RITUAL adat Tolak Bala yang dilakukan masyarakat Dayak selama masa pandemi Covid-19 merupakan salah satu yang termasuk di dalamnya.
Suatu kali salah seorang rekan pastor membagikan di grup perpesanan foto pelaksanaan ritual tolak bala di paroki tempat ia bertugas.
Sebagai seorang pastor yang berasal dari luar Pulau Kalimantan, rekan pastor tersebut rupanya sedang mengalami kegalauan, setelah menyaksikan ritual adat tolak bala yang dilangsungkan di wilayah parokinya.
Tuhannya berbeda
Masalah utama yang menjadi sumber kegalauan dan kegelisahan rekan pastor tersebut ialah soal kepada siapa doa-mantra dalam ritual tolak bala itu ditujukan.
Bahwa doa mohon perlindungan yang disampaikan selama ritual ditujukan kepada:
- Petara.
- Jubata.
- Duata.
- Penompa.
- Duataq.
- Duato.
- Tanangaan.
- Ranying Hatalla Langit.
Semua itua dalah Tuhan-nya orang Dayak; bukan kepada Allah – Tuhan-nya orang Kristen). Maka, dalam pandangan rekan pastor tersebut, hal itu mencerminkan sikap menduakan Tuhan.
Rekan pastor tersebut tidak sendirian dalam berpandangan demikian.
Seperti yang ia sampaikan dalam grup perpesanan, ada juga sebagian umat yang berpandagan demikian.
Untuk itulah ia meminta masukan dari Bapa Uskup dan rekan-rekan pastor yang lain bagaimana Gereja seharusnya bersikap.
Ritual dan upacara adat menjadi hal yang wajib untuk dilaksanakan karena manusia Dayak meyakini bahwa hidup manusia dan alam semesta beserta isinya adalah anugerah dari Petara atau Jubata.
Karena itu, ritual dan upacara adat yang mereka lakukan, dalam bahasa G. Van Schie, menjadi bentuk konkret dari pengungkapan atau pementasan iman.
Sekaligus juga sebagai perbuatan penyuci peristiwa penting dalam kehidupan manusia menurut tata cara tertentu dan secara berskala.
Ref: G. Van Schie, Hubungan Manusia dengan Misteri Segala Misteri, Jakarta: Fidei, 2008, 171.
Memang begitulah adanya fungsi ritual dan upacara adat dalam suku Dayak.
Mengingat fungsinya yang demikian sentral, sudah dapat dipastikan bahwa Gereja dalam karya pastoralnya akan selalu berjumpa dengan ragam bentuk ritual dan upacara adat yang dipraktekkan oleh masyarakat Dayak.
Mendamaikan hal berbeda
Gereja, meski sering kali menghadapi tantangan dan kesulitan dalam upaya mewartakan Kabar Gembira keselamatan yang datang dari Allah, sama sekali tak boleh menutup mata terhadap keberadaan tradisi dan budaya Dayak.
Pengalaman sering mengajari begini. Umat bisa merasa tersinggung dan sakit hati. Beberapa bahkan tidak mau lagi datang ke gereja, ketika tanpa ada penjelasan yang memadai dan memuaskan. Karena, Gereja melarang mereka tidak lagi mempraktikkan tradisi dan adat istiadat yang telah mereka warisi dari para leluhur.
Tentulah bukan menjadi sifat dari keibuan Gereja yang sampai hati melukai hati anak-anaknya. Bahkan sampai membuat mereka menjauh dari padanya.
Pada titik inilah kita harus sungguh menyadari bahwa Warta Gembira tentang Kristus dan kebudayaan manusia itu mempunyai hubungan yang sangat erat.
Kebudayaan yang dipahami sebagai pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan beberapa bakat dan kebiasaan yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat, harus senantiasa diperhatikan dan dihargai oleh Gereja dalam tugas pewartaannya.
Ref: Louis J. Luzbetak, The Church and Cultures, New York: Orbis Books, 1998, 134. (Berlanjut)