Pastor, Saya Ingin Aborsi

1
206 views
Ilustrasi - Kehidupan keluarga. (Ist)

Rabu, 19 Mei 2021

Bacaan: Kis 20: 28-38; Yoh. 17: 11b-19.

KADANG hidup tidak sesuai dengan rencana. Kejernihan suara hati dan keterbukaan “dapat” membuat keputusan lebih baik.

Adalah penting, bagaimana kita menyikapi persoalan. Apakah iman bisa membantu menerangi keputusan?

Seharusnya.

Apakah mau mendengarkan Firman kebenaran-Nya sebelum mengambil keputusan? Fundamental.

Apakah berani meluangkan waktu berbicara kepada Tuhan?

Penting. 

Apakah mau mencari pendampingan untuk dibimbing mencari penyelesaian yang baik?

Sebaiknya.

Dengan hati jernih dan pikiran terbuka orang dapat menikmati kehidupan, sebagaimana Tuhan rencanakan, kendati kekeliruan dalam melangkah.

Dengan iman orang dapat berjalan lurus tanpa ragu dan malu. Ia “mengukir hidupmu” dalam hati-Nya.

Pilu

“Mo, saya akan menggugurkan kandungan. Saya malu dan tak berani menghadapi orangtua,” keluh seorang perempuan muda yang belum menikah.

“Pacarmu tahu?,” kataku tergopoh-gopoh.

“Tahu Romo. Orangtuanya  tidak menerima dan tidak mau tahu. Pacarku bingung. Tidak tahu mau apa; selalu menghindar,” katanya.

“Katakanlah kepada orangtuamu. Nanti kita bicara bersama,” kataku ingin meyakinkannya.

Gadis ini hanya menangis; terkesan tegang dan sangat takut.

Akhirnya pembicaraan dengan orangtua gadis bisa terjadi dan mereka mendesak untuk dikawinkan.

Dengan emosi, awalnya, kedua orangtua itu lalu memarahi anak gadisnya. Merasa terhina dan sia-sia melahirkan dan membesarkan.

Memukul dirinya sendiri sambil kecewa dan menangis.

Saya tidak mendapat alasan kuat untuk memberkati mereka.

Kehamilan bukanlah alasan kuat dalam menerimakan sakramen; walau beda agana.

Motivasi tidak cukup kuat untuk hidup bersama.

Sementara orangtua sibuk bicara bagaimana mengawinkan mereka dan si anak lebih cenderung menggugurkan, maka saya pun jadi ikut ragu.

“Tolong  ya kawan. Bantu Gereja ya. Relakah kamu mengandung bayi itu sampai lahir. Romo akan mencari tempat yang aman, nyaman dan terbimbing selama proses itu,” kataku memberi solusi ke depan.

Itulah keputusan saya dan gadis itu.

Keluarga besarnya memberi celah.

Lima tahun kemudian “gadis” itu kembali datang ke pastoran dan memberitakan akan menikah  dengan pria  lain.

“Apakah calon suamimu tahu tentang peristiwa mu masa lalu?”

“Tahu romo,” katanya enteng.

“Keberatankah?,” tanyaku.

“Tidak Romo. Ia pernah berkeluarga tanpa anak. Isterinya sudah meninggal,” jawab gadis itu.

“Pacarmu yang dulu?,” kataku lagi.

“Sudah ngak tahu. Saya tidak memikirkan dia lagi. Tidak bertanggungjawab.  Orangtuanya pun lsudah lepas tangan. Tidak mau berurusan lagi,” ungkapnya serius.

“Begitu teganyakah?,” tanggapanku.

“Biarlah Tuhan yang memperhitungkan. Saya menyesali masa lalu. Kini, saya terharu pada calon suami saya Romo. Saya sungguh akan mencintai dia. Tuhan baik,” terang dia.

Tiga tahun kemudian pasangan ini datang lagi.

Terlihat seorang bayi digendong dan seorang putri kecil berumur kira-kira 9 tahun.

Manis dan riang.

“Mohon berkatnya Mo untuk keluarga kami ya. Kami sudah pindah ke luar kota. Ini sedang mengunjungi mama. Salam dari orangtuakami, Mo,” ujar ibu mud ini.

“Ini Romo, yang dulu,” kata sang bapak sambil membelai rambut puterinya dan berkedip sang ibu.

“Iya, makasih ya Mo,” kata si ibu sambil melirik suaminya dan tersenyum.

Saya ingat nasehat Paulus, “Dan sekarang aku menyerahkan kamu kepada Tuhan dan kepada Firman kasih karunia-Nya, yang berkuasa membangun kamu dan menganugerahkan kepada kamu bagian yang ditentukan bagi semua orang yang telah dikuduskan-Nya.” ay 32.

Dan Yesus berdoa bagi kita semua, “Aku telah memberitakan Firman-Mu kepada mereka… Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat… Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; Firman-Mu adalah kebenaran.”ay14a, 15, 17.

Tuhan, teramat indah rancangan-Mu. Ajari kami mengerti dan berani belajar berserah. Amin.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here