BERKAT rahmat Tuhan, hari Sabtu, 7 Oktober saya bersama dengan tim pastoral care diberi kesempatan untuk mengunjungi Panti Asuhan Cacat Ganda Bhakti Asih di Jalan Emplak No 1-3, Pendrikan Kidul, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang. Kami bertemu dengan mereka yang mayoritas adalah anak-anak.
Di sini dirawat sejumlah anak -baik putera maupun puteri- yang menderita cacat fisik dan cacat mental berat. Melihat kondisi anak-anak di sana membuat hati kami tersentuh. Sehingga memotivasi kami bahwa hidup ini harus penuh dengan rasa syukur.
Saat ini, Panti Bhakti Asih Semarang ini merawat 36 orang “pasien”; mulai usia 7 tahun hingga 43 tahun. Di panti asuhan milik Keuskupan Agung Semarang ini, mereka sedang berjuang melakukan perawatan fisik, fisioterapi, pembinaan mental untuk kebaikan dirinya.
Ketika saya dan tim masuk ke ruangan, ada anak yang mendekati, seperti menyambut kedatangan kami di sana. Mereka menyambut dengan baik, tidak takut atau tantrum saat kami dekati.
Saya mengajak ngobrol, entah mereka paham atau tidak. Tapi saya ingin ada kedekatan atau relasi yang baik sehingga mereka nyaman saat saya dekati.
Butuh empati dan simpati
Melakukan pendampingan untuk anak-anak di sana perlu kesabaran dan kelembutan hati. Ketika mereka sedang terapi, saya melihat ada yang tantrum teriak-teriak, para perawat atau pengasuh mengusahakan dengan cara apa supaya mereka nyaman ketika melakukan terapi.
Pelayanan pastoral care menjadi sangat penting karena menjadi aspek pewartaan Kerajaan Allah dan perwujudan cinta kasih kepada sesama yang menderita ini muncul sehingga bisa dirasakan. Dalam praktik berpastoral sangat khusus ini, kami mendapat kesempatan mewujudnyatakan pelayanan kasih. Ini merupakan ungkapan iman sekaligus jawaban konkrit atas panggilan hidup kristiani sebagai calon katekis.
Saya senang mendapat pengalaman yang luar biasa, bertemu dengan mereka yang menghadapi pergumulan dan perjuangan hidupnya.
Ibu Teresa sebagai tokoh panutan
Pastoral Care ini mengingatkan saya pada kisah hidup Ibu Teresa dari Calcutta. Itu karena menurut saya jejak langkahnya dalam melayani selalu menarik untuk diteladani dan dikagumi. Ia memiliki banyak misi dalam melayani sesama, yaitu merawat yang lapar, orang cacat, orang buta, penderita kusta, semua orang yang merasa tidak diinginkan, tidak diperhatikan seluruh masyarakat, orang yang telah menjadi beban bagi masyarakat dan dihindari oleh semua orang.
Melalui kisah Orang Kudus dari Calcutta tersebut, kesaksian hidupnya telah menunjukkan bahwa bagaimana seharusnya hubungan kita masing-masing kepada sesama kita yang menderita. Setiap orang diberi perintah untuk merawat dan bertanggungjawab bagi dirinya, orang lain dan dunia (Kejadian 1:28).
Inilah yang menunjukkan bahwa manusia merupakan representatif Allah dalam merawat semua ciptaan. (Berlanjut)
Baca juga: Muda Berkelana, Tua Bercerita, Bersama Lansia Panti Wreda Rindang Asih Semarang (2)