BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.
Rabu, 1 September 2021.
Tema: Romo mau berkeluarga.
- Bacaan Kol. 1: 1-8.
- Luk. 4: 38-44.
BERBAHAGIA. Ya. Bahagialah kamu. Karena manusia tidak dapat hidup sendiri, maka kebahagiaan terletak pada relasi dan kebersamaan dengan yang lain.
Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan agar bersatu menjadi satu. Persatuan yang tak terpisahkan; saling melengkapi, menyempurnakan dan membahagiakan.
Relasi suci dan kesatuan utuh itulah yang ada di dalam sebuah ikatan keluarga. Sebuah ikatan dan perjanjian yang mengagumkan. Pria-wanita berani belajar tinggal bersama dalam kebersamaan.
Kendati mereka tidak tahu apa yang terjadi di kemudian hari, bahkan watak asli pasangannya, mereka berani melangkah bersama dalam penyertaan Tuhan.
Mereka sangat percaya bahwa pasangan mereka adalah jodoh dari Tuhan.
Saya mengagumi keyakinan mereka.
Memang tidak gampang dan tidaklah sempurna keluarga itu. Tetapi kesediaan berproses bersama dengan saling pengertian dan tetap tinggal bersama-sama dalam kebersamaan adalah rahmat yang sangat mengagumkan.
Tuhan sendiri pun tinggal bersama keluarga dan berjalan bersama-sama kita.
Petrus aja kawin, kenapa pastor tidak?
Ketika saya berhasrat menjadi imam, tidak terpikir bahkan tidak “ngeh” bahwa di dalam Injil dinyatakan Petrus berkeluarga.
“Ada pun ibu mertua Simon demam keras dan mereka meminta kepada Yesus supaya menolong dia.” ay 38.
Yesus pun bertindak.
Saat itu saya hanya tertarik kehidupan para imam. Mereka ramah, riang dan rajin berkunjung.
Sebagai anak kecil, saya tidak pernah berpikir, bertanya bahkan membayangkan bahwa romo itu tidak punya isteri. Tidak berkeluarga.
Romo paroki saya pada waktu itu kebanyakan berasal dari Italia. Saya berpikir keluarganya tinggal di negaranya.
Baru saya tahu bahwa imam itu tidak punya keluarga. Dan itu pun tidak “ngeh” betul. Tetapi minat menjadi imam tetap bergelora.
Sebagai anak zaman itu, saya tidak banyak berpikir tentang perempuan. Tertarik pun tidak.
Saya tidak pernah mengalami “greng”, ketika berhadapan dengan perempuan. Biasa saja.
Baru setelah menjalani tahun pastoral, studi teologi dan sebagai imam baru, dalam perjumpaan dengan umat, baru menyadari corak kehidupan yang saya tempuh.
Telah memilih jalur hidup wadat. Maka, ya siap menanggung risiko.
Saya tidak tahu apa yang terjadi nantinya. Bagaimana saya berjalan menghidupinya?
Saya percaya bahwa Tuhan yang sudah memulainya maka Tuhan pula yang akan menyelesaikannya.
Sama seperti mereka yang berkeluarga. Hanya dengan modal percaya, bersama Tuhan segalanya akan Dia atur
Kenapa tidak menikah? Bukankah itu menyalahi kodrat? Dan kamu akan kesepian.
Saya tidak menyangkal kebenaran pernyataan itu. Dan memanglah benar adanya. Bahkan di keluarga besar saya pun yang tidak seiman pun hingga kini masih mempertanyakan itu sampai sekarang. Dari ketidaktahuan, ketidak-mengertian bahkan mengaguminya.
Ungkapan mereka yang sering dilontarkan adalah “Wah kok bisa?”
Kadang saya menjawab juga tidak tahu bagaimana banyak keluarga bertahan dalam kebersamaan keluarga. Kendati kadang ada perbedaan yang cukup tajam antarpribadi.
Sama-sama mengagumi. Itulah keindahan.
Memang tidak ada perintah langsung dari Tuhan, tetapi dapat di lacak dalam Kitab Suci jejak-jejak pemakluman bahkan pembenaran dari Tuhan juga.
Yang pernah saya dengar dan saya tidak mau diganggu oleh itu bahwa keputusan selibat itu adalah keputusan politis. Bukan perintah Yesus langsung.
Tahun 600 an, komunitas kristiani, Gereja, berkembang pesat. Salah satunya karena Kaisar Romawi telah menjadi kristiani.
Komunitas-komunitas gerejani berkembang di seluruh jajahan Romawi. Mereka membutuhkan imam-imam untuk membimbing umat. Agar fleksibel dan siap siaga dalam setiap pengutusan, ditetapkanlah cara hidup tertentu, selibat.
Sebuah penyerahan hidup dalam Tuhan.
Santo Paulus memeluk cara hidup yang demikian ini. Bdk 1 Kor. 7: 1, 7a-8.
Kegembiraan seorang imam teralami seperti apa yang dikatakan Paulus, “Kami telah mendengar tentang imanmu dalam Kristus Yesus dan tentang kasihmu terhadap semua orang Kudus.”
Tuhan, kepada siapa lagi kami akan mengabdi. Amin.