UMAT di sebuah stasi pedalaman Kalimantan Timur saat itu sungguh sangat merindukan Perayaan Ekaristi. Guna tetap bisa memelihara iman dan persekutuan sebagai Gereja. Juga karena Perayaan Ekaristi menjadi sentra kehidupan rohani umat.
Sayang, dengan kondisi keadaan geografis dan medan yang sulit, jauh dari pusat paroki, sehingga pastor hanya bisa turne ke stasi satu bulan sekali, bahkan tak jarang juga hanya bisa dilakukan dua bulan sekali.
Kisah Pastor Paimin
“Betul, betapa rindunya umat akan perayaan ekaristi yang dipimpin oleh seorang imam,” kenang Pastor Paimin, 20 tahun lalu, ketika ia ikut berkarya di salah satu paroki di wilayah pedalaman Kalimantan Timur.
Begini kisah Pastor Paimin yang menolak makan di rumah keluarga Anton Imang.
Keluarga Anton Imang sudah menyiapkan sayur lauk ala kampung secara khusus untuk Pastor Paimin. Umat stasi ini sudah tiga bulan tidak bertemu dengan pastor. Maklum, hanya ada seorang pastor di “pusat” paroki.
Betapa bahagianya umat mendapat kunjungan pastoral Pastor Paimin. Maka Keluarga Anton Imang mendapat tugas untuk mempersiapkan konsumsi bagi pastor.
Dua hari sebelum kunjungan pastor, ada umat yang berburu binatang di hutan. Beberapa ibu sudah mencari sayur mayur, umbut rotan di hutan. Ada pula yang menjala ikan di sungai.
Kehadiran seorang pastor di tengah umat pedalaman bagaikan membuat pesta adat sebuah pernikahan.
Merupakan hajatan besar, baik bagi keluarga yang bertanggungjawab menyiapkan konsumsi pastor maupun seluruh umat di kampung.
Kehadiran seorang pastor itu sungguh membawa berkat dan sukacita bagi umat.
Bersungut-sungut selama Perayaan Ekaristi
Pastor Paimin baru saja tiba. Ketua Umat bergegas menyambutnya dengan ramah, ”Selamat siang, Pastor. Kami semua sehat.”
Alamak. Pastor Paimin malah membuang muka. Tidak ada jawaban. Wajah Pastor sangat tidak bersahabat.
Biasanya, Pastor Paimin selalu menabur senyum dan menyapa umat satu demi satu yang merupakan kekhasan Pastor Paimin.
Kali ini, wajah Pastor bersungut-sungut dan tampak berat untuk menebarkan senyum. Ada apa ya?
Mulai lagu pembukaan, wajah Pastor Paimin kurang sedap untuk dilihat. Ketika Pastor Paimin menyampaikan kotbah, tiba-tiba ada seorang anak kecil menangis meronta-ronta.
Dari mimbar spontan Pastor Paimin berteriak keras dengan nada marah, “Ibu, bawa anak itu keluar dari kapel. Jangan ada lagi yang membuat keributan. Kalian harus ikut misa dengan hikmat dan tertib. Saya sebagai pastor harus kalian hargai.”
Semua umat terdiam dan bertanya-tanya dalam hati, ada apa dengan Pastor? Mengapa tiba tiba membentak?
Memang baru kali ini umat menjumpai Pastor Paimin marah-marah dan memaki-maki dari mimbar.
“Tidak usah ada lagu. Kalian semua tidak becus menyanyi,” bentak Pastor Paimin dengan wajah memerah.
Padahal umat bernyanyi dengan baik dan suaranya merdu. Umat terdiam menahan rasa malu dan tampak tersinggung. Tidak lama kemudian misa pun selesai. Pastor Paimin memang tampak mempercepat berlangsungnya misa. Hatinya tampak tidak tenang selama memimpin Misa.
Ada perasaan kesal, sehingga tak heran bila wajahnya bersungut-sungut.
Dari sakristi, beliau langsung mengambil motornya dan bergegas akan pulang. Biasanya Pastor Paimin berdiri di depan kapel untuk memberi salam setiap umat. Baru kali ini, dia buru-buru pulang dengan wajah bersungut-sungut sambil menggerutu.
Namun, Ibu Rufina Song langsung menghadang Pastor Paimin dan mengajak dengan sopan, “Pastor, kita makan di rumah keluarga Bapak Anton Imang. Mereka sudah mempersiapkan sayur, lauk. Ada daging dan ikan kesukaan Pastor.”
Apa jawaban Pastor Paimin?
“Saya tidak mau makan masakan orang kampung,” jawab Pastor sambil membuang muka.
Pastor Paimin langsung naik ke motor trail dan melaju meninggalkan beberapa umat.
“Suuq-leeng… agar Pastor tidak ada halangan di jalan dan kami di sini,” kata Ibu Rufina Song sambil melambaikan tangan ketika Pastor Paimin meluncur di depan mata Ibu Song dan beberapa umat.
Umat yang tulus dan sangat menjunjung martabat Imamat tetap memperlakukan Pastor Paimin dengan sopan, menjaga dan mendoakan keselamatan Pastor Paimin.
“Suuq-leeng”
Suug-Leeng merupakan kosa kata khusus dalam bahasa Dayak Bahau di hulu Sungai Mahakam Kalimantan Timur. Suuq leeng terdiri dari dua kata, suuq=jauh dan leeng=rasa.
Makna kata Suug-Leeng adalah jauh, tetapi dapat dirasakan. Kata Suug-leeng biasanya berhubungan dengan hidangan atau apa saja yang bisa dimakan, diminum.
Contoh:
- Bapak Lupoq sedang makan buah durian, tiba-tiba teringat dengan Pastor Belawing. Lalu Bapak Lupoq berkata, “Suuqleeng Pastor Belawing.”
- Nenek Ana Mojan teringat akan makanan kesukaan Pastor Belawing yaitu sayur pucuk jibau (daun ubi). Padahal Pastor Belawing berada di Yogyakarta, jauh dan sulit bertemu, maka dalam hati nenek Ana Mojan mengucapkan, “Suug-leeng.”
- Sebelum pergi menjala, Lawing membuat segelas kopi hitam. Ketika dia sudah berada di perahu, dia ingat ada kopi di rumah. Jika dia kembali ke rumah itu pemali, maka dia mengucapkan kata, “Suuq-leeng”.
Mengapa mengucapkan “suug-leeng”?
Agar kita terhindar dari mara bahaya (kesapan) atau kata orang lokal: kepohonan. Ada juga semacam syarat:
- Kita menyentuh dengan ujung lidah telapak tangan dan jari kita sambil mengucapkan “suuq-leeng”, ketika kita jauh dengan hidangan tersebut.
- Jika dekat dengan hidangan tapi kita tidak sempat menikmati maka kita mengambil sedikit atau menyentuh makanan tersebut dengan jari sambil mengucapkan “suuq-leeng”.
Di lain pihak, Pastor Paimin yang bersungut-sungut telah menimbulkan kekecewaan. Ada umat yang merasa kecewa, apalagi keluarga Anton Imang.
Persembahan tulus dengan memasakkan sayur dan lauk kesukaan Pastor Paimin dibalas dengan sikap bersungut-sungut.
Betapa pedih, sedih, dan kecewa, perasaan jengkel dan marah muncul di dalam benak setiap umat yang menyaksikan dan mengalami peristiwa itu.
Ketulusan umat sebagai ungkapan rasa bangga memiliki imam malah ditolak, diremehkan, tidak digubris oleh pastornya sendiri.
Aura negatif lahir dalam suasana hati yang keruh, berbagai perasaan tercampur menjadi satu dalam wujud sikap antipati, menolak, bahkan benci.
Jika orang tenggelam dalam situasi seperti ini, maka bisa menjadi “tidak nyaman”, “kena malapetaka” dan mengalami “musibah”.
Itulah yang namanya “kepohonan” sebagai kepercayaan masyarakat di wilayah pedalaman Kalimantan Timur.
Maka dengan mengucapkan “suuq-leeng“, kesadaran akan ketidakmampuan sebagai manusia dalam mengatasi situasi yang tidak pas dan labil pun muncul, seraya memohon kepada Yang Mahakuasa agar semua terhindar dari musibah yang tidak diharapkan. (Berlanjut)