Pastor Nyaris Tenggelam di Riam 6/11, Gerbang Maut Saat Turne Menyusuri Sungai Mahakam

0
485 views
Inilah pemandangan umum Riam 6/11 di aliran Sungai Mahakam yang sering menelan korban tewas karena perahu motornya terbalik dan semua penumpangnya tenggelam. (Romo Fabianus Lana Pr/Keuskupan Agung Samarinda)

MINGGU sore, bersama beberapa teman, selaku pastor paroki, saya melakukan turne ke stasi-stasi hulu di wilayah pastoral Keuskupan Agung Samarinda, Kaltim.

Kapal motor yang biasa kami sebut Ces BS dengan kekuatan mesin sebesar 21 PK menjadi andalan untuk melawan aliran air sungai yang deras, bila harus turun melakukan turne ke wilayah hulu.

Hulu adalah sebutan biasa untuk menyebut kawasan pedalaman dari mana sumber air di sungai itu berasal mula. Kami yang “mudik” turne berjumlah 6 orang. Perjalanan mudik ke kampung yang kami tuju memakan waktu kurang-lebih tiga jam.

Kampung Long Apari

Namanya adalah Kampung Long Apari. Ini menjadi tujuan kami. Untuk menuju ke kampung ini, kami harus melewati dua kampung sebelumnya, yakni Kampung Noha Silat dan Noha Tivab.

Untuk menuju ketiga kampung ini, kami harus melewati dua tempat riam yang selalu pasti menguji nyali motoris perahu dan penumpang.

Masyarakat setempat bisaa menyebut dua tempat itu yakni Riam Kavahai dan Riam 6/11 (Riam Enam Sebelas).

  • Riam Kavahai berada sebelum masuk ke Kampung Noha Silat.
  • Riam 6/11 berada sebelum masuk Kampung Noha Tivab dan Long Apari.

Dua tempat riam itu ibarat gerbang maut. Bagi siapa saja yang dapat masuk kampung berarti mereka telah lolos dari gerbang maut tersebut.

Dari pusat paroki menuju Kampung Noha Silat memakan waktu satu jam. Sebelum masuk kampung ini, kami melewati Riam Kavahai. Riam ini menanjak dan panjang situasi air yang ganas dan membahayakan.

Perjalanan sampai tiba di Kampung Noha Silat, mesin ces masih dalam keadaan baik dan tanpa ada kendala. Kami dengan keadaan baik dan selamat memasuki Kampung Noha Silat.

Riam 6/11 di aliran Sungai Mahakam di kawasan hulu dari mana sumber air Sungai Mahakam ini berasal mula. (Romo Fabianus Lana Pr)

11 orang korban tewas

Perjalanan kami teruskan. Dari kampung Noha Silat menuju dua kampung di hulu memakan waktu dua jam.

Ada satu riam yang kami lewati untuk sampai dua kampung di hulu. Riam 6/11 namanya. Riam ini menakutkan. Amukan arus airnya sudah menelan 9 korban jiwa. Nyawa mereka hilang di lokasi riam ini.

Angka 6 dan 11 menjadi nama riam tersebut. Adapun maksud dari kedua angka itu adalah sebagai berikut:

  • Angka 6 merujuk pada 6 orang korban meninggal karena perahunya terpaksa karam karena kalah melawan derasnya arus Sungai Mahakam.
  • Angka 11 merujuk pada salah satu kompi satuan TNI yang bertugas di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di  Kecamatan Long Apari).
  • Diberi nama enam sebelas untuk mengenang anggota satuan TNI yang meninggal di tempat itu.

Dan merekalah orang-orang pertama yang karam, tenggelam dan meninggal di tempat yang diberi nama Riam 6/11 itu.

Selain anggota satuan TNI, sejumlah anggota masyarakat setempat juga pernah mengalami hal serupa.

Menurut kisah yang kami dengar bahwa ada tiga orang dari  masyarakat setempat yang meninggal karena karam di Riam 6/11. Satu ibu dan dua anak yang tenggelam dan meninggal. Jadi jumlah korban yang meninggal akibat karam di Riam 6/11 sudah sembilan orang.

Sudah banyak orang yang karam di Riam 6/11. Tapi syukur bahwa mereka yang karam bisa menyelamatkan dirinya. Yang raib ditelan riam adalah ces dan barang-barang bawaan mereka.

Menurut kisah masyarakat setempat, di dasar Riam 6/11 ini ada banyak ces, senjata yang tenggelam dan semua barang di dalamnya. Beberapa orang mencoba menyelam di sekitar Riam 6//11.

Mereka tak mampu untuk mengangkat ces yang tenggelam, karena arus sungai sangat deras dan juga cukup dalam sampai ke dasarnya.

Perjalanan dari Lampung Noha Silat kurang lebih satu setengah jam akhirnya kami mendekati Riam 6/11. Keadaan mesin ces baik adanya, karena tidak ada masalah setelah melangsungkan kurang lebih dua setengah jam menempuh perjalanan.

Riam 6/11 sudah dekat. Dari kejauhan, saya melihat situasi air baik saja untuk langsung menanjak tanpa mengurangi beban berat guna mengurangi penumpang.

Semakin dekat riam, sang motoris terus menarik gas mesin ces. Sang motoris tidak menepikan perahu agar kami jalan kaki. Tetapi kami berenam ada di dalam perahu.

Mesin mati di tengah tanjakan

Perahu kami menanjak riam. Na’as. Masih di tengah tanjakan air deras itu mesin ces kami tiba-tiba mati. Tak ada lagi daya dorong untuk meloloskan kami dari bukitan air Riam 6/11. Maka dengan seketika perahu kami jalan mundur.

Kami berlima teriak histeris.

Sang motoris tetap tenang dan mencoba semampunya mendayung perahu ke tepi dengan melawan arus deras. Kami berlima teriak histeris dengan menyebut nama bapa-mama. Ada yang menyebut “Yesus tolong”.

Ada yang menyebut “Tuhan tolong”.

Tiga gundukan air

Tiga bukitan air yang terbentuk karena gelombang derasnya arus air sudah menanti kami. Bukitan air pertama menghantam perahu kami. Terombang-ambinglah perahu kami. Air mulai masuk ke dalam perahu sehingga kami pun basah kuyup.

Perahu tetap melayang.

Bukitan air kedua menghantam keras perahu kami. Dan bukitan air kedua ini air semakin deras mengenai kami dan memasuki perahu. Teriakan semakin histeris lagi dan ada teman yang mulai menangis. Kami semua tetap di dalam perahu.

Kami masih melihat situasi perahu. Kalau perahu kami akan tenggelam atau pun terbalik, baru kami lompat ke tepi untuk menyelamatkan diri. Perahu sudah mulai banyak terisi air dan terus melayang di atas air yang mengamuk deras.

Bukitan air ketiga menunggu perahu kami yang terus hanyut dan terasa sudah mulai tidak mampu menahan beban berat kami dan beban air yang masuk ke perahu. Sebelum memasuki bukitan air yang ketiga, sang motoris dalam keadaan panik mencoba untuk menghidupkan lagi ces.

Ces kami hidup kembali. Segera sang motoris mengendalikan perahu untuk menepi. Apa bila ces tidak hidup sudah pasti perahu kami akan tenggelam dan terbalik.

Yang pasti kami juga lompat dari perahu untuk menyelamatkan diri. Kami sendiri tidak memakai jaket pelampung. Memang kami tidak memiliki barang tersebut.

Senyum simpul setelah kapal motor ces berhasil melaju “menaiki” aliran air Sungai Mahakam di lokasi Riam 6/11. Berfoto dengan latar belakang Riam 6/11. (Romo Fabianus Lana Pr/Keuskupan Agung Samarinda)

Mungkin juga akan terjadi hal yang buruk yakni korban jiwa. 

Suasana histeris yang penuh dengan ketakutan dan teriakan sekejap sunyi. Kami hanya mendengar suara deruan air deras.

Saya berdiri di tepi sungai tak ada sepata kata pun yang keluar dari mulut. Sang motoris pun tanpa kata pelan-pelan menimba keluar genangan air yang sudah memenuhi setengah perahu.

Keempat teman yang lain hanya bisa duduk lemas dan tunduk menangis. Saya sendiri tak mampu berkata apa pun untuk menguatkan sang motoris dan keempat teman yang sedang menangis.

Hampir 10 menit kami tak saling berkata. Saya hanya menatap bukit-bukit air yang ganas seperti singa yang siap menerkam mangsanya sembari menunggu sang motoris menimba air.

Perasaan campur aduk.

Selesai juga timbaan air dari perahu yang dilakukan oleh sang motoris. Saya membuka percakapan dengan sang motoris memecahkan kesunyian yang sempat terjadi kurang lebih 10 menit itu.

bertanya kepada sang motoris apakah mesin masih mampu untuk menanjak riam tersebut dengan tanpa penumpang. Sang motoris mengatakan bahwa  mesin ces masih kuat.

Saya menguatkan sang motoris dengan mengucapkan hati-hati. Saya sendiri belum mampu berkata panjang lebar setelah melewati situasi maut, mencekam dan merenggut nyawah. 

Sang motoris melewati riam tersebut seorang diri. Perahu lolos melewati riam. Legah menarik nafas. Kami berlima berjalan kaki melintasi tepi riam.

Sang motoris menunggu kami dan sambil merapikan barang-barang kami yang ada di perahu setelah diporak-porandakan oleh ombak dan guncangan air yang deras. Dalam keheningan. kami memasuki perahu untuk melanjutkan perjalanan menuju kampung yang kami tuju.

Menjadi lega semua

Setengah jam berlalu. Kami mulai melihat atap rumah kampung yang kami tuju. Kali ini, saya duduk paling depan dari perahu. Jadi juru batu.

Saya menoleh ke arah teman-teman dan motoris. Wajah mereka terlihat sedang melamun sesuatu. Mungkin mereka sedang mengingat kembali peristiwa maut yang baru dialami beberapa menit yang lalu.

Saya mengganggu lamunan mereka dengan bertanya ‘semuanya masih hidup kah’.

Akhirnya terdengarlah suara tertawa. Kami semua tertawa. Saya tertawa ketika mengingat lagi ekspresi dari teman-teman ketika sedang melayang-layang di atas arus deras yang merenggut nyawah.

Suasana batin kami takut. Kami ingin mengusir rasa takut itu dengan menertawakan ekspresi lucu kami masing-masing ketika sedang di dalam perahu dan keberadaan kami antara mau mati dan masih hidup.

Tak terasa kami sudah masuk kampung yang dituju. Perahu kami menepi.

Kami sampai. Terima kasih Tuhan atas perlindungan bagi kami hari ini, seru seorang teman setelah turun dari perahu.

Kami saling memandang satu sama lain.

Tertawa meledak di tepi sungai sembari kami mengambil tas masing-masing dan menuju pastoran.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here