereja Kristen Jawa.
Bapak Yunanto, perwakilan agama Budha, mengungkapkan kekaguman pada aktivis Gusdurian. Mereka tidak hanya mengagumi Gus Dur, tetapi juga mengapresiasi, memahami dan melakukan prinsip-prinsip yang diwarisi dari Gus Dur. “Terlebih, agama sejak semula hadir untuk manusia. Bila agama selalu dibahas, pasti ada yang keliru dalam berelasi baik dengan Tuhan, manusia atau alam,” lanjutnya.
“Manusia harus eling, artinya mencapai kesadaran bahwa ia adalah ciptaan Sang Khalik. Kesadaran itu menuntun bangsa ini untuk menghormati kebinekaan, seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan hidup harmonis,” tutur Yoga Prihationo, Ketua Majelis Luhur Kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa Indonesia/MLKI Wonosobo.
Hidup yang harmonis mendorong tiap orang untuk memperlakukan alam dengan benar. Membuang sampah pada tempatnya, mengatasi deforestasi, misalnya, bertujuan untuk Memayu Hayuning Bawana, menjaga keindahan dunia, lanjut Yoga, yang sehari-hari guru di SDN Serang, Kejajar, Wonosobo.
Kerusakan alam ada di mana-mana. Sejak 2021 Wonosobo mengalami deforestasi parah. Mataair banyak yang hilang.
“Kita perlu menghormati dan melestarikan kearifan lokal, misalnya: membuat jugangan, lobang untuk menimbun sampah daun. Inilah tantangan yang harus kita hadapi ke depan, terutama untuk aktivis GusDurian dan saudara kami umat Katolik, untuk menjadi contoh,” kata Dr. Lutfan Muntaqo, Ketua Program Pasca Sarjana Universitas Ilmu Alquran (Unsiq), Kalibeber, Wonosobo.
Menutup refleksi bersama, Romo Matheus Widyolestari MSC mengungkapkan, “Saya bertemu mendiang Gus Dur tahun 2005 di Ciledug, Kota Tangerang, saat marak pelarangan ibadat. Gus Dur berkata, ‘Romo, kita satu iman, tapi beda agama.’
Lama saya merenungkan kata-kata itu. Hingga saya menemukan bahwa kita mengusahakan kekudusan dengan cara yang berbeda. Kekudusan mengantar manusia pada penghormatan pada martabat yang setara dan tidak mempersoalkan perbedaan,” ungkap Romo Widyolestari MSC yang juga pernah mengalami persekusi agama saat menjadi pastor paroki di wilayah Jakarta Barat.
Dialog ini tidak berhenti di sini. Kita akan menjalin persaudaraan melalui banyak kegiatan. Tanggal 2 Februari 2025 mendatang, komunitas GusDurian dan Paroki Santo Paulus Wonosobo menyelenggarakan kegiatan jalan santai, supaya ikatan persaudaraan makin erat.
“Mari kita ambil bagian dalam program penanaman banyak pohon di lingkungan kita setelah jalan santai bersama,” pungkas pastor paroki kelahiran Makassar dan berasal dari keluarga yang sangat plural.
Garung, Wonosobo, 26 Januari 2025