Pastor Edmund Nantes OP: Memaknai Simbol-simbol Budaya Dayak dari Perspektif Kristiani (6)

1
2,201 views
Pastor Edmund Nantes OP dengan hasil karyanya. Salah satunya menjadi pengampu program bina diri formatio bagi para frater calon imam diosesan di Semiinari Tinggi Interdiosesan Antonino Ventimiglia di Siantan, Pontianak. (Sr. Maria Seba SFIC)


UNTUK mendesain Kapel Seminari dan bangunan lainnya di kompleks Seminari Tinggi Interdiosesan Antonino Ventimiglia, katanya kemudian, ia menggandeng beberapa seniman kondang di Kaliamntan Barat untuk diajak berkolaborasi.

Imam yang mengikrarkan kaul perdana tanggal 19 Mei 1973 ini juga mengaku belajar dari para frater binaannya yang nota bene orang-orang Dayak.

“Maka dari itu, objek renovasi pertama yang dia lakukan adalah kapel. Ini dimaksudkan agar  semakin terang-benderang diketahui secara visual tentang makna Teologi Inkarnasi di mana ‘Sabda  telah menjadi manusia. Yesus mengambil semua kemanusiaan kita, kecuali dosa’. Pemaknaan secara visual ini penting,” ungkapnya tentang renovasi kapel di tahun 2010.

Berikut paparan makna perpaduan inkulturatif antara simbol-simbol tradisi Kristiani dan budaya Dayak kontekstual:

Kapel Sang Pamanih Sang Penabur

“Nang Tarigas Yak Kamuliaatn Jubata” tulisan dalam bahasa Dayak ini terdapat di halaman depan Kapel Sang Pamanih.

Menurut Father Nantes tulisan dalam bahasa Dayak Kanayant ini merupakan terjemahan dari kata-kata Pastor Antonino Ventimiglia yang berarti “Yang Paling Indah untuk Kemuliaan Tuhan”.

Simbol tangan Bapa di belakang altar Kapel Sang Pamanih.

Father Nantes memilih nama Pamanih sebagai identitas sebutan bagi Kapel Seminari. Dipilih kata itu, karena pada umumnya orang Dayak itu mencari nafkah sebagai peladang dan juga petani nomaden (suka berpindah-pindah).

“Dalam Injil Markus 4:1-20, Yesus menceritakan perumpamaan tentang seorang penabur. Perumpamaan ini sangat sesuai dengan masyarakat Kalimantan di beberapa daerah tertentu yang memiliki kebiasaan bercocok tanam padi,” ungkapnya.

Kata pamanih itu sendiri berasal dari bahasa Dayak Kanayatn yang berarti penabur. Dengan demikian, “Sang Pamanih” berarti Sang Penabur—nama  sebutan untuk Yesus Sang Gembala Agung.

“Sang Pemanih (Sang Penabur) adalah Yesus Kristus yang menjadi simbol penyemai benih-benih  panggilan hidup imamat yang ditaburkan di seminari ini. Bibit-bibit yang telah disemaikan itu adaah para frater calon imam diosesan,” jelasnya seraya menambahkan bahwa ukiran Tangan Yesus Sang Pamanih (Sang Penabur) itu merupakan hasil karya seniman bernama Turino.

Pastor Nantes OP menerangkan makna di balik simbol tangan Bapa di belakang altar Kapel Sang Pamanih di Kompleks Seminari Tinggi Interdiosesan Antonino Ventimiglia di Siantan, Pontianak.

Tangan Bapa

Saat masuk Kapel Sang Pamanih dan mata kita diarahkan ke atas, maka di sana ada simbol tangan yang mengarah ke bawah. Itulah tangan Allah yang telah menciptakan manusia dan tangan Allah Bapa pula yang telah mengutus Anak-Nya turun ke dunia menjadi manusia.

Tangan Bapa surgawi yang menunjukkan Ekaristi bagi kita.

“Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu di Surga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?,” (Mat 6:26).

“Dalam kepenuhan waktu Bapa mengutus Putra-Nya, Yesus Kristus yang pada akhirnya mewariskan Ekaristi kepada kita,” jelas Father Nantes seraya mengatakan bahwa yang mengeksekusi buah karyanya ini adalah seniman bernama Agustinus.

Podium dengan ornamen ukir bergambar empat Penulis Injil di Kapel Sang Pamanih Seminari Tinggi Interdiosesan.

Podium untuk empat penulis Injil

Ada empat simbol penulis Injil yakni Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Mimbar hasil karya seniman Agustinus ini terbuat dari kayu belian dengan ragam ukiran telah menghiasi badan podium ini.

Benih sabda Allah yang ditabur khususnya oleh keempat penginjil (gambar bagian atas) bertumbuh dan menghasilkan panenan (gambar padi bagian bawah). Hasil kerja yang dihasilkan oleh manusia dipersembahkan kepada Allah (bagian kiri dan kanan: disimbolkan dengan pahatan lelaki Dayak yang tengah memikul babi dan perempuan Dayak yang memikul keranjang padi).

Di bumbungan atas tepatnya di penampakan panggung Batang Garing terdapat logo serikat klerikus religius dengan tulisan “Quaerite primum regnum Dei” yang artinya adalah “Carilah terdahulu Kerajaan Allah”.

“Matius mulai dengan sisilah keluarga besar Yesus di mana di situ ditampilkan sejarah kemanusiaan Yesus,” jelas Father Nantes OP.

  • Singa melambangkan Markus yang mengisahkan Yohanes Pembabtis sebagai perintis jalan Tuhan dengan berseru-seru di padang gurun.
  • Lukas dilambangkan dengan sapi, karena Injil dimulai dengan persembahan Zakharia di Bait Allah dan yang dipersembahkan biasanya adalah sapi.
  • Yang terakhir adalah Yohanes dengan simbol rajawali, karena teologi Yohanes itu berkelas dan tinggi.  Injil yang menceritakan tentang kelahiran Yesus itu diawali bukan dengan kisah kelahirannya di Betlehem, tetapi dari awal sebelum dunia diciptakan. ”Sabda Allah telah menjadi daging,” jelas Father dengan sangat lugas menguraikan simbol-simbol yang sarat makna liturgis.

Altar dengan 12 pantak Para Rasul

Patung pantak (patung Dayak) yang menghiasi bagian depan altar utama menjadi sumber inspirasi Father Nantes untuk mendesain ke-12 rasul.

“Di samping kiri dan kanan altar ada 12 Rasul Yesus, yakni 12 suku Israel yang baru (Gereja) berpakaian layaknya seorang Kepala Suku Dayak dengan mahkota bulu burung enggang,” ungkap Father Nantes.

Pahatan 12 patung pantak karya seniman Turino dan Agustinus yang digambarkan sebagai ke-12 Rasul ini tidak lain adalah para Kepala Suku Dayak. Masing-masing para Rasul itu memakai simbol yang erat dengan identitas mereka sebagai “orang yang diutus” (Rasul).  

  • Rasul Petrus memegang kunci.
  • Yudas memegang kantong uang.
  • Di bagian tengah depan  altar ada ukiran burung pelikan (undan) karya tangan seniman berbakat bernama Agustinus yang juga memahat podium sabda.
  • Burung pelikan rela memberikan darahnya bagi anak-anaknya ketika tidak ada makanan. Oleh karena itu burung pelikan menjadi simbol Ekaristi.

“Karena, burung pelikan itu mirip-mirip burung enggang,maka simbol ini cocok secara kontekstual,” ujar Father Nantes.

  • Di sekitar altar ada juga ukiran seorang perempuan Dayak yang sedang memanen padi di ladang dan ukiran seorang lelaki tengah berburu babi hutan.
  • “Tradisi orang Dayak zaman dulu pada umumnya adalah peramu dan peladang, selain itu juga berburu. Mungkin zaman sekarang dua tradisi ini untuk sebagian orang Dayak di pedalaman masih bisa dilestarikan,” ungkapnya.
8 pilar yang menjadi simbol jabatan 8 Uskup Regio Kalimantan.

8 Pilar untuk 8 Keuskupan Regio Kalimantan

Menurut Father Nantes desain delapan pilar yang berada di sudut-sudut Kapel Sang Pamanih itu merupakan simbol jabatan Para Rasul yang kemudian diteruskan oleh para Uskup.

“Kebetulan Kapel Sang Pamanih ini memiliki 8 sudut sehingga cocok dijadikan simbol 8 Keuskupan yang menopang Gereja Kalimantan,” ungkapnya.

  • Dua pilar berada di samping altar simbol untuk Keuskupan Agung  Pontianak dan Keuskupan Agung Samarinda.
  • “Sebagai yang dihormati dua pilar Keuskupan Agung ini berada di depan yakni samping kiri-kanan altar yang ditandai dengan bulu burung enggang dan simbol bunga terung,” kata Father Nantes dengan menambahi  bahwa di kedua pilar Keuskupan Agung terdapat perisai Dayak yang merupakan simbol Allah pelindung kita.
  • Enam pilar lainnya adalah simbol  Keuskupan Sufragan.
  • Tiga Keuskupan Sufragan dari Keuskupan Agung Pontianak adalah Keuskupan Sintang, Keuskupan Sanggau, dan Keuskupan Ketapang.  
  • Sedangkan, tiga Keuskupan Sufragan dari Keuskupan Agung Samarinda adalah Keuskupan Banjarmasin, Keuskupan Palangka Raya, dan Keuskupan Tanjung Selor.
  • “Dengan delapan pilar yang merupakan simbol delapan Keuskupan regio Kalimantan ini bertujuan agar para frater  yang dibina di Seminari Tinggi ini mereka feel at home,” ungkapnya sambil menngatakan bahwa ia menggandeng seniman bernama Rino asal Ketapang untuk mengukir pilar-pilar ini.
Tabernakel berbentuk lumbung padi khas Dayak atas prakarsa Pastor Nantes OP.

Tabernakel berbentuk lumbung padi Suku Dayak

Tabernakel didesain dengan model lumbung padi. Hasil panen dari benih yang ditaburkan Sang Pamanih itu lalu di taruh di lumbung padi. Orang Dayak biasanya suka menyimpan hasil panen di dalam lumbung di dekat rumah.

Inilah sumber hidup mereka. Begitu pula tabernakel adalah tempat bersemayam Tuhan Yesus dalam rupa roti. Ia sumber kehidupan sejati.

“Ada metodenya, ketika saya mendesain tabernakel ini. Yakni, saya ingin menggabungkan tradisi Kristiani dan tradisi Dayak. Contohnya adalah lumbung padi yang kemudian menjadi inspirasi saya,” ungkapnya seraya menambahi  desain tabernakel karya seniman Turino dan Agustinus ini juga mengandung unsur seni China, khususnya untuk lampu kekal yang mengingatkan kita akan tiang awan Tuhan yang menyertai bangsa Israel di padang gurun.

Stasi Jalan Salib berlambang tangan

Ada yang menarik untuk diketahui bahwa di Kapel Sang Pamanih, gambar-gambar di Stasi Jalan Salib itu berbeda dengan gambar-gambar Stasi Jalan Salib pada umumnya.

Stasi Jalan Salib berlambang tangan hasil ide Pastor Nantes OP.

Di sini setiap Stasi ini dilambangkan dengan tangan.

“Memang Kapel Sang Pamanih ini gambar Stasi Jalan Salibnya rata-rata disimbolkan dengan tangan. Itu karena tanganlah yang bertindak dan bekerja,” ungkap Father Nantes OP seraya menerangkan bahwa Stasi Jalan Salib ke-14 itu dilambangkan dengan gambar Yesus sebagai Kerahiman Ilahi yang sudah bangkit dan mulia.

Kandelar Lilin Paska

Kandelar atau tempat sandaran untuk Lilin Paskah ini terbuat dari kayu belian dan hal itu merupakan simbol kekeluargaan dan kebangkitan. Simbol kekeluargaan yang terdapat pada standar lilin ini adalah terdapat pada ukiran proses menanam padi; dari menyemai hingga panen dalam tradisi orang Dayak.

Tempat sandaran untuk Lilin Paska karya seniman Dayak atas arahan Pastor Nantes OP.

Kemudian seluruh anggota keluarga ikut terlibat; mulai dari bayi, anak kecil, orang dewasa, ibu-bapak dan kakek-nenek. “Dalam tradisi masyarakat Dayak, anggota keluarga yang tertua yakni kakek adalah orang yang pertama membawa benih yang akan ditaburkan,” jelas Father Nantes.

Sedangkan simbol kebangkitan yakni benih yang di taburkan mati, tetapi hidup menghasilkan buah. “Ukiran kanderlar lilin dengan desain konteks budaya Kalimantan ini merupakan karya seniman Agus yang juga mengukir Stasi Jalan Salib,” jelas Father Nantes.

Salib Yesus dengan latar ukiran Dayak

Inilah salah satu karya Albertus, seniman Dayak asal Saham, Pahoman. Karyanya berupa sebuah salib yang sekarang sudah kokoh terpajang di belakang altar utama. Salib Yesus ini dipahat dengan model pantak, patung khas Dayak.

“Hanya orang yang berjasa boleh dibuatkan pantak. Dalam hal ini Yesus adalah Sang Juru Selamat yang telah menyelamatkan manusia. Oleh karena itu dibuatkan pantak,” ungkap Father Nantes.

Menurut Father Nantes, salib ini awalnya adalah salib yang ada di Biara Rumah Dominikan di Jl. Palapa, Pontianak. Karena ukurannya terlalu besar dan sering memicu pastor Italia berceloteh “Mamma mia…”, maka salib jumbo ini kemudian diboyong ke Kapel Seminari.

Salib Yesus dengan sentuhan ukiran Dayak menjadi ada berkat ide Pastor Nantes OP.

Uniknya salib ini juga pernah dijadikan sebagai salib dalam perhelatan kegiatan akbar orang muda se-Keuskupan Agung Pontianak yang pertama bernama Hari Orang Muda Katolik Keuskupan Agung Pontianak 2016 (HOMKKAP 1).

“Setelah kegiatan HOMKKAP 1 selesai, barulah kemudian salib ini diarak menuju ke Kapel Seminari oleh sejumlah Orang Muda Katolik,” kenangnya.

Di bawah salib ada tengkorak yang merupakan simbol kedosaan manusia pertama: Adam. “Namun untuk ukiran Dayak, saya memberi kebebasan kepada para senimannya untuk berkreasi, apa yang muncul dari doa mereka,” ungkap sang pastor.

Kemudian Father Nantes menjelaskan lagi beberapa simbol lain yang erat hubungannya dengan kebudayaan adat Dayak yakni motif bunga terung yang melekat di setiap pinggir tempat duduk umat.

Bunga terung, motif Dayak yang sering digunakan oleh para lelaki.

Kebanyakan umat yang misa di kapel ini adalah orang Dayak. Karena itu, Father lalu memasang motif bunga terung di setiap tempat duduk.

“Bunga terung ini merupakan simbol yang biasa di pakai oleh para pria pada tato-tato mereka yang mana mereka menjadi kepala keluarga, namun ukiran bunga terung berbeda-beda karena suku Dayak itu juga beragam,” ungkapnya.

Salib Paskah Batang Garing dan enam tempayan simbol peristiwa mukjizat pesta perkawinan di Kana.

Terdapat pula simbol lainya seperti jarai khas Dayak yaitu tempat yang biasa dipakai masyarakat Dayak untuk menyimpan hasil panen. Jarai ini kemudian dipakai untuk menyimpan kolekte umat, hasil bumi dan sebagainya.

“Pertama saya menggunakan jarai ini untuk meletakkan buah, sayur-sayuran yang baru dibeli dari pasar. Refleksi saya supaya umat mengerti bahwa yang dipersembahkan bukan hanya uang saja, tetapi seluruh hasil kerja tangan kita bahkan diri kita,” jelasnya.

“Kapel Sang Pamanih ini merupakan bangunan tempat ibadat tidak hanya dengan nuasana seni yang sungguh kontekstual khas Dayak, namun juga kaya akan nilai liturgis Kristiani,” tambah imam Dominikan, dosen Teologi Kontekstual STT Pastor Bonus. (Berlanjut)

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here