“KAMU itu harus pikir, mau jadi imam atau jadi teknisi?” kata Rm Thaddeus Laton SCJ menirukan kembali teguran Pater Praefect-nya ketika ia masih frater. Teguran itu diterimanya karena ia sering mengotak-atik mesin mobil milik seminari, tempatnya belajar.
Misionaris asal Polandia ini menuturkan bahwa pada waktu itu tidak lazim bagi seorang frater untuk mengurusi hal-hal seputar mesin kendaraan. Teguran itu sempat membuatnya berkecil hati. Maka ia pun mengungkapkan pada Bapa Rohaninya kala itu.
Baca juga:
- 50 Tahun Misionaris di Indonesia, Pastor Tadheus Laton SCJ Diganjar Penghargaan dari Polandia
- Pastor Taddheus Laton SCJ: Sang Misionaris dan Istri Kesayangannya (1)
Hobi ngoprek mesin mobil
“Praefect-mu pikir bahwa Tuhan kalau kasih talenta hanya satu ya untuk jadi imam? Kan kamu baca dari Kitab Suci, Tuhan kasih tujuh talenta, empat talenta atau berapa,” ungkap Bapa Rohaninya sebagaimana diungkapkan kembali oleh Rm. Laton.
Dengan mengatakan itu, Bapa Rohaninya mendukung agar ia tetap mengembangkan talenta yang ia miliki. Dukungan Bapa Rohani itulah yang akhirnya meneguhkan kembali panggilannya untuk menjadi imam. Ia pun semakin mendalami pengetahuannya tentang mesin dan sempat ikut kursus mesin.
Ada satu pengalaman menarik berkaitan dengan Pater Praefect-nya yang masih tetap pada pendiriannya melarang Frater Laton membawa mobil.
“Suatu hari ada guru yang mau datang untuk mengajar di seminari. Rumahnya sekitar 7 km dari seminari. Biasanya dia datang dengan bis. Tapi hari itu tak ada bis yang menuju seminari. Nah, karena Praefect sendirian, dan masih tidak rela saya jadi sopir, ia bawa sendiri mobil untuk menjemput. Waktu itu sedang musim salju. Di jalan, mobil tergelincir di ladang. Maju tidak bisa, mau mundur juga licin. Maka Praefect jalan kaki ke seminari sekitar 3 km. Terus ia sendiri yang kasih kunci mobilnya pada saya. Lalu saya pergi ke sana ambil mobilnya. Akhirnya saya singkirkan saljunya dari semua roda belakang dan depan, sampai mobil bisa masuk ke jalan lagi,” kenang misionaris yang ditahbiskan di Stadniki 18 Februari 1962 ini.
Sejak saat itu, Frater Laton sering diminta untuk membawa mobil dan memperbaiki kendaraan yang rusak. Bahkan rektor juga sering mintanya untuk belanja roti di kota. “Jadi ada gunanya, karena waktu itu di Polandia kalau punya sopir harus gaji penuh seperti gaji karyawan di kantor. Berat bagi seminari untuk membayar sopir. Maka ada kebiasaan di SCJ untuk menyopir sendiri. Ya begitulah, talenta yang kita miliki bisa dipakai dalam Kerajaan Allah,” simpul Rm Laton.
Ngoprek mobil untuk karya pelayanan
Dan memang benar, rupanya kemampuannya ini menjadi bekal bagi karya pelayanannya sebagai misionaris. Ia mencontohkan pengalamannya pada saat belajar Bahasa Indonesia di Yogyakarta. Sesampainya di Indonesia pada 15 Oktober 1967, bersama rekan misionaris lainnya ia langsung menuju Yogyakarta. Di sana mereka tinggal di Skolastikat MSF selama belajar Bahasa Indonesia.
“Aku malah kurang belajar karena di MSF itu ada bruder yang nyopir mobil waktu itu. Bruder itu mundur. Dan akhirnya tidak ada yang bisa nyopir. Maka saya gantikan dia. Setiap hari saya belanja kebutuhan dapur di kota, atau kalau ada tamu, saya antar atau jemput. Maka tiap hari saya nyopir,” ungkap biarawan yang mengucapkan kaul pertamanya pada 2 September 1953 ini.
Meski begitu, ia punya cara tersendiri untuk belajar Bahasa. Suatu ketika, saat ada Uskup datang dari Samarinda ke Yogyakarta, Rm Laton mengantarkan uskup itu ke beberapa tempat. Kebetulan uskup itu mau cuti ke Belanda dan menyempatkan diri terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa tempat di Yogyakarta.
“Waktu antar uskup ke Muntilan, uskup pergi masuk ke rumah, sementara saya dengan anak-anak yang ada di sekitar situ. Saya bilang pada mereka: hei, coba kamu jadi guru saya karena mobil saya belum tahu. Kemudian saya pegang pintu, mereka bilang: itu pintu. Saya tunjuk ban, mereka bilang itu ban. Terus saya pergi ke depan, itu lampu. Akhirnya sudah begitu banyak kata yang saya dapat. Dan sampai sekarang saya ingat. Kalau belajar di lapangan itu lebih mudah ingat, tapi kalau belajar di rumah belum tentu bisa saya ingat. Jadi saya tahu bahwa paling mudah belajar bahasa bersama masyarakat di sana,” ungkapnya.
Lagi-lagi kemampuannya untuk memperbaiki dan mengendarai mobil bukanlah penghalang bagi jalan panggilan sebagai imam. Dan bahkan hingga di usia tuanya pun Rm Laton tetap setia merawat mobil tua yang dimilikinya.