“Kita harus selalu memiliki keberanian; dan jika kita mengalami kelesuan rohani, marilah kita berlari ke kaki Yesus dalam Sakramen Mahakudus. Dan marilah kita menempatkan diri kita di tengah-tengah wewangian surga; maka kita pasti akan mendapatkan kembali kekuatan kita.” – Padre Pio
SELAMA beberapa waktu, aku selalu mencari tahu apa makna ungkapan berbahasa Jawa “Becikketitik olo ketoro”.
Aku bertanya di dalam batin begini. “Mengapa orang harus menunggu sampai yang buruk atau yang baik itu kelihatan dengan sendirinya? Kalau jelas itu salah, mengapa dibiarkan saja. Sementara yang benar, justru cenderung disembunyikan oleh manusia di dunia ini?”
Pertanyaan itu sering berkecamuk di dalam pikiranku sekian lama. Sampai-sampai aku merasa sangat lelah.
Akhirnya aku duduk terkulai lesu di hadapan Sakramen Mahakudus dan gambar wajah Yesus yang dipenuhi luka.
Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam dadaku. Hatiku berbisik, “Yesus aku sudah lelah”.
Pandangan mata Yesus seolah-olah menusuk hatiku terdalam dan membawaku kembali kepada ingatan masa lalu, di saat-saat akhir aku bersama ibu.
Komunikasi hati dan jiwa ibuku
“Wiwin adalah nama panggilanku waktu kecil. Nduk (panggilan sayang ibu kepada anak perempuannya yang masih kecil atau remaja), kamu sudah mengaku dosa belum? Ibu sudah lho, kemarin sore.”
Aku merasakan gejolak yang sulit aku jelaskan dengan kata-kata. Ada rasa syukur, namun ada rasa pedih. Tidak biasanya ibu mengingatkanku untuk mengaku dosa seperti itu.
Kemudian dengan sedikit gugup, aku langung menjawab, “Nggih Bu, besok pagi saya akan mengaku dosa. Kebetulan ada misa di komunitas.”
Kemudian ibu bercerita banyak tentang masa kecilku. Juga keinginan ibu ingin merawatku sendiri sebagai ibu kandung kepada anaknya.
Demikian keinginan ibuku, karena pahaku mengalami patah tulang. Hanya beberapa hari menjelang hari ulang tahunku saat masih balita. Di bulan April saat itu.
Komunikasi terakhir dengan almarhumah ibu
Pembicaraan lewat telefon itu diakhiri dengan keinginan ibu untuk membeli baju. Dalam benakku, aku membayangkan baju berwarna putih dan berendra pasti cocok untuk ibu.
Maka aku berjanji kepada ibu kalau aku yang akan membelikan baju untuk ibu.
Segera setelah aku bisa berjalan tanpa tongkat.
Komunikasi yang terjadi tujuh tahun yang lalu bersama ibu itu adalah komunikasi hati dan jiwa terdalamku.
Itu karena percakapan itu merupakan komunikasi terakhirku bersama almarhumah ibuku yang sungguh telah sangat menyentuh hati dan jiwaku.
Satu pekan setelah komunikasi intens itu, ibu berpulang ke rumah Bapa. Berlangsung begitu saja. Tanpa keluhan sakit sebelumnya.
Aku bertemu ibu terakhir kalinya diiringi deraian air mata kepedihan, karena ibu meninggalkanku selamanya.
Beliau saat itu memang lalu mengenakan baju putih, berenda seperti yang aku bayangkan saat komunikasi terakhir bersama ibu terjadi.
Wajah ibu yang putih, bersih dan halus terakhir kalinya aku pandangi dan aku elus dengan lembut.
Meski ada kepedihan menyelimuti hatiku, namun aku sungguh percaya, ibu telah mempersiapkan hati dan jiwa bersama Bunda Maria untuk menghadap Bapa. Kebersamaan terakhir bersama ibu mengantarku untuk selalu berjaga-jaga.
Tanpa aku sadari, ibu telah memberi pesan khusus dalam hidupku. Yakni, agar akuselalu berjaga-jaga; menyatu intens di dalam Gereja-Nya melalui Sakramen Tobat.
Meski kemudian kadang muncul di dalam diriku kecenderungan merasa bersalah secara berlebihan (scruple) dan selalu ingin mengakukan dosa.
Pastor minta maaf
Sore itu, aku berniat mengaku dosa. Imam yang biasa melayaniku dalam Sakramen Tobat saat itu sedang tugas keluar kota. Saat itu, kebetulan ada seorang imam yang sedang menemani peserta retret. Aku mohon izin untuk boleh ikut menerima Sakramen Tobat bersama para peserta retret.
Aku sungguh merasakan belas kasih Allah yang semakin membebaskan aku dari berbagai macam perasaan yang berkecamuk di dalam dadaku.
Setelah selesai mengaku dosa, tiba-tiba imam yang melayani Sakramen Tobat itu malah meminta maaf kepadaku. Terjadi demikian, karena menurut beliau seperti yang dikatakannya sendiri selama ini telah salah menilaiku.
Aku langsung terdiam sesaat.
“Tidak apa-apa Romo. Sayalah yang memang berdosa Romo. Maka, saya ingin mohon doanya.”
Aku keluar ruangan dengan tenang dan kedamaian mengalir dalam hatiku.
Kembali imam itu meminta maaf. Masih dengan kalimat sama di dalam Kamar Pengakuan. Diucapkannya, ketika kami berpapasan di tengah jalan.
Aku mulai mengernyitkan dahiku, sambil menjawab: “Terimakasih Romo”.
Setelah itu aku mempersiapkan Perayaan Ekaristi untuk penutupan retret peserta yang beliau pimpin. Sekali lagi, imam itu kembali mengucapkan permintaan maaf. Dikatakannya dengan tatapan penuh perhatian.
“Suster aku minta maaf ya, karena aku telah salah menilaimu.”
Jiwaku berharga kar’na belas kasih-Nya
Kali ini, aku sungguh-sungguh tersentuh. Aku terdiam. Dengan kelopak mata sudah mulai berkaca-kaca. Rasa damai mengalir di dalam hatiku tak terperikan.
Aku sungguh merasakan belas kasih Yesus itu melalui perantaraan imam yang sangat rendah hati itu.
Sejak perjumpaan dengan imam yang sangat rendah hati itu, aku selalu memohon agar belas kasih Allah selalu menyelimuti hatiku.
Aku pun tidak lagi dihantui oleh pertanyaan seputar ungkapan “Becik ketitik olo ketoro”.
Biarkan kuasa Allah saja yang selalu terjadi dalam kehidupan dan pikiranku.
“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”
– Surat Santo Paulus kepada Umat di Filipi: 4:8.
Bayangan wajah ibu kembali menyejukkan hatiku, karena aku satukan dengan Bunda Maria.
Aku semakin yakin tinggal di dalam hati keibuan Bunda Maria, jiwa kita sungguh berharga.
Video berikut ini aku persembahkan secara khusus bagi para imam di mana pun mereka berada dan berkarya. Mereka ini telah menjadi pelayan rohani bagi keselamatan jiwa-jiwa.
Aku menyatukan kidung pujianku ini di dalam hati keibuan Bunda Maria bersama Santo Padre Pio.
“Marilah kita mengikatkan diri kita erat-erat pada Hati Dukacita Bunda surgawi kita; merenungkan kesedihannya yang tak terhingga betapa berharganya jiwa kita.”