ADA “kurban” berlangsung waktu dini hari. Waktu itu, aku sudah terbangun pukul 02.30 WITA subuh. Terasa gatal di tangan kananku. Ternyata aku digigit nyamuk.
Kulihat ada seekor nyamuk hinggap di dinding. Dengan cepat kuhempas dengan tanganku, sambil bergumam: ”Rasakan sekarang, mampus, mati kau.”
Aku merasa puas melihat yamuk sudah mati dan darah segar keluar dari tubuh nyamuk. Merah darah nyamuk menghiasi di dinding kamarku. Peristiwa pembunuhan seekor nyamuk terjadi pada dini hari. Sebelum sembayang subuh.
Nyamuk menjadi “kurban”. Darahku menjadi “kurban”.
Darahku dihisap seekor nyamuk, saat aku terlelap tidur. Aku sudah mengurbankan istirahat tidurku dan darahku untuk rezeki seekor nyamuk.
Nyamuk bisa hidup karena dapat asupan darahku. Ada kurban, ada hidup.
Di lain pihak, nyamuk mati kubunuh dengan geram. Nyamuk menjadi kurban kekesalan, kejengkelan, kemarahan, dan dendamku.
Mati kau, rasakan. Itulah luapan emosi dan energi negatif dari diriku .
Rasa puas, lega telah bisa meluapkan energi negatif membuatku bangga bisa membunuh nyamuk. Inilah kemenanganku. Nyamuk menjadi kurban dan aku bisa tenang meneruskan tidurku.
Ada kurban berarti ada kehidupan di zona aman.
Kubertanya kepada nyamuk, “Begitukah hari kurban bagiku?”
Pak Sholeh, tetanggaku di Gunung Seteleng Penajam
Lalu aku teringat kepada sosok tetanggaku di Penajam. Bapak Sholeh namanya.
Beginilah kisahku dengan Pak Sholeh di Hari Idul Adha beberapa tahun lalu.
Rumah kayu dengan ukuran 6x6m adalah pastoran yang tidak berbeda dengan rumah rumah tetangga di RT 04 Gunung Seteleng Penajam. Rumah pastor adalah tempat tinggal “pendetanya” orang Katolik itulah yang dikenal oleh tetangga sekitar tahun 1995–2000.
Sambil lewat menyapa tetangga atau hanya sekedar mampir sangat bermakna bagi hidupku sebagai seorang pastor kampung. Tentu juga bagi umat Katolik yang waktu di tahun 2000 itu hanya berjumlah 11 KK.
Setiap kali aku lewat Jalan Suka Maju Penajam –baik jalan kaki maupun motor, mataku selalu melirik ke kanan-kiri. Jika ada tetangga yang duduk di teras atau berdiri di depan rumah atau sedang ke warung, maka senyum dan anggukan kepalaku adalah bahasa tubuh yang menyapa mereka.
Mereka pun membalas dengan teriakan: ”Bapak pastor, sudilah mampir.”
Ajakan “mari mampir” bukanlah basi-basi untuk menghormatiku sebagai seorang pemuka agama di tengah masyarakat. Melainkan respon, jawaban yang tulus dari seorang tetangga yang sederhana.
Kehangatan hidup sebagai tetangga itulah yang mau ditampilkan untuk menembus jurang perbedaan ras, suku, agama, bahasa, dan adat.
Dibutuhkan suatu pengurbanan
Aku sadar memang tidak mudah Gereja hadir di tengah masyarakat Penajam pada waktu itu.
Apalagi umat hanya berjumlah 11 KK.
Berjumpa dan berjumpa, tegur sapa dan menyapa itulah jalan alami, pendekatan lumrah, murah dan meria. Tidak harus dengan aksi sosial karitatif, tidak harus dengan sarasehan, tidak harus dengan rapat rapat resmi di pemerintahan. Cukup dengan kehadiran. Kehadiran itu pengurbanan (asketis)
Makin kenal dan dikenal itu terjadi lewat perjumpaan rutin, biasa, sederhana dan natural. Memang mudah dilakukan, bukan sebuah teori dialog, bukan sekedar teori ilmu komunikasi, bukan sebuah diskusi ilmiah tentang kerukunan antar umat beragama. Tapi fakta kehidupan bertetangga.
Hidup bersama dan tinggal di tengah masyarakat majemuk di kampung Penajam yang sepi dan terpencil itu dilakoni, dijalani dengan situasi pedesaan nan alami
Modalku adalah kemauan untuk membuka diri. Membuka diri itu berarti ada pengurbanan. Apa yang dikurbankan? Materi? Hewan: sapi, kambing?
Yang dikurbankan adalah diriku, kehadiranku sebagai seorang warga masyarakat RT 04 Gunung Seteleng Penajam berupa: waktu ,tenagaku, jabatan, dan statusku sebagai pastor, sebagai pemuka agama.
Sosok tetangga yang ramah dan hangat
Senyum dan anggukan menjadi awal perkenalanku dengan Pak Sholeh. Ketika aku jalan kaki dari pelabuhan ke pastoran, aku melewati rumah Pak Sholeh. Malam hari pukul 12.00, jalan memang sepi. Pak Sholeh sedang berdiri di depan rumah sambil merokok dan menunggu giliran air PAM mengalir.
Aku menyapa, “Permisi Pak.”
Pak Sholeh menjawab dengan ramah: ”Sampeyan dari mana, kok malam malam baru pulang?”
“Saya dari kota Balikpapan, ikut kapal perusahan,“ jawabku.
“Sampeyan kan Pendeta Gereja Katolik,” tanya Pak Sholeh.
“Ya saya Pastor Gereja Katolik,“ jawabku agak malu
Pak Sholeh tetanggaku mengenal siapa aku. Tentunya, aku jadi malu tersipu. Setiap hari aku melewati jalan ini dan rumah tetangg, aku hanya lewat dan cuek seperti Imam dan Levi yang lewat saja dalam perumpamaan orang Samaria
“Mampir dulu, kita minum kopi, makan buras dengan daging sapi dimasak pedas,“ ajak Pak Sholeh.
Menu masakan buras
Dengan senang hati, aku singgah. Kebetulan aku juga lapar. Pak Sholeh langsung membawaku ke dapur.
Pak Sholeh menjelaskan dengan ramah: ”Silahkan makan, Pastor. Hari ini adalah Idul Adha. Kami dapat berkat daging kurban. Ibunya anak anak masak buras dan daging sapi dimasak santan pedas. Inilah makanan khas di Hari Raya Idul Adha. Ayo, silahkan nikmati yang ada.“
Buras adalah penganan dibuat dari beras dan santan dibungkus dengan daun pisang dan dikukus
Saya menikmati buras santapan khas Hari Raya Idul Adha bersama keluarga Pak Sholeh. Keramahan Pak Sholeh sekeluarga memecahkan “sikap basa-basiku, sikap jaga jarak sebagai seorang Pastor Katolik, topeng kesombonganku sebagai kaum elite pemuka agama”.
Lalu, aku pun mulai tenggelam dalam suasana persaudaraan
Inilah makna Idul Adha yang kudapat dari Pak Sholeh: menerima orang lain dengan semangat berbagi “berkat Tuhan” untuk membangun persaudaraan.
Menunggu, menyimpan, menghidangkan untuk pastor
Perjumpaan dengan Pak Sholeh terus berlanjut di waktu dan kesempatan kesempatan lain. Entah di rumah, di jalan, di kedukaan, acara pengantin dls.
Setiap Hari Idul Fitri dan Idul Adha, Pak Sholeh selalu menungguku. Ada yang khusus disajikan untukku buras dengan ayam bakar bersantan utuh atau daging sapi masak santan pedas.
Pak Sholeh potong ayam kampung secara khusus untuk pastor. Dia menyimpan ayam bakar utuh. Dia menunggu dan menunggu sampai aku datang bertandang ke rumah Pak Sholeh.
“Selamat Idul Fitri“ atau “Selamat Idul Adha,” ucapanku sambil memberikan salam, mengawali kunjungan kekeluargaan.
Lalu Pak Sholeh dan Ibu Sholeh tanpa basa-basi langsung mempersilahkan: ”Ayo, pastor langsung masuk ke dapur. Ada buras dan ayam utuh sudah menunggu pastor untuk dinikmati di hari raya ini.“
Pernah di tahun berikut, aku baru berkunjung ke rumah Pak Sholeh pada hari ketiga setelah hari raya.
Pak Sholeh memang selalu menanyakan keberadaanku kepada tetangga dekat Pastoran. Pada waktu itu, aku ada rapat selama satu pekan di keuskupan. Tepat Hari Raya Idul Fitri, aku tidak bisa berkunjung untuk silahturahmi ke tetangga.
Pada hari ketiga, aku datang ke rumah Pak Sholeh. Seperti biasa Pak Sholeh dan Ibu langsung mempersilahkan menuju dapur untuk makan buras dan ayam kampung bakar santan pedas kesukaanku.
Buras dan ayam itu disimpan sampai tiga hari .
Mereka menungguku. Mereka tidak berani menyentuh atau memberikan ayam bakar itu kepada tamu yang lain.
Aku pun juga menikmati suasana Hari raya bersama keluarga dengan menyantap buras dan ayam bakar yang sudah lama tersimpan dalam almari.
Menunggu, menyimpan dan mempersembahkan buras dan ayam bakar” adalah bentuk ungkapan persaudaraan, solidaritas dan empati terhadap diriku.
Aku sadar menunggu, merawat, memelihara, menyimpan adalah bentuk keutamaan untuk “berkurban” .
Berkurban dilakukan dengan suka cita dan ketulusan hati demi kebahagiaan orang lain.
Makna Idul Adha bagiku
Dari pengalaman hidup bertetangga dengan Pak Sholeh khususnya dalam momen Idul Adha dan Idul Fitri, aku sebagai seorang pastor mencoba mengambil makna buat hidupku selanjutnya:
Rela berkorban
Ya memang aku seorang pastor yang dilatih sejak pendidikan di seminari kerelaan untuk berkurban. Tujuan adalah menjadi seorang imam, tokoh agama, yang peka akan kebutuhan orang lain, mengenal situasi umat yang dilayaninya.
Ketika aku berada di Paroki Penajam seorang diri, dengan berbagai tugas jabatan sebagai pastor paroki, tokoh masyarakat dan agama, aku berada di zona aman. Tugas, posisi jabatan bisa menjadi benteng yang melindungi.
Keluar dari zona aman inilah bentuk pengurbanan seorang pastor yang hidup di tengah umat, di sebuah paroki kampung. Keluar dari kemapanan diri itu risiko untuk mau diganggu dan mau direpotkan dengan kepentingan orang banyak.
Memperdalam hubungan antarmanusia
Ada dua aspek keberadaanku sebagai seorang imam yaitu hubunganku dengan Allah dan hubunganku dengan sesama manusia. Dua aspek ini tidak bisa dipisahkan. Kedalaman relasiku dengan Allah membentuk dirku sebagai manusia yang ber”roh”. Maka aku disebut rohaniwan.
Masyarakat memandang ku sebagai tokoh agama, karena aku memiliki hubungan yang khusus dengan Allah. Kekuatan rohani seorang imam menjadi nyata dalam relasi dengan sesama. Komunikasi dengan sesama terjadi mendalam dalam bentuk silahturahmi, kunjungan, duduk ngobrol bersama .
Buahnya adalah persaudaraan yang menembus batas perbedaan suku, agama, bahasa dan adat. Hidup bertetangga menjadi sejuk dan damai nan alami. Masyarakat menerima dan mengakui keberadaan Gereja Katolik di kampung Penajam karena relasi, bukan prestasi.
Pastor orang Cina itu kah?
Karena aku sudah lama tidak kontak Pak Sholeh semenjak aku pindah meninggalkan Penajam tahun 2011, maka aku minta tolong salah satu umat Paroki Penajam. Namanya Ibu Heriyana untuk datang ke rumah Pak Sholeh.
Kebetulan Pak Sholeh tidak ada di rumah. Ibu Heriyana hanya bertemu dengan isterinya.
Ibu Sholeh spontan mengatakan: ”Oh Romo Nico yang pernah tinggal di gereja sebelah, orang Cina itu ya? Mata agak sipit sipit?”
Begitulah sebutan pastor yang Cina untukku di kalangan masyarakat kampung yang sederhana. Sebutan itu tidak berkonotasi rasiis atau menyudutkan diriku, melainkanungkapan yang tulus dan jujur penuh keakraban .
Syukurlah aku bisa berkomunikasi lagi dengan Pak Sholeh, karena aku mendapatkan nomor HP-nya lewat Ibu Heriyana.
Tadi pagi setelah sholat Ied, Pak Sholeh mengirim foto buras via WA kepadaku:
”Selamat Hari Raya Idul Adha dari kami sekeluarga. Ada buras Romo. Kapan ke Penajam? Ini buras dan kentang, gogos, nanti kalau Romo ke Penajam, mampir ke rumah ya.”
Liem Tjay OMI
Idul Adha, tepian Sungai Serayu, 31 juli 2020