SANGGAR Anak Alam (SALAM) merupakan salah satu satu sekolah alternatif di Bantul Yogyakarta. Sekolah yang berada di tengah sawah ini, tidak jauh dari kota Yogyakarta; hanya berjarak 7,5 km.
Sekolah yang beralamat di Kampung Nitipraya Kasihan Bantul Yogyakarta ini, sangat diminati oleh masyarakat yang memahami pentingnya kolaborasi dalam mendidik anaknya tiap hari. Sabtu tepatnya 21 April 2016, saya bersama tiga bruder dari Belanda mengunjungi sekolah tersebut.
Kami disambut oleh Bu Wahya, pendiri sekolah tersebut dengan penuh ramah. Kami sangat senang karena para peserta didik sedang mengadakan event yang memikat hati dan mempesona bagi pengunjung dihari tersebut.
Pasar Ekspresi
Menurut Bu Wahya, ide-ide untuk pasar ekspresi dimulai sejak 9 September 2016. “Jadi ada dua pasar yang kerap digelar di SALAM Pasar Senin Legi dan Pasar Ekspresi,” tutur mantan murid alm. Romo Mangun Wijaya ini dengan mantap.
Pasar Senin Legi adalah pasar yang digelar sekitar sebulan sekali, setiap hari Senin Legi dan berproses jual beli dengan mata uang SALAM.”
Di pasar ini para murid berbagi dalam beberapa kelompok, seperti sebagai penjual, petugas kebersihan, petugas keamanan dan pegawai bank. Setiap anak yang ingin menjadi penjual akan mendapat meja dan kursi sebagai lapak tempat mereka memajang dagangan, seperti craft buatan sendiri atau makanan sehat hasil olahan ibu/neneknya.
Sementara Pasar Ekpresi adalah pasar hasil gagasan orangtua murid beberapa waktu silam. Konsep awal penyelenggaraannya lebih sebagai kegiatan fundraising untuk mendukung kegiatan di SALAM.
Berbeda dengan Pasar Senin Legi, Pasar Ekpresi tidak menggunakan mata kuang SALAM dan tidak memiliki jadwal yang pasti. Dalam satu tahun bisa satu sampai tiga kali diselenggarakan, tergantung kebutuhan.
Di Pasar Ekspresi selain pasar pangan sehat dan produk kreatif, umumnya juga terdapat panggung ekspresi tempat anak-anak berpentas.
Orangtua menjadi guru
Yudis salah satu staf di sekolah tersebut menceritakan bahwa sekolah ini tidak ada guru seperti sekolah formal lainnya. Kurikulumnya mengikuti fenomena yang terjadi di masyarakat.
Anak-anak diberi ruang kebebasan untuk belajar sesuai dengan skill mereka masing-masing.
Di situ dua kurikulum yaitu: kurikulum alam dan kurikulum elaborasi dari pemerintah, tetapi disesuaikan dengan keadaan atau kebutuhan peserta didik. Guru yang mengajar adalah para orangtua dari berbagai keahlian atau profesinya masing-masing dan juga dibantu oleh tenaga volunteer dari mahasiswa dan dosen di Yogyakarta.
Sekolah yang berdiri sejak tahun 2000 ini untuk menentukan kemajuan belajarnya bukan lewat angka, tetapi melalui hasil karya penelitian mereka di lapangan sesuai tingkat kelasnya masing-masing. Dengan kata lain membicarakan standar serba-serbi sekolah di Indonesia di tengah-tengah persaingan nasional dan iming-iming untuk pasar dan global tidak berlaku di lembaga tersebut.
Opsi alternatif atau lainnya?
Lembaga ini sarana pembelajarannya ada di alam sekitar mereka. Sekolah yang berwawasan ekologis ini, hanya boleh menangani 15 orang anak dalam satu kelas.
Menurut Yudis, di sini tidak ada patokan harga. Semua orangtua mereka dengan sukarela menentukan sesuai dengan kemampuan ekonominya masing-masing. “Keluarga yang memilih sekolah ini rata-rata ekonomi kelas ke atas,” ungkap Yudis.
Di tengah perbincangan kami menikmati sajian dari ruang ekspresi mereka sambil melihat langsung hasil karya orisinil murid-muri tersebut.
Sekolah ini semacam opsi alternatif terhadap standar nasional di mana ukuran kesuksesan seseorang selalu ditentukan oleh pemegang otoritas kurikulum. Ataukah, ini sebagai bentuk perlawanan terhadap kapitalisme pendidikan saat ini antara kebutuhan pasar global, kompetisi atau bisnis untuk kepentingan pemilik modal/berkuasa?
Nah mungkin ada pemerhati pendikan ingin belajar, pastinya di sini bukan hanya kognitif yang ditekankan tetapi “hati dan spritualitas pendidik” menjadi unggul untuk bersama ekspresi dengan murid-murid dengan lepas bebas.
Singkatnya belajar di alam dengan penuh ekspresi.
Kredit foto: Br. Flavianus Ngardi MTB